Olimpiade, antara Kemuraman dan Harapan Akan Kegembiraan
Olimpiade Tokyo 2020 tetap berjalan di tengah penolakan dan ketidakpuasan sebagian warga Jepang. Penyelenggara harus bekerja keras memastikan Olimpiade tidak menjadi kluster baru penyebaran infeksi Covid-19.
Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 tersisa empat hari lagi. Namun, panitia pelaksana, Pemerintah Jepang dan Pemerintah Kota Tokyo, sudah harus mulai bekerja keras sejak akhir pekan lalu, menyusul adanya kasus infeksi Covid-19 pertama di perkampungan atlet, lokasi tempat tinggal atlet selama Olimpiade berlangsung.
Panitia penyelenggara menyatakan, 15 orang terkait penyelenggaran Olimpiade dinyatakan positif terinfeksi adalah tamu dari luar negeri. Lainnya adalah 2 awak media, 7 orang kontraktor, dan 5 anggota panpel.
Sehari sebelumnya, seorang anggota delegasi Olimpiade dari Nigeria diketahui positif Covid-19 setibanya di Bandara Internasional Narita, Tokyo. Anggota delegasi berusia 60-an tahun itu langsung dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Pada hari yang sama, seorang nonresiden yang terkait penyelenggaraan Oimpiade juga diketahui positif Covid-19, bersamaan dengan pengumuman tiga orang kontraktor asal Jepang untuk Tokyo 2020 yang juga diumumkan terpapar Covid-19.
Baca juga: Kasus Positif Pertama di Perkampungan Atlet
Kemunculan infeksi baru inilah yang dikhawatirkan banyak warga Jepang terkait dengan pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020. Mereka khawatir Olimpiade akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19, di tengah status darurat yang diterapkan oleh Pemerintah Jepang di Kota Tokyo, setelah kenaikan grafik laju infeksi Covid-19.
Kekhawatiran penduduk Jepang sejalan dengan jajak pendapat yang dilakukan Asahi Shimbun, salah satu media terkemuka di Jepang. Jajak pendapat yang dilakukan pada Mei 2021 memperlihatkan 80 persen penduduk yang ikut survei menentang pelaksanaan Olimpiade. Hal ini menggarisbawahi antipati publik terhadap pelaksanaan Olimpiade yang terkesan dipaksakan.
”Saya termasuk yang 80 persen. Saya kira Olimpiade harus ditunda. Sesulit itukah menundanya?” ujar Sumiko Usui (74), seorang warga Tokyo.
Takahiro Yoshida (53) juga menyatakan keraguan atas acara tersebut. ”Sejujurnya, