Pertumpahan Dahaga Juara di Wembley
Di Wembley, MU ingin mengembalikan tradisi tim juara, sementara Newcastle ingin menciptakan hari terbaik dalam 67 tahun terakhir.
LONDON, SABTU — Sudah hampir enam tahun sejak terakhir Manchester United meraih trofi. Bagi tim tersukes di Inggris seperti mereka, paceklik itu sangatlah lama. Fondasi sejarah ”Setan Merah” terbentuk dari puluhan trofi. Karena itu, standar kesuksesan mereka dari berbagai masa adalah raihan trofi. Tidak kurang dari itu.
Newcastle United dengan salah satu basis pendukung paling fanatik, berbanding terbalik. Melihat timnya berlaga sudah cukup membuat pendukung bahagia. Trofi hanya bonus. Wajar jika klub berjuluk ”Si Burung Murai” itu tetap begitu dicintai setelah paceklik gelar domestik 67 tahun.
MU dan Newcastle akan bertarung dalam final Piala Liga di Stadion Wembley, Kota London, Minggu (26/2/2023). Mereka terakhir bertemu di Stadion Wembley pada final Piala FA 1999 yang berujung kemenangan MU. Laga itu sekaligus menjadi penampilan terakhir Newcastle di partai puncak kompetisi domestik.
Di Newcastle, mantan penyerang Alan Shearer tetap dipuja bagai manusia setengah dewa walaupun tidak menyumbang trofi. Sebaliknya, deretan trofi sepertimenjadi syarat status legenda di MU. Status itu yang telah dicapai Sir Alex Ferguson dan Sir Bobby Charlton, para penyumbang trofi Setan Merah.
Baca juga: MU Selangkah Lagi Akhiri Rindu Trofi
Shearer yang tampil di final pada 1999 berkata, sudah saatnya klub membayar kesetiaan para pendukung. Laga akhir pekan nanti adalah kesempatan terbaik bagi Newcastle, meskipun di atas kertas MU jauh diunggulkan. Shearer akan turut datang ke Stadion Wembley.
Tidak ada yang tahu hasil laga nanti karena sepak bola bisa ditentukan hanya dalam momen sekejap. Namun, saya percaya kami akan datang dengan harapan dan ambisi besar. Saya meyakini suatu saat nanti pasti akan menjadi hari kami (Newcastle).
”Tidak ada yang tahu hasil laga nanti karena sepak bola bisa ditentukan hanya dalam momen sekejap. Namun, saya percaya kami akan datang dengan harapan dan ambisi besar. Saya meyakini suatu saat nanti pasti akan menjadi hari kami (Newcastle),” jelas Shearer dalam kolom The Athletic.
Pencapaian Newcastle adalah rancangan sejak awal musim tidak datang tiba-tiba. Mereka beruntung dipimpin manajer muda ambisius asal Inggris, Eddie Howe (45). Sejak awal musim, Howe memotivasi para pemain dengan tulisan ”Kami sudah tidak juara kompetisi domestik 67 tahun” di layar besar tempat latihan.
Ambisi itu diiringi dengan skuad berkualitas dengan pemain berpengalaman. Mereka punya pemain tim nasional, seperti Kieran Trippier (Inggris) dan Bruno Guimaraes (Brasil). Bukan hal aneh jika mereka mencapai final, juga sedang bersaing dengan MU dalam perebutan empat besar Liga Inggris.
Baca juga: Newcastle Capai Final Pertama di Milenium Baru
MU sudah siap memperpanjang masa paceklik Newcastle. Mereka sedang berada di lokomotif bernama kepercayaan diri setelah menaklukkan Barcelona di Liga Europa. Bersama manajer Erik ten Hag, para pemain Setan Merah tidak gentar menghadapi tim mana pun.
”Saya pikir hal terpenting saat ini adalah kepercayaan diri kami sedang sangat tinggi. Kami mempercayai proses bersama ide pelatih (Ten Hag). Banyak orang tidak percaya MU bisa berada di posisi sekarang secepat ini. Namun, dia membuat kami mempercayai itu,” kata gelandang MU, Bruno Fernades.
Di dalam musim pertama Ten Hag, MU menjadi satu-satunya tim yang masih bertahan di empat kompetisi hingga saat ini. Adapun kemenangan pada Minggu nanti bisa menjadi trofi pertama manajer asal Belanda itu bersama MU. Trofi Piala Liga akan sangat berarti untuk menandai era baru Ten Hag.
Howe juga akan menjalani final pertamanya sebagai manajer. Dia tidak hanya berpeluang menyudahi paceklik gelar, tetapi juga bisa memberikan gelar juara pertama Newcastle di Piala Liga. ”Saya percaya pemain kami tidak akan terbebani dengan sejarah,” kata manajer yang memimpin Newcastle sejak November 2021 itu.
Baca juga : Kastil Fenomenal Newcastle United
Bencana Karius
Angin segar berpihak ke MU setelah Newcastle terpaksa harus menggunakan kiper ketiga, Loris Karius. Kiper pertama, Nick Pope, akan menjalani sanksi setelah diganjar kartu merah versus Liverpool di Liga Inggris, pekan lalu. Kiper kedua, Martin Dubravka, yang merupakan pemain pinjaman dari MU juga tidak bisa tampil karena melawan tim asalnya.
Karius mengalami krisis percaya diri setelah blunder di final Liga Champions 2018 yang berujung kekalahan Liverpool dari Real Madrid. Sejak itu, dia terus berpindah-pindah klub karena gagal kembali ke performa terbaik. Presensi Karius akan menjadi santapan empuk penyerang MU, Marcus Rashford, yang sedang berapi-api dengan 13 gol dalam 15 laga terakhir.
Adapun Karius sudah tidak bermain hampir dua tahun. Dia terakhir kali tampil bersama klub Liga Jerman Union Berlin pada Februari 2021. Laga nanti pun akan menjadi pembuktian terbesarnya, apakah bisa bangkit dari keterpurukan atau justru semakin terperosok.
Newcastle bisa sedikit lega karena Guimaraes sudah terbebas dari sanksi larangan bertanding. Seperti diketahui, sang gelandang merupakan mesin serangan dan bertahan ”Si Burung Murai” musim ini. Dia akan menjadi kunci pertarungan di lini tengah versus gelandang MU, Casemiro, juga rekannya di timnas Brasil.
Baca juga: Eddie Howe, Pilihan Kompromistis Newcastle
Dari gaya bermain, Newcastle bukanlah lawan yang diinginkan oleh MU. Setan Merah selalu senang ketika menghadapi lawan yang bermain ofensif. Mereka bisa menggunakan strategi serangan balik yang sukses menghukum tim besar, seperti Barca dan Manchester City.
Namun, Newcastle dikenal dengan tim yang lebih defensif, terutama saat menghadapi lawan lebih kuat. Terbukti, tim asuhan Howe itu memiliki pertahanan terbaik di liga, baru kemasukan 15 gol dari 23 laga. Adapun terakhir kedua tim bertemu, MU tertahan 0-0 di Stadion Old Trafford.
Baca juga: “Setan Merah” Mendekati Wembley dengan Beberapa Catatan
Ten Hag juga cukup mengkhawatirkan strategi buang-buang waktu ala Newcastle. Menurut Opta Analyst, Newcastle merupakan tim kedua di liga dengan catatan waktu efektif bermain terendah, hanya 52,3 persen. Artinya, hampir separuh dari 90 menit terbuang percuma karena laga terhenti.
”Para wasit menginginkan pertandingan berjalan dengan waktu seefektif mungkin. Mereka adalah tim dengan (waktu efektif) terendah. Mereka cukup berhasil dengan cara itu. Kami pun hanya bisa berharap kepada wasit pada laga nanti,” jelas Ten Hag. (AP/REUTERS)