Tak Juga Belajar dari Tragedi Kanjuruhan
Kericuhan dan penembakan gas air mata di Stadion Gelora Joko Samudro, Gresik, Jawa Timur, seusai laga Liga 2 membuktikan penanganan kekerasan sepak bola tidak belajar dari horor berdarah Tragedi Kanjuruhan.
Setidaknya 30 orang terluka dalam kericuhan disertai penembakan gas air mata di Stadion Gelora Joko Samudro, Gresik, Jawa Timur, Minggu (19/11/2023) malam. Sekitar 20 orang merupakan pendukung Gresik United, sedangkan 10 orang adalah anggota Kepolisian Resor Gresik.
Kericuhan terjadi seusai laga pekan kesembilan Grup 3 Liga 2 antara Gresik United dan Deltras Sidoarjo. Tuan rumah kalah 1-2 (0-0) dari tim tamu. Di sepak bola Jatim, bentrok dua tim ini disebut Derbi W karena kendaraan bermotor dari Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo berpelat W. Kedua daerah bertetangga, berbatasan, dan mengapit Surabaya, ibu kota Jatim.
Laga berlangsung keras karena wasit mengeluarkan tujuh kartu kuning. Empat kartu kuning untuk Laskar Joko Samudro, julukan Gresik United (GU), dan tiga peringatan untuk The Lobster, julukan Deltras (Delta Raya Sidoarjo).
Tuan rumah unggul terlebih dahulu lewat penalti Victor Bertomeu pada menit ke-53. Tim tamu membalas dengan penalti Rosalvo Candido Rosa pada menit ke-65, lalu unggul dengan gol Patrich Wanggai pada menit ke-75.
Baca juga: Program Pembenahan Suporter Belum Berjalan
Kekalahan itu menempatkan GU tertahan di urutan ketiga klasemen sementara Grup 3 dengan 12 poin dari empat kemenangan dan empat kekalahan. Deltras di posisi kedua dengan 13 poin dari 3 kemenangan, 4 seri, dan 2 kekalahan. GU masih punya tabungan satu laga yang jika menang dapat menggeser posisi Deltras.
Namun, kekalahan itu tampaknya tidak dapat diterima oleh kalangan pendukung Ultras Gresik, pendukung Gresik United. Mereka ingin posisi GU yang ditangani oleh Pelatih Rudy Eka Priambada lebih baik untuk bertarung di format delapan besar nantinya. Seusai laga, setelah keluar dari stadion, mereka berkumpul untuk unjuk rasa ke manajemen dengan kantor di arena tersebut.
Ada yang mengekspresikan kekecewaan dengan melempari bus pemain dan ofisial Deltras dengan batu atau pecahan material. Ada imbauan dan permintaan agar suporter pelempar mundur, membubarkan diri, dan pulang. Namun, pendukung kian anarkistis sehingga kericuhan menjadi pelemparan terhadap petugas yang mengakibatkan sejumlah anggota Polri terluka.
Baca juga: Pesan Damai dari Gelora Bung Tomo
Pertimbangan
Kepala Polres Gresik Ajun Komisaris Besar Adhitya Panji Anom menyatakan, penghalauan secara persuasif tidak diindahkan karena massa terus melempari petugas. Di sisi lain, masih ada sebagian penonton yang tertahan di dalam stadion dan tidak bisa keluar karena tertahan kericuhan di pelataran arena yang berdekatan dengan jalan raya.
Menurut Anom, petugas terpaksa menempuh tindakan tegas dengan mengerahkan unit taktis, termasuk bersenjata gas air mata. Penembakan gas air mata yang membahayakan bertujuan membubarkan massa dan mengendalikan situasi.
Baca juga: Menanti Usainya Era Menyabung Nyawa demi Bola
Kendati demikian, peluru gas air mata telontar hingga ke jalan raya, di mana petang itu lalu lintas padat dan terhambat. Penanganan situasi dengan penembakan memang berhasil, tetapi mengenaskan karena berujung jatuhnya korban yang terluka dan terdampak gas air mata.
”Ada korban-korban terluka, tetapi tidak sampai meminta korban jiwa,” kata Muhammad Syamsud Dluha, Panitia Pelaksana GU.
Kalangan korban terluka sempat ditangani di RS Semen Gresik, RS Petrokimia Gresik, RSUD Ibnu Sina, Puskesmas Cerme, Manyar, dan Gending. Mereka mengeluhkan sesak napas dan mata perih. Namun, mayoritas telah dipulangkan meski masih harus menjalani rawat jalan.
Baca juga: Kisah di Balik Kerusuhan Final Sepak Bola SEA Games Kamboja
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Ultras Gresik Abdul Wahab menyatakan, penembakan gas air mata merupakan tindakan sewenang-wenang dan membahayakan masyarakat, termasuk suporter, pemain, ofisial, petugas, dan warga yang berada di kompleks arena berkapasitas 30.000 kursi itu.
”Penembakan gas air mata juga sampai ke jalan sehingga membahayakan masyarakat yang berkendara,” kata Wahab.
Suporter ingin unjuk rasa dan menuntut manajemen memecat Pelatih Rudy Eka karena performa tim kurang kompetitif. Kericuhan tidak terhindari karena respons petugas yang tidak simpatik dan membahayakan.
Baca juga: Fenomena Manusia Massa dalam Kerusuhan Suporter Sepak Bola
Ketua Komite Ad Hoc Suporter PSSI Arya Sinulingga menyatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Asosiasi Provinsi PSSI Jatim, Polda Jatim, dan kelompok-kelompok suporter untuk meredakan suasana dan mendorong pemajuan dan kemajuan sepak bola provinsi berpopulasi 40 juta jiwa ini.
