Perhatian Tertuju Pada Barty
Ashleigh Barty menjadi pusat perhatian karena menembus final Australia Terbuka. Petenis tuan rumah itu dijagokan menjadi juara untuk menyudahi paceklik gelar selama 44 tahun.
MELBOURNE, JUMAT - Petenis nomor satu dunia, Ashleigh Barty, akan menjadi pusat perhatian pada final tunggal putri Australia Terbuka. Perhatian itu, setidaknya, akan diberikan publik Australia setelah 44 tahun tak melihat petenis tuan rumah menjadi juara dalam Grand Slam di negeri sendiri.
Chris O’Neil, petenis Australia terakhir yang menjuarai Australia Terbuka pada 1978, termasuk salah satu yang menantikan momen itu. Dia akan berada dalam barisan depan tribun VIP di Rod Laver Arena, Melbourne Park, Sabtu (29/1/2022).
O’Neil, mantan tunggal putri yang saat ini berusia 65 tahun, mendapat undangan dari Tennis Australia (TA) untuk datang dari kediamannya di Port Macquarie yang berjarak sekitar 1.015 kilometer dari Melbourne.
“Ash Barty adalah petenis yang fantastis. Dia pun memiliki kepribadian yang baik. Jika saya harus menyerahkan tongkat estafet pada yang lain, sudah pasti saya sangat senang menyerahkannya pada Ash,” kata O’Neil, dalam media di Melbourne, The Age, Jumat.
Barty tampil solid dalam enam pertandingan sebelumnya dengan hanya kehilangan 21 gim. Hanya Serena dan Venus Williams yang mengalahkan statistik tersebut. Serena hanya kehilangan 19 gim menuju final AS Terbuka 2012, lalu kehilangan 16 gim menuju final tahun berikutnya. Adapun Venus kehilangan 20 gim menuju final Wimbledon 2009. Serena menjuarai ketiga Grand Slam itu.
Baca juga : Nadal Rebut Kembali Peluang Juara
Untuk mempersembahkan gelar bagi publiknya, Barty tinggal menghadapi satu penghalang lagi, yaitu petenis Amerika Serikat yang membuat kejutan, Danielle Collins. Petenis peringkat ke-27 dunia ini muncul setelah tersingkirnya para juara Grand Slam lain dari paruh undian yang sama, seperti Garbine Muguruza dan Simona Halep.
Jika saya harus menyerahkan tongkat estafet pada yang lain, sudah pasti saya sangat senang menyerahkannya pada Ash. (Chris O’Neil)
Dengan pengalaman menjuarai Perancis Terbuka 2019 dan Wimbledon 2021, serta menjadi petenis nomor satu dunia, Barty lebih difavoritkan juara. Namun, Collins, semifinalis Australia Terbuka 2019, adalah salah satu pesaing dengan permainan garang. Dia memiliki servis dan pengembalian servis yang sama baik. Saat mengalahkan Iga Swiatek pada semifinal, Collins mendapat 86 persen poin ketika lawan melakukan servis kedua.
Collins tertinggal 1-3 dari pertemuan sebelumnya, tetapi menang pada pertemuan terakhir, pada babak kedua WTA 500 Adelaide. Dia juga memaksa Barty harus menang tiga set dalam dua laga lainnya.
Satu-satunya kemenangan dua set didapat pada babak kedua Perancis Terbuka 2019, ketika Barty meraih gelar Grand Slam pertamanya. Dalam perjalanan menuju juara, Barty mengalahkan lima petenis AS, yang tiga diantaranya telah dikalahkan di Mebourne Park, yaitu Amanda Anisimova, Jessica Pegula, dan Madison Keys dalam tiga laga beruntun sejak babak keempat. Hanya Collins, yang dikalahkan pada babak kedua di Roland Garros, tantangan tersisa bagi Barty.
Collins berharap, momen di Roland Garros tak terulang. “Kami menjalani persaingan cukup ketat dalam beberapa tahun terakhir. Untuk berhadapan dengan petenis nomor satu dunia di negaranya, saya pikir itu akan spektakuler,” ujarnya.
Baca juga : Persaingan Tunggal Putri Selalu Terbuka
Petenis yang menjalani persaingan di tingkat universitas (NCAA) sebelum memasuki arena profesional itu menjadi lawan keempat beruntun, yang mengandalkan pukulan penuh tenaga dalam setiap poin, bagi Barty. Namun, dari laga sebelumnya, Barty selalu bisa mencari jalan keluar ketika berhadapan dengan Camila Giorgi, Anisimova, Pegula, dan Keys. Petenis berusia 25 tahun itu memiliki variasi taktik yang bisa diterapkan dengan cepat.
