Menanti Aksi Konkret Inpres Pembangunan Sepak Bola
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 belum menghadirkan perubahan nyata bagi nasib sepak bola di Indonesia. Untuk itu, PSSI tengah menyusun cetak biru pembangunan sepak bola untuk mengonkretkan inpres itu.
Sudah tiga tahun berlalu sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Namun, 11 kementerian, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan kepala daerah yang menjadi obyek dari arahan itu belum menunjukkan langkah nyata untuk membantu perkembangan olahraga paling populer di Tanah Air itu.
Inpres tersebut ditandatangani pada 25 Januari 2019 atau pada periode pertama jabatan Presiden Jokowi. Di awal kemunculannya, inpres itu menghadirkan asa untuk perbaikan sepak bola pemerintah, terutama dengan hadirnya political will dari kepala negara.
Baca juga: Kegagalan Termanis Tim ”Garuda” di Final
Hanya saja, dalam kenyataannya, harapan itu bak jauh panggang dari api. Kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah (pemda) seakan masih menganaktirikan Inpres No 3/2019.
Mereka juga masih gagap dalam implementasi arahan itu. Akhirnya, harapan Presiden untuk menyaksikan adanya peningkatan kualitas pembinaan, liga, hingga prestasi tim nasional masih belum terwujud.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali mengatakan, inpres itu menjadi dasar bagi pihaknya untuk meningkatkan pembinaan sepak bola usia dini. Menurut dia, Indonesia belum memiliki sistem pembinaan yang baik untuk menghadirkan tim nasional yang berprestasi.
”Saya berharap kira-kira sepuluh tahun mendatang kita memiliki timnas yang bagus, kuat, dan tangguh. Itu hanya bisa dilakukan dengan pembinaan yang terstruktur dan konsisten, jangan angin-anginan seperti sekarang,” ujar Amali dalam beberapa kesempatan.
Untuk itu, Menpora telah melakukan sosialisasi ke sejumlah provinsi untuk implementasi inpres itu. Namun, sekali lagi, sosialisasi tanpa kerja nyata adalah sebuah kesia-siaan karena kementerian/lembaga dan pemda belum menunjukkan kerja konkret untuk menjalankan Inpres No 3/2019.
Baca juga: Skuad ”Garuda” Indonesia Tundukkan Timor Leste
Atas dasar itu, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mulai serius menindaklanjuti Inpres No 3/2019. Dalam Kongres Tahunan 2021 lalu, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan membentuk tim ad hoc untuk menerbitkan pedoman bagi semua pemangku kepentingan yang tertuang dalam inpres itu untuk gotong royong membangun sepak bola.
Produk final dari tim ad hoc itu ialah menciptakan cetak biru pembangunan sepak bola nasional. Di dalam cetak biru itu, PSSI akan memberikan pedoman peran-peran konkret yang diharapkan dari 13 pemangku kepentingan yang disebut dalam Inpres No 3/2019.
Alhasil, mereka bisa menjalankan perannya masing-masing untuk membantu pembangunan sepak bola yang jalan di tempat dan telah paceklik prestasi lebih dari tiga dekade.
”School of Excellence”
Langkah pertama yang disusun PSSI adalah kerangka untuk menghadirkan school of excellence (SE) untuk sepak bola di 34 provinsi. PSSI mengusulkan setiap provinsi memiliki SEyang akan dikhususkan untuk anak-anak berusia 9 hingga 14 tahun agar bisa mengenyam pendidikan dasar tentang sepak bola.
Baca juga: Libas Timor Leste, Shin Tae-yong: Pemain Kurang Punya Rasa ”Lapar”
SE ini akan berbeda konsep dengan Sekolah Atlet Ragunan yang selama ini telah berjalan. Pasalnya, SE akan langsung berada di bawah PSSI yang bekerja sama langsung dengan pemerintah provinsi.