”Mendukung dan membantu jika ada korban dari polisi atau suporter,” kata Arya yang juga anggota Komite Eksekutif PSSI.
Baca juga: Tugas Berat Membina Suporter di Akar Rumput
Piala Dunia U-17
Kericuhan disertai penembakan gas air mata itu bukan peristiwa perdana dalam kompetisi sepak bola nasional sejak Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 di Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 135 jiwa dan melukai 647 jiwa. Insiden itu akibat penembakan gas air mata karena kericuhan seusai lanjutan Liga 1 Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya Surabaya.
Setelah horor berdarah itu, terjadi beberapa kali kericuhan dan diwarnai penembakan gas air mata meski di luar bangunan stadion. Contoh terkini terjadi di Gelora Joko Samudro (GJS).
Kericuhan terbaru seolah mengabaikan insiden Kanjuruhan yang terkelam dalam sepak bola nasional dan dunia terkait penanganan kekerasan oleh petugas keamanan di internal arena.
Padahal, sekitar 5 kilometer di barat daya GJS berdiri arena berkapasitas lebih besar (45.000 kursi), yakni Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya Barat. Gelanggang ini kurun 10-21 November 2023 menjadi pelaksanaan laga penyisihan Grup A Piala Dunia U-17 dan satu laga 16 besar. Di stadion ini, Indonesia imbang 1-1 dengan Ekuador dan Panama, lalu kalah 1-3 dari Maroko.
Di babak gugur, Selasa (21/11/2023), akan diadakan laga antara Mali dan Meksiko pada pukul 16.00. Selanjutnya, pukul 19.00, laga antara Maroko dan Iran. Laga-laga berikutnya, yakni perempat final, diadakan di Jakarta International Stadium dan Stadion Manahan, Solo. Semifinal dan final diadakan kembali di Manahan, di mana turnamen berakhir pada 2 Desember 2023.
Baca juga: Mengikis Kekerasan Seksual dengan Sepak Bola
Masalah
Pengamat sepak bola Akmar Marhali dari Save Our Soccer menyatakan, kericuhan di GJS yang notabene arena terdekat dengan GBT mencoreng kelangsungan Piala Dunia U-17.
Kericuhan dan penembakan gas air mata bisa menjadi catatan FIFA bagi Indonesia apakah mampu melaksanakan turnamen lebih besar. Apalagi, pelaksanaan Piala Dunia U-17 merupakan ”kompensasi” karena Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Akmal mengatakan, harus ada sanksi pidana terhadap suporter dan petugas yang terlibat dalam kericuhan dan penembakan gas air mata itu. Sanksi dari Komisi Disiplin PSSI yang biasanya dibebankan kepada tim tidak akan cukup berimbang, apalagi menimbulkan efek jera.
”Hukuman dari Komisi Disiplin berorientasi denda sehingga tidak berefek dan kericuhan terus berulang,” kata Akmal.
Suporter yang merusak dapat dijerat dengan pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana, antara lain Pasal 170 mengenai kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang.
Penanganan petugas yang berlebihan, termasuk penembakan gas air mata, dapat dijerat dengan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Pasal 54 dan Pasal 55 regulasi ini menyebutkan, suporter mendapatkan jaminan keselamatan dan keamanan. Tindakan berlebihan yang menghilangkan jaminan itu merupakan pelanggaran.
Baca juga: Olahraga di Indonesia Belum Ramah Anak dan Perempuan
Catatan Kompas, Gresik United merupakan tim yang lahir dari PS Petrokimia Putra dan Persegres sejak 2005. Deltras lahir sebagai Gelora Dewata pada 1989 dengan embrio Putra Gelora, salah satu klub internal Persebaya Surabaya. Di era perserikatan, Persebaya amat menonjol dan menjadi idola warga, termasuk di Gresik dan Sidoarjo.
Seiring perkembangan sepak bola, pendukung dari Gresik mulai lebih memberi perhatian pada tim lokal yang kemudian sejak 1999 mendirikan Ultras Gresik. Di Sidoarjo, Gelora Dewata kembali ke tanah kelahiran pada 2001 dan menjadi Gelora Putra Delta. Selanjutnya menjadi Deltras (Delta Putra Sidoarjo lalu Delta Raya Sidoarjo) dengan pendukung yang menamakan diri Deltamania.
Dilihat dari kedekatan Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo dalam konteks sepak bola, suporter di kawasan Surabaya Raya ini lahir dari rahim yang sama pada awalnya mendukung Persebaya.
If you can’t support us when we lose or draw, don’t support us when we win .
Sampai saat ini, hubungan ketiga kelompok suporter cukup baik karena amat minim catatan bentrok fisik di antara Ultras, Bonek, dan Delta. Persebaya juga pernah bermain di Gelora Delta atau Gelora Joko Samudro ketika ”terusir” dari Gelora Bung Tomo untuk persiapan Piala Dunia U-20 ketika itu.
Gesekan antarsuporter mendorong PSSI memberlakukan larangan kehadiran suporter tim tamu beratribut lengkap. Namun, dalam sepak bola, seperti diutarakan mendiang Bill Shankly, manajer legendaris Liverpool, suporter adalah tritunggal bersama dengan tim dan manajer/pelatih.
Salah satu ujarannya yang terkenal ialah if you can’t support us when we lose or draw, don’t support us when we win atau kira-kira jika diterjemahkan menjadi kalau kamu tidak mendukung kami saat kalah atau seri, jangan mendukung saat kami menang.