Olahraga di Indonesia Belum Ramah Anak dan Perempuan
Lebih dari sepekan Tragedi Kanjuruhan berlalu, tetapi duka masih menaungi masyarakat Indonesia. Jatuhnya ratusan korban, termasuk anak-anak dan perempuan, menunjukkan pertandingan olahraga belum ramah anak dan perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022), yang menewaskan hingga 131 orang meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Di antara para korban yang meninggal terdapat perempuan dan anak-anak, dengan jumlah korban anak lebih dari seperempat dari total korban.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam keterangan pers pada pekan lalu menyebutkan, berdasarkan data sementara korban Tragedi Kanjuruhan yang didapatkan dari Posko Postmortem Crisis Center Pemerintah Kabupaten Malang, Selasa (4/10/2022) pukul 02.00, total korban meninggal dunia sebanyak 133 orang.
Korban tersebut terdiri dari 91 laki-laki dan 42 perempuan. Di antara korban tersebut, terdapat 37 orang anak dengan rentang usia 3-17 tahun, serta korban yang belum teridentifikasi usianya sebanyak 18 orang. Adapun data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, dari 131 korban meninggal, terdapat 33 anak.
Tewasnya lebih dari 30 generasi muda, yang usianya masih sangat belia dan bahkan ada yang masih di bawah usia lima tahun dalam tragedi tersebut, menurut Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal tersebut harus menjadi bahan evaluasi khusus, terutama bagi penyelenggara pertandingan.
”Semestinya pertandingan sepak bola menjadi tontonan yang menghibur, menyenangkan, dan aman bagi penontonnya, jauh dari tindak kekerasan. Penyelenggara pertandingan seharusnya memiliki panduan atau protokol perlindungan bagi kelompok rentan, khususnya anak-anak termasuk juga perempuan dan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Semestinya pertandingan sepak bola menjadi tontonan yang menghibur, menyenangkan, dan aman bagi penontonnya, jauh dari tindak kekerasan.
Seperti pertandingan olahraga lainnya, pertandingan sepak bola juga menjadi tontonan yang juga sangat menarik bagi perempuan dan anak-anak. Akan tetapi, Bintang mengingatkan pentingnya antisipasi faktor-faktor risiko, terutama keselamatan perempuan dan anak yang hadir menyaksikan langsung pertandingan tersebut.
Karena itulah, pasca-Tragedi Kanjuruhan, Kementerian PPPA mendorong seluruh pihak terkait mengevaluasi total potensi risiko keselamatan dan rencana mitigasi kondisi darurat di stadion apabila terjadi kerusuhan serta faktor keamanan terhadap penonton.
Tragedi kerusuhan dalam pertandingan olahraga sepak bola bukanlah hal pertama terjadi dalam sejarah di Indonesia. Maka, seharusnya penyelenggara memperhatikan fasilitas stadion, salah satunya mengantisipasi hadirnya penonton perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
Selama ini, faktor keamanan penonton perempuan dan anak-anak sudah menjadi sorotan. Karena itu, keamanan penyelenggaraan pertandingan sepak bola bagi mereka mestinya sudah menjadi perhatian khusus, dari mulai proses pembelian tiket hingga penonton meninggalkan stadion seusai pertandingan.
Komisioner KPAI, Jasra Putra, menegaskan, melalui foto dan video yang beredar ke publik, terlihat situasi anak-anak di tengah lautan massa tak terkendali bersama orangtua mereka. Ada anak yang digandeng, digendong, terkena pukulan, dan kekerasan.
Belum lagi teriakan-teriakan, perihnya asap gas air mata, dan situasi massa yang panik saat melawan arus massa demi mencari selamat. Peristiwa itu tidak hanya terjadi di stadion, tetapi juga di luar stadion. Padahal, seharusnya sepak bola adalah tontonan keluarga dan ramah anak. Anak-anak yang masuk mestinya ada perlakuan khusus, seperti edukasi, mitigasi, dan pengurangan risiko.
”Tentu, mereka tidak siap jika tiba-tiba harus berhadapan dengan gas air mata dan kekerasan. Ini berbeda dengan mereka yang biasa berdemonstrasi, (mereka) telah mempersiapkan diri ketika banyak gas air mata,” kata Jasra.
Mengapa banyak korban anak?
Tak hanya Kementerian PPPA yang bersuara. Sorotan tajam atas penyelenggaraan olahraga tersebut juga dilayangkan publik dan organisasi-organisasi perlindungan anak dan perempuan.
Sejumlah pertanyaan mencuat. Misalnya, mengapa begitu banyak korban anak dan perempuan? Bagaimana standar perlindungan bagi anak-anak dan perempuan dalam pertandingan olahraga yang menghadirkan puluhan ribu penonton?
Tragedi Kanjuruhan, menurut Advocacy and External Engagement Manager Wahana Visi Indonesia (WVI), Junito Drias, sesungguhnya menjadi pembelajaran berharga karena membuka fakta yang sangat mengkhawatirkan, yakni aspek-aspek keselamatan dan perlindungan anak di ruang publik serta dalam kegiatan kerumunan sering kali diabaikan.
”Sekitar 25 persen korban jiwa pada Tragedi Kanjuruhan adalah anak-anak. Angka ini sangat besar. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan sejauh mana upaya-upaya mengutamakan keselamatan dan perlindungan anak di ruang publik menjadi perhatian negara,” kata Junito.
Selama ini, ada banyak ruang publik dan kegiatan yang menghadirkan massa dalam jumlah besar, seperti konser, pertandingan olahraga, dan bazar. Namun, lokasinya dirancang tanpa mempertimbangkan perlindungan kelompok rentan, khususnya anak-anak.
Proses perizinan kepolisian, misalnya, hanya berfokus untuk memeriksa aspek administratif, tetapi tidak mensyaratkan seperti akses dan mitigasi keselamatan pengunjung anak ataupun kelompok rentan lain. Padahal, pemerintah selaku regulator seharusnya mewajibkan penyelenggara kegiatan untuk memperhatikan keselamatan dan perlindungan anak.
Akibatnya, anak-anak dan kelompok rentan lainnya menjadi seperti kehilangan ruang publik Karena keamanan mereka tidak dijamin. Padahal ruang publik itu milik bersama. Negara seharusnya menjamin hal itu dengan menjadikan aspek perlindungan anak sebagai elemen syarat.
Momentum berbenah
Maka, Tragedi Kanjuruhan harus menjadi pelajaran sekaligus momentum untuk berbenah diri, memperhatikan keselamatan penonton, terutama anak-anak dan kelompok rentan. Perlu ada intervensi secepatnya dari pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat agar anak-anak tidak lagi rentan menjadi korban di setiap kegiatan kerumunan dan di ruang publik.
Semua pihak harus didorong untuk bersama-sama mulai merumuskan dan mengintegrasikan aspek perlindungan anak di setiap kegiatan kerumunan dan di ruang publik. ”Jika tidak, hal ini akan menjadi ’bom waktu’ yang berpotensi menimbulkan tragedi seperti di Stadion Kanjuruhan kembali terulang,” kata Child Protection Team Leader WVI, Emmy Lucy Smith.
Tragedi Kanjuruhan juga harus menjadi refleksi dan pembelajaran berharga bagi masyarakat, terutama orangtua, agar setiap orangtua memperhatikan keselamatan anak-anak, dan memastikan anak-anak yang diajak menonton pertandingan sepak bola benar-benar dalam suasana yang nyaman dan aman, baik sebelum, selama maupun sesudah pertandingan dilaksanakan.