Metode yang akan diterapkan SE adalah pembinaan usia dini yang mengedepankan pemahaman teknik dasar dan etika sepak bola yang selama ini menjadi kelemahan pemain Indonesia di level profesional. Selain kurikulum, SE juga akan menjadi upaya PSSI untuk menghadirkan lapangan-lapangan berstandar FIFA di semua provinsi.
Oleh karena itu, pembentukan SE memerlukan kerja sama dari semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan pusat pembinaan nan ideal itu. Penanggung Jawab Tim Ad Hoc Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional PSSI Hasani Abdulgani mengungkapkan, SE itu terinspirasi dari centres of excellence yang telah dibentuk Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) seusai gagal total di Piala Eropa 2000.
Baca juga: Sinar Terang Talenta Remaja di BRI Liga 1
Dalam kurun waktu kurang dari dua dekade, DFB bersama Pemerintah Jerman telah membangun 52 pusat pembinaan yang tersebar di seluruh wilayah negara itu. Hasani mengatakan, yang membedakan SE itu dengan Sekolah Atlet Ragunan ialah pembinaan yang dilakukan tidak terpusat, jadi setiap provinsi memiliki sekolah pembinaan masing-masing.
Di sisi lain, SE juga tidak akan memaksa anak-anak untuk menjalani pendidikan dengan sistem asrama. Jadi, anak-anak yang masuk dalam SE itu adalah bibit-bibit terbaik yang dihimpun dari semua sekolah sepak bola di seluruh negeri. Mereka akan mendapat pendidikan sepak bola di setiap akhir pekan sehingga tidak mengganggu pendidikan formal mereka.
Setelah melewati usia 14 tahun, SE diharapkan bisa menyalurkan talenta-talenta muda untuk masuk ke dalam akademi-akademi yang dimiliki klub profesional sehingga klub memiliki etalase yang jelas untuk merekrut pemain muda demi membangun tim masa depan.
Menurut saya, hari ini (pembinaan sepak bola) di Indonesia ibarat sebuah hutan yang membiarkan pohon tumbuh sendiri sebab tidak ada tata kelola yang baik.
”Menurut saya, hari ini (pembinaan sepak bola) di Indonesia ibarat sebuah hutan yang membiarkan pohon tumbuh sendiri sebab tidak ada tata kelola yang baik. Dengan cetak biru pembinaan sepak bola ini, kami ingin mengelola talenta yang ada dengan baik sehingga calon pemain ini punya bekal untuk menjadi pemain bernilai yang muaranya bermanfaat bagi klub profesional dan tim nasional,” ujar Hasani yang juga menjabat anggota Komite Eksekutif PSSI, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Baca juga: Badai Covid-19 Gagalkan Indonesia Pertahankan Gelar Piala AFF U-23
Selain pemain, SE juga akan digunakan untuk meningkatkan sumber daya pelatih dan wasit. Hasani mengungkapkan, selama ini Indonesia memiliki keterbatasan pelatih profesional dan wasit yang berkualitas karena kursus dan pelatihan untuk mendapat sertifikat dibiayai sendiri oleh setiap individu.
Oleh karena itu, PSSI akan mengusulkan dalam cetak biru itu agar negara memberikan andil untuk membantu pembiayaan pelatih dan wasit untuk mendapatkan sertifikat mulai dari tingkat asosiasi provinsi (PSSI) hingga tingkat FIFA. Apabila mustahil langsung berasal dari anggaran negara, kata Hasani, pembiayaan itu bisa menggunakan anggaran corporate social responsibility (CSR) sejumlah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Berdasarkan laporan DFB, mereka membutuhkan anggaran sekitar 96 juta euro atau sekitar Rp 1,56 triliun per tahun untuk menjalankan centers of excellence itu. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, centers of excellence yang diinisiasi DFB telah melahirkan sejumlah pemain yang telah menjadi bintang dan tulang punggung timnas Jerman, seperti Mesut Oezil, Mario Goetze, dan Kai Havertz.
Selain pemain, program itu juga telah menghasilkan sekitar 360 pelatih bersertifikat regional serta lebih dari 1.300 pelatih profesional bersertifikat UEFA. Para pelatih itu telah bertugas di klub-klub Bundesliga dan klub Eropa lainnya.
