Hujan Laser di Dakar hingga Badai Kemarahan di Abuja
Pendukung Senegal melakukan segala cara untuk membantu timnya lolos ke Piala Dunia 2022. Di sisi lain, suporter Nigeria merusak segalanya untuk meluapkan kemarahan karena ”Si Elang” gagal tampil di Qatar.
Babak akhir kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) penuh dengan drama. Mulai dari tingkah pendukung Senegal yang menghalalkan segala cara demi membantu timnya mengalahkan Mesir hingga kemarahan warga Nigeria yang menyaksikan timnya gagal menembus putaran final Piala Dunia untuk pertama kali dalam 16 tahun.
Sekitar 50.000 pendukung Senegal menyaksikan langsung laga kedua babak ketiga kualifikasi Qatar 2022 menghadapi Mesir, Rabu (30/3/2022) dini hari WIB, di Stadion Abdoulaye Wade, Dakar. Kehadiran para suporter itu bukan sekedar memberikan yel-yel dukungan kepada Sadio Mane dan kawan-kawan, melainkan mereka juga meneror pemain Mesir.
Baca juga: Portugal Meredam Sejarah
Sejak bus pemain Mesir memasuki kompleks stadion terbesar di Senegal itu, ratusan pendukung Senegal memukul dan melempar benda asing ke jendela bus itu. Teror itu memuncak ketika para pemain Mesir memulai pemanasan jelang memulai babak pertama.
Hujan laser mengarah kepada seluruh pemain Mesir. Sinar laser berwarna hijau juga terlihat di layar kaca ketika pemain Mesir menyanyikan lagu kebangsaan.
Selama 120 menit pertandingan, setiap ”Pasukan Firaun”, julukan Mesir, menguasai bola, laser berwarna hijau langsung memenuhi wajah pemain Mesir. Gol cepat Senegal yang diawali bunuh diri bek Mesir, Hamdi Fathi, pada menit keempat menghadirkan gemuruh di Abdoulaye Wade. Berkat gol itu, Senegal menyamakan agregat menjadi 1-1.
Gol itu seakan menjadi suntikan semangat bagi para pendukung Senegal untuk kian gencar meneror pemain Mesir. Penyerang sekaligus kapten Mesir, Mohamed Salah, dan kiper Mohamed El-Shenawy menjadi anggota skuad Pasukan Firaun yang paling banyak terkena teror laser.
Baca juga: Portugal Pantang Remehkan Macedonia Utara, Sang Pembunuh Raksasa
Tak hanya sinar laser, pemain Mesir juga mendapatkan teror berupa lemparan botol air minum dari pendukung Senegal. El-Shenawy menjadi pemain Mesir pertama yang merasakan lemparan botol air minum itu seusai menangkap bola pada menit ke-13.
Melihat insiden itu, Pelatih Mesir Carlos Queiroz melakukan protes kepada wasit. Protes itu hanya berbuah hadirnya pengumuman di dalam stadion yang melarang penonton melempar benda apa pun ke dalam lapangan.
Hujan laser makin menjadi memasuki babak adu penalti. Empat penendang Mesir, yaitu Salah, Ahmed Sayed, Amr El-Solia, dan Mostafa Mohamed, sampai harus menutup mata mereka sebelum melakukan ancang-ancang untuk menendang bola dari titik putih.
”Kerja keras” pendukung Senegal pun berbuah hasil positif. ”Singa Teranga”, sebutan Senegal, mengungguli Mesir 3-1 dalam drama adu penalti.
Itu menjadi kesempatan ketiga Senegal bisa menembus Piala Dunia. Dua partisipasi sebelumnya terjadi pada 2002 dan 2018.
Baca juga: Senja di Ufuk Calcio
Tak hanya menyegel tiket ke Qatar, kemenangan itu membuat Senegal kembali menghadirkan duka bagi Mesir. Sebelumnya, Singa Teranga juga menumbangkan Mesir melalui adu penalti di final Piala Afrika 2021, 7 Februari lalu.
Seiring teror yang dilakukan pendukung Senegal, Asosiasi Sepak Bola Mesir (EFA) langsung mengirimkan surat protes kepada pengawas pertandingan, ofisial keamanan, CAF, dan FIFA. Tak hanya laser dan lemparan botol, EFA mengklaim pendukung Mesir juga membentangkan spanduk penghinaan kepada beberapa pemain Mesir, terutama Salah.
Pendukung Senegal meneror pemain Mesir dengan melempar botol dan batu. Bus tim Mesir juga menjadi sasaran serangan yang menyebabkan kaca jendela pecah dan menyebabkan (staf) cedera.
”Pendukung Senegal meneror pemain Mesir dengan melempar botol dan batu. Bus tim Mesir juga menjadi sasaran serangan yang menyebabkan kaca jendela pecah dan menyebabkan (staf) cedera. Kami memiliki dokumentasi foto dan video untuk mendukung protes ini,” sebut pernyataan EFA di laman resmi.