Seperti saat mengalahkan Keys, 6-1, 6-3, pada semifinal, Barty jarang mengeluarkan pukulan yang sama untuk waktu yang lama. Dia memvariasikan backhand dua tangan dengan slice satu tangan.
“Pukulan slice-nya membuat bola memantul lebih rendah dan sangat dekat dengan baseline dibandingkan sebelumnya. Sulit untuk mengembalikan pukulan seperti itu. Saya memiliki taktik yang sudah disiapkan, tetapi dia mengantisipasinya dengan sangat baik. Kualitas pukulannya mengalami perkembangan,” komentar Keys yang bersaing dengan Barty sejak masa yunior.
Variasi itu diperlukan Barty karena dia bukan tipe pemain seperti Collins yang memiliki groundstroke keras. Swiatek menilai, pukulan Collins adalah pukulan tercepat yang dihadapinya selama di Melbourne Park tahun ini.
Baca juga : Era Berganti, Juara Baru Dinanti
Collins pun tampil konsisten sejak pertengahan tahun lalu, tiga bulan setelah menjalani operasi endometriosis pada April. Ini adalah kondisi ketika jaringan yang seharusnya melapisi dinding rahim tumbuh di luar rahim. Sebelum menjalani operasi itu, Collins sering mengalami sakit punggung dan perut hingga membuatnya mundur saat bertanding.
Sempat khawatir dengan pemulihan setelah operasi, dia justru mencapai penampilan terbaik sejak tampil pada arena profesional sejak 2016. Petenis berusia 28 tahun itu tak hanya memperoleh gelar pertama, tetapi dua gelar beruntun dari turnamen WTA pada Juli, yaitu di Italia dan AS.
Menghadapi final Grand Slam pertamanya, petenis yang datang ke Melbourne tanpa sponsor pakaian dan pelatih ini akan menikmatinya seperti dia menikmati bermain di lapangan tenis publik dekat rumahnya di Florida, AS.
Baca juga : Panggung Para Petarung
“Bermain di lapangan publik adalah kegiatan yang saya sukai saat tak ada turnamen. Semua yang saya jalani, termasuk di stadion besar di sini, berawal dari momen spesial di sana,” tutur Collins yang akan menempati peringkat ke-10 dunia, naik 17 tingkat dari posisi saat ini.
Kesempatan Lain Nadal
Rafael Nadal mendapat kesempatan lain untuk menjuarai Australia Terbuka kedua kalinya setelah mengalahkan Matteo Berrettini, 6-3, 6-2, 3-6, 6-3, pada semifinal, Jumat. Nadal akan berebut gelar juara dengan Daniil Medvedev yang menang atas Stefanos Tsitsipas, 7-6 (5), 4-6, 6-4, 6-1.
Jika menang, gelar juara dari final Grand Slam ke-29 itu, juga, bisa menempatkan Nadal sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, yaitu 21. Saat ini, bersama “Big Three” lainnya, yaitu Novak Djokovic dan Roger Federer, Nadal memiliki 20 gelar.
Setelah mengalahkan Roger Federer pada final 2009, Nadal memiliki empat kesempatan lain untuk juara ketika tampil pada final 2012, 2014, 2017, dan 2019. Namun, dia dikalahkan Djokovic (2012 dan 2019), Stan Wawrinka (2014), dan Federer (2017).
“Saya sedikit tidak beruntung sepanjang karier karena sering terkendala cedera pada momen Australia Terbuka. Pada momen lain, saat mendapat kesempatan tampil di final, lawan saya bermain sangat bagus. Tetapi, saya juga beruntung bisa merasakan juara pada 2009 dan tak menduga bisa kembali ke final pada 2022,” katanya.
Baca juga : Keajaiban Rafael Nadal di Australia Terbuka
Namun, Medvedev akan menjadi tantangan tersulit. Dia telah meraih satu gelar Grand Slam, AS Terbuka 2021, setelah mengalahkan Djokovic di final. Kemenangan itu menggagalkan Djokovic meraih gelar Grand Slam ke-21.
“Lagi-lagi, saya akan berhadapan dengan petenis yang berburu gelar ke-21. Melawan Rafa dalam final Grand Slam tentu sangat spesial,” kata Medvedev yang dikalahkan Nadal dalam final Grand Slam pertamanya, yaitu pada AS Terbuka 2019. (AFP/Reuters)