Senja di Ufuk “Calcio”
Kegagalan menembus Qatar 2022 menegaskan penurunan kualitas sepak bola Italia dalam satu dekade terakhir. Minimnya klub Italia memberikan kesempatan pemain muda berimbas kepada kualitas "Gli Azzurri".
PALERMO, JUMAT – Hanya dalam durasi 257 hari, rakyat Italia merasakan suasana hati bak menaiki roller coaster. Mereka masih ingat jelas kebahagiaan ketika tim nasional Italia meraih trofi Piala Eropa 2020, 12 Juli lalu.
Beberapa bulan berselang, mereka harus tenggelam dalam lara setelah menyaksikan “Gli Azzurri” tumbang 0-1 dari Macedonia Utara, Jumat (25/3/2022) dini hari WIB, di Stadion Renzo Barbera, Palermo, Italia. Hasil itu membuat Italia kembali gagal menembus putaran final Piala Dunia.
Baca juga : Tangis Italia Pecah di Renzo Barbera
Alhasil, "Gli Azzurri" untuk pertama kali tidak tampil di Piala Dunia dalam dua edisi beruntun. Sebelumnya, Gli Azzurri juga menelan pil pahit setelah kalah agregat 0-1 dari Swedia di babak playoff Piala Dunia 2018, November 2017.
Sebagai pemilik empat gelar Piala Dunia serta negara yang tidak bisa lepas dari calcio, sebutan sepak bola dalam bahasa Italia, kegagalan tampil di Qatar 2022 adalah sebuah aib. Bahkan, koran olahraga Italia, Corriere dello Sport menganggap tersingkirnya Italia di babak semifinal playoff kualifikasi Piala Dunia 2022 adalah sebuah dosa besar.
“Masuk Neraka,” tulis judul di halaman muka surat kabar itu, Jumat kemarin. Sementara itu, La Gazzetta dello Sport, koran olahraga berbasis di Milan, menilai, Italia sudah tidak pantas dianggap sebagai negara elite dalam percaturan sepak bola dunia. Stefano Barigelli, redaktur La Gazzetta dello Sport, menyatakan, calcio telah memasuki era terburuk, sehingga perlu segera ada pembenahan apabila Gli Azzurri tidak ingin kembali gagal menembus Piala Dunia edisi 2026.
Kejayaan di Piala Eropa 2020 ternyata hanya sebuah ilusi. Ada masalah sistematis di dalam sepak bola Italia yang harus segera diselesaikan. Hal itu terlihat pula dari prestasi buruk klub Italia di kompetisi Eropa yang tidak pernah berprestasi sejak Inter Milan pada 2010.
“Kejayaan di Piala Eropa 2020 ternyata hanya sebuah ilusi. Ada masalah sistematis di dalam sepak bola Italia yang harus segera diselesaikan. Hal itu terlihat pula dari prestasi buruk klub Italia di kompetisi Eropa yang tidak pernah berprestasi sejak Inter Milan pada 2010,” ujar Barigelli.
Baca juga : Italia Kembali Terperosok ke Titik Nadir
Apabila merujuk performa sejak menjadi juara Piala Dunia 2006, indikasi masa senja kehebatan Italia di Piala Dunia sudah terlihat sejak mengikuti Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Kala itu, Italia yang memegang predikat juara bertahan gagal lolos dari babak penyisihan, bahkan mereka gagal mengoleksi satu pun kemenangan.
Hal serupa terjadi di Brasil 2014 ketika Italia juga tersingkir di fase grup. Mereka kalah bersaing dengan Kosta Rika dan Uruguay.
Kegagalan Italia menembus putaran final Piala Dunia 2022 membuat Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) Gabriele Gravina langsung meminta maaf kepada seluruh rakyat Italia melalui tayangan langsung di stasiun televisi Rai Sport, Kamis (24/3) malam waktu setempat. Menurut Gravina, kekalahan atas Macedonia Utara adalah rasa pahit yang seharusnya tidak terjadi karena Italia mendominasi pada laga semifinal playoff itu.
Tanggung jawab klub
Lebih lanjut, ia menuturkan, tidak mudah untuk mengidentifikasi masalah yang menyebabkan anjloknya prestasi Italia di kualifikasi Piala Dunia. Tetapi, Gravina menyalahkan, tim-tim Italia di Serie A yang tidak lagi memberikan banyak kepercayaan kepada pemain lokal.
“Pelatih timnas memiliki pekerjaan sulit untuk memilih pemain karena hanya sekitar 30 persen pemain muda di klub berasal dari Italia,” kata Gravina.