Baca juga: Italia dan Portugal Akan Perebutkan Satu Tiket ke Qatar
Berdasarkan Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA, laser adalah item yang dilarang masuk ke dalam stadion. Petugas keamanan wajib menyita laser yang dibawa penonton sebelum masuk ke dalam tribune stadion.
Pada Pasal 16 Ayat (2) Kode Disiplin FIFA tertuang pula ancaman hukuman kepada setiap tim yang tidak bisa mengantisipasi aksi tidak sopan dan terlarang pendukungnya kepada tim lawan. Terkait insiden laser itu, El Salvador pernah dijatuhi denda 13.431 dollar AS (Rp 192 juta) karena tingkah pendukung yang mengganggu pemain Meksiko dengan sinar laser pada laga kualifikasi Qatar 2022, Oktober 2021.
Mengundurkan diri
Apa pun hukuman yang akan diberikan kepada Senegal atas tindakan pendukung itu tidak akan menganulir tiket Singa Teranga ke Piala Dunia 2022. Bahkan, dampak dari kekalahan itu langsung terasa di Mesir berkat pengunduran diri Queiroz, sang juru taktik.
Mantan Pelatih Real Madrid itu merasa bertanggung jawab tidak bisa memenuhi harapan dari jutaan masyarakat Mesir yang ingin melihat timnya tampil di Qatar. Pengumuman pengunduran diri itu disampaikan Queiroz pada konferensi pers usai laga tersebut.
Lihat juga: Duka Italia di Piala Dunia
”Ini waktunya saya meninggalkan kepemimpinan (timnas) Mesir kepada orang lain,” kata Queiroz.
Lebih lanjut, Queiroz tidak memungkiri teror berupa laser dan lemparan benda asing yang diterima pemainnya membuat Mesir kehilangan fokus di awal babak pertama.
”Kami memulai laga dengan tidak fokus karena temperatur tinggi di dalam stadium. Kami tidak mengatakan itu sebagai alasan kekalahan ini, tetapi itu adalah salah satu faktor yang menyebabkan kami kalah,” ujar Queiroz.
Adapun Pelatih Senegal Aliou Cisse menganggap anak asuhannya pantas melaju ke putaran final Qatar 2022 karena tampil lebih baik dibandingkan ketika kalah 0-1 di Kairo. Ia pun yakin Senegal bisa berkiprah lebih baik di Piala Dunia 2022 dibandingkan saat gugur di babak penyisihan Piala Dunia 2018.
Kekecewaan Nigeria
Sementara itu, kemarahan pecah di Stadion Nasional Abuja, Nigeria. Sekitar 60.000 pendukung Nigeria meluapkan kemarahannya ketika menyaksikan Nigeria gagal lolos ke Qatar dengan merusak fasilitas di stadion itu.
Baca juga: Duel Super Klasik Imbang, Argentina Susul Brasil Lolos ke Qatar
Pada laga kedua babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2022, Nigeria hanya bermain imbang 1-1 menghadapi Ghana. Tim tamu unggul lebih dulu melalui gol gelandang, Thomas Partey, pada menit 10, lalu Nigeria menyamakan kedudukan di menit ke-22 melalui eksekusi penalti bek, William Troost-Ekong. Hasil itu membuat Nigeria gagal ke Qatar karena kalah agregat gol tandang.
Seusai laga, ribuan pendukung Nigeria merusak pagar pembatas tribune untuk memasuki lapangan. Mereka turun berbondong-bondong ke dalam lapangan seperti sebuah badai.
Selanjutnya, para pendukung Nigeria merusak seluruh fasilitas di dalam lapangan. Mulai dari merobek jaring gawang hingga merusak kursi staf pelatih yang berada di sisi lapangan.
Tak hanya itu, para pendukung juga merusak kursi di tribune penonton. Berdasarkan laporan media Nigeria, Pulse, aksi vandalisme terhadap fasilitas stadion juga terjadi di luar stadion.
Untuk membubarkan massa yang marah, kepolisian Abuja mengarahkan gas air mata kepada pendukung di dalam lapangan.
Selain merusak fasilitas di stadion sendiri, fans Nigeria juga menyerang sekitar 100 pendukung dan pemain Ghana dengan lemparan benda asing, seperti koin dan botol air minum. Kondisi itu membuat polisi mengawal penonton dan pemain Ghana agar keluar dari stadion.
Pelatih Ghana Otto Addo tidak terlalu memedulikan suasana mencekam yang dialami timnya dan para pendukung Ghana seusai laga karena timnya berhasil menyegel tiket ke Qatar. Meski demikian, ia bersyukur seluruh anggota tim dan pendukung Ghana yang hadir di stadion selamat keluar dari stadion.
”Kami senang bisa memenangi tiket Piala Dunia di Nigeria,” ucap Addo.
Ghana akan menjalani Piala Dunia keempat di Qatar. Sementara itu, Nigeria gagal melanjutkan tren lolos ke Piala Dunia sejak 2010.
Adapun tiga tim lain yang mewakili Afrika di Piala Dunia 2022 adalah Tunisia, Maroko, dan Kamerun. (AFP)