Kematian 135 jiwa dan 647 orang terluka dalam Tragedi Kanjuruhan menjadi insiden terburuk dalam sepak bola semoga tidak berulang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Dengan kemenangan 3-1 di pekan ke-13 Liga 1 di Stadion Gelora Bung Tomo, Jawa Timur, Sabtu (23/9/2023), Persebaya Surabaya kian dominan atas Arema FC. Itulah kemenangan keenam Persebaya dari 10 laga melawan Arema FC sejak 2018. Tiga laga dimenangi Arema FC, sedangkan satu laga berakhir imbang.
Laga yang dihadiri oleh 27.000 penonton mayoritas Bonek, pendukung Persebaya, berlangsung delapan hari sebelum setahun peringatan Tragedi Kanjuruhan. Sewarsa lalu, tepatnya 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, tim tamu Persebaya menang 3-2 atas Arema FC.
Namun, laga berakhir dengan kericuhan setelah kalangan penonton menerobos ke lapangan. Situasi itu memicu penembakan gas air mata yang mematikan bagi 135 jiwa dan melukai 647 orang suporter hampir seluruhnya Aremania, pendukung Arema FC.
Setahun sejak tragedi itu, di pekan ke-13 Liga 1, Persebaya melawan Arema FC sejatinya hanyalah pertandingan biasa. Bukan laga besar apalagi layak disebut derbi Jatim. Sejarah rivalitas Persebaya di Jatim adalah dengan tim-tim perserikatan misalnya dengan Persema Malang, Persik Kediri, dan Persela Lamongan.
Di luar provinsi tentu dengan tim-tim legendaris yakni Persija Jakarta, Persib Bandung, PSIS Semarang, Persis Solo, PSIM Yogyakarta, PSM Makassar, PSMS Medan, dan Persipura Jayapura. Derbi ialah rivalitas tim-tim se kota di mana di Surabaya pernah bersaing tiga klub sepak bola, yakni Persebaya, Assyabaab, dan Niac Mitra (kini PS Mitra Kukar).
Untuk itu, Tragedi Kanjuruhan mengubah paradigma pendukung tentang rivalitas. Bonek tak lagi menganggap Aremania pesaing sepadan. Lagi pula insiden berdarah itu melahirkan kesadaran untuk perdamaian. Tidak perlu ada lagi kebencian di antara pendukung. Lihatlah, jelang laga pekan ke-13 itu, tim dan ofisial Arema FC berangkat ke arena dengan dua bus hijau BSA (Bahari Sentosa Abadi). Selain kendaraan taktis dan mobil patroli pengawalan, ada pula Bonek dengan sepeda motor mengawal sampai pintu masuk Jalan Tol Surabaya-Gresik.
Menjelang memasuki stadion, bus melewati jalan raya yang juga dilintasi Bonek. Tiada gangguan apalagi lemparan batu pada bus. Berbeda dengan laga-laga sebelumnya, tim dan ofisial kedua kesebelasan saat tandang hampir selalu diangkut dengan rantis Barracuda. Itu berkaca dari insiden berakhirnya karier Nurkiman, pemain Persebaya, akibat pecahan kaca bus mengenai matanya setelah laga melawan Persema di Stadion Gajayana pada pertengahan 1995.
Namun, dua tahun kemudian, bus dipakai sebagai pengangkut tim dan ofisial Arema Malang (kini Arema Indonesia) ke Gelora 10 November (dahulu Tambaksari). Bahkan, ketika itu, Bonek menerima kehadiran Aremania dalam laga yang berakhir tanpa masalah apalagi kekerasan antar-fans.
Di pekan ke-13 Liga 1, satu pesan telah tersampaikan. Sepak bola bukan sarana untuk pelampiasan kekerasan. Energi rivalitas telah disalurkan Bonek dengan dukungan lewat genderang dan chant yang lantang sepanjang laga yang berakhir manis bagi tuan rumah itu. Tiada juga flare atau kembang api. Tiada perusakan sarana dan fasilitas. Sayangnya, laga itu tidak dihadiri oleh Aremania. Jika saja ada fans kedua tim dan laga berakhir tanpa masalah, betapa indahnya.
Lagi pula, sebelum pertandingan, diadakan penyerahan donasi dari Bonek dan Persebaya kepada Perkumpulan Keluarga Korban Kanjuruhan (PK3). Sertifikat donasi yang mencatat nominal Rp 100 juta diserahkan oleh Presiden Persebaya Azrul Ananda kepada Vinsensius Safri dan Siti Sofiah dari perkumpulan. Mereka didampingi Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Putu Kholis Aryana.
Momen ini disaksikan oleh Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya Mayor Jenderal Farid Makruf, Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Toni Harmanto, dan terutama 27.000 jiwa Bonek. ”Terima kasih atas donasi bagi kami keluarga korban Kanjuruhan,” ujar Sahri yang juga Ketua PK3 dengan pelantang suara.
”Semoga ini menjadi tunas perdamaian dalam sepak bola dan suporter seluruh Indonesia. Kita Indonesia, mari maju bersama,” kata Sahri lagi dengan haru, disambut gemuruh penonton.
Putu mengatakan, petugas memfasilitasi perjalanan PK3 untuk menerima donasi ke Surabaya. Momen di Gelora Bung Tomo itu menjadi penting dalam landasan mendorong rivalitas yang positif antar-fans sepak bola di Indonesia.
Di laga itu, gol untuk tuan rumah dicetak oleh sayap serang Bruno Moreira menit ke-27, bek Dusan Stevanovic (45), dan gelandang serang Ze Valente (49). Tim tamu cuma membalas dengan gol teramung sayap serang Dedik Setiawan menit ke-65.
Laga itu jelas disyukuri oleh Pelatih Josep Gombau Balague yang baru tiga laga menangani ”Green Force”, julukan Persebaya. ”Semua pemain tahu betapa penting pertandingan ini. Mereka bekerja sangat keras di latihan dan di pertandingan sehingga dapat berbuah tiga poin,” katanya.
Bagi Arema FC, kekalahan itu menjadi yang pertama setelah empat laga sebelumnya positif dengan dua kemenangan dan dua seri. Kekalahan itu menjadi cambuk bagi Pelatih JF Martins Valente, ayah dari Ze Valente, untuk persiapan tim lebih baik. Mereka harus segera bangkit dan menjauh dari zona degradasi.
Setelah laga itu, Martins dan Ze berpelukan. Mereka seolah juga mengirim pesan bahwa pengabdian bisa dijalankan bersamaan dengan rivalitas. Persaingan tidak perlu dibumbui dengan kebencian. Laga sepak bola yang sepatutnya dinikmati dalam kegembiraan dan rasa aman serta nyaman. Sabtu sore itu, sepak bola telah menjadi pemenang kehidupan. Semoga bukan sementara.