Baca juga : Duka Italia di Piala Dunia
Keluhan Gravina memang memiliki dasar kuat, Dalam laporan CIES Football Observatory pada musim 2020-2021, Serie A Italia adalah liga dengan persentase terendah yang menggunakan pemain didikan akademi klub peserta.
Hanya sekitar 5 persen pemain akademi Italia tampil di Serie A pada musim lalu. Jumlah itu jauh dibandingkan empat liga top Eropa lainnya yang mencatatkan dobel digit persentase terkait penggunaan pemain asli akademi.
La Liga Spanyol melibatkan 15,7 persen pemain akademi, lalu sebanyak 12,6 persen produk akademi Liga Primer Inggris tampil di liga terbaik di dunia itu. Kemudian, klub Liga Perancis dan Bundesliga Jerman memainkan masing-masing 11,8 persen dan 10,5 persen pemain lokal lulusan akademi.
Sementara itu, dalam daftar klub di lima liga top Eropa yang paling produktif menghasilkan pemain untuk kompetisi Eropa musim 2021-2022, klub Italia tidak ada yang menyentuh posisi 10 besar. Duo raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, sama-sama mengorbitkan 42 pemain akademi untuk tampil di divisi utama 31 liga anggota UEFA.
Baca juga : Italia dan Portugal Akan Perebutkan Satu Tiket ke Qatar
Posisi tim terbaik Italia dipegang Atalanta dan AS Roma yang telah mencetak 20 dan 19 pemain. Atalanta berada di peringkat ke-19, sedangkan Roma menduduki posisi ke-20 dalam daftar itu.
Adapun trio legendaris kekuatan Italia, yaitu Juventus, Inter, dan AC Milan hanya bisa menghasilkan masing-masing 8, 15, dan 17 pemain yang bisa menembus divisi terbaik kompetisi Eropa.
“Ketika menyaksikan turnamen Viareggio (pemain muda), saya melihat terlalu banyak pemain asing di klub. Kondisi itu membuat Italia sudah tidak memiliki lagi harga diri dan kebanggaan,” kata mantan pelatih AC Milan, Arrigo Sacchi, kepada La Gazzetta dello Sport, beberapa waktu lalu.
Minim penyerang
Selain pemain lokal kurang berkembang, hal itu berimbas pula bagi buruknya kedalaman di dalam skuad Gli Azzurri, terutama di lini depan. Ketika menjadi juara di Jerman 2006, Italia dihuni para penyerang yang bisa bahu-membahu mencetak gol, seperti Francesco Totti, Alessandro Del Piero, Luca Toni, Filippo Inzaghi, Vincenzo Iaquinta, dan Alberto Gilardino.
Baca juga : Bertamu ke Belfast, "Gli Azzurri" Dibayangi Tragedi
Enam penyerang yang dibawa Marcelo Lippi menyumbangkan gol yang membantu Italia menjadi kampiun dunia untuk keempat kalinya. Performa enam pemain depan itu di timnas merupakan wujud dari permainan gemilang mereka di level klub. Toni, Totti, dan Del Piero silih berganti menjadi pencetak gol terbanyak Serie A pada musim 2005-2006, 2006-2007, dan 2007-2008.
Setelah para pemain itu gantung sepatu, Italia kehilangan penyerang tajam. Ciro Immobile memang menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Italia pada edisi 2019-2020, 2017-2018, dan 2013-2014, tetapi performanya tidak cukup baik bersama Gli Azzurri. Ia tidak bisa menjadi sosok penentu.
Pada laga menghadapi Macedonia Utara, Italia menciptakan 32 peluang tetapi tidak ada yang berbuah gol. Trio penyerang yang diturunkan Roberto Mancini, yaitu Immobile, Domenico Berardi, dan Lorenzo Insigne, mencatatkan akumulasi 18 tembakan yang hanya empat tembakan tepat sasaran.
Marco Verratti, gelandang Italia, menyesali kegagalan Gli Azzurri memaksimalkan peluang yang dimiliki. “Di dalam sepak bola, Anda perlu bermain klinis dan efektif untuk mencetak gol secepat mungkin. Kegagalan kami mencetak gol dimanfaatkan lawan untuk menghadirkan mimpi buruk di masa perpanjangan waktu,” kata Verratti.
Mancini menilai, kekalahan dari Macedonia adalah kekecewaan terbesar dalam kariernya di dunia sepak bola. Ia belum bisa memastikan dirinya akan melanjutkan tugasnya di Gli Azzurri.
“Kami akan melihat dalam beberapa waktu mendatang. Terlalu mengecewakan untuk membicarakan masa depan saat ini,” ucapnya. (AFP/REUTERS)