Jalan masuk industri
Setelah membenahi akar rumput dengan meningkatkan sumber daya, cetak biru percepatan pembangunan sepak bola itu memiliki tujuan akhir untuk memajukan ekosistem industri sepak bola. Di dalam cetak biru itu, PSSI juga mengusulkan adanya masa waktu tertentu yang ditetapkan oleh negara untuk menyelenggarakan liga.
Baca juga: Menakar Urgensi Program Naturalisasi
Hal itu agar PSSI dan PT Liga Indonesia Baru tidak perlu harus melakukan korespondensi dengan Polri untuk meminta izin keramaian setiap ingin memulai musim baru kompetisi. Di sisi lain, aturan itu juga diperlukan agar kompetisi tidak menjadi korban bagi sejumlah agenda negara, seperti pemilihan umum.
”Kami berharap cetak biru itu bisa menjadi kepres (keputusan presiden) demi keluar jaminan kompetisi, khususnya izin pertandingan. Dengan masa waktu yang jelas dan digaransi pemerintah, hal itu akan memberi jaminan bagi para calon investor yang ingin berinvestasi di sepak bola. Cara itu akan memajukan industri sepak bola kita karena potensi pasar kita amat besar,” ucap Hasani.
Lebih lanjut Hasani menilai, dengan adanya jadwal pasti bagi liga sepak bola, hal itu juga akan memudahkan liga olahraga lain, seperti bola basket dan bola voli, untuk menentukan jadwal kompetisi. Dua olahraga itu bisa menjalankan kompetisi pada masa libur kompetisi sepak bola demi mendapat audiens yang lebih baik dan tidak perlu bersaing dengan sepak bola.
Baca juga: Indonesia Tersingkir, Saatnya Serius Berbenah
PSSI berencana menyerahkan cetak biru itu sebelum pertengahan tahun ini kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kemudian, pemerintah diharapkan bisa menggodok cetak biru itu dan mengimplementasi kepada 13 kementerian/lembaga dan semua pemda. Program itu diharapkan bisa berjalan pada awal 2023.
”Sekarang belum terlambat untuk memulai perubahan. Kalau inpres itu tidak dimaksimalkan, ya jangan marah kalau kita kalah dari Malaysia dan tidak bisa mengejar (prestasi) Thailand,” kata Hasani.
Eko Noer Kristiyanto, pakar hukum olahraga, menyambut positif inisiatif PSSI untuk membentuk cetak biru demi menindaklanjuti Inpres No 3/2019. Ia menganggap, dalam tiga tahun terakhir, kementerian/lembaga serta pemda terkait belum memahami potensi untuk membantu kemajuan sepak bola.
”Langkah PSSI itu bagus untuk memfasilitasi hadirnya koordinasi semua pemangku kepentingan yang disebut di dalam inpres. Cetak biru itu menjadi upaya awal yang baik untuk melaksanakan komitmen Presiden untuk mendukung pembinaan sepak bola,” ujar Eko.
Baca juga: Momentum Membangkitkan Pembinaan Sepak Bola Putri
Sementara itu, Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menilai, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga perlu menunjukkan langkah nyata untuk menjalankan Inpres No 3/2019.
”Sebagai koordinator dalam inpres itu, Menko PMK harus membentuk tim ad hoc untuk akselerasi percepatan sinergi semua kementerian/lembaga dan pemda. Itu agar program bisa berjalan tepat sasaran dan tidak ada tumpang tindih sehingga terkesan hanya sekadar jalan,” kata Akmal.
Baca juga: Tonggak Bersejarah ”Garuda Pertiwi”
Inpres No 3/2019 sejatinya adalah ujian nyata untuk mengetahui sejauh mana negara memperhatikan sepak bola, olahraga paling populer di negeri ini. Apabila kelahiran inpres tidak memberikan perubahan pada perbaikan pembinaan, itu menunjukkan sepak bola hanyalah ”mainan” bagi segelintir pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memanfaatkan besarnya animo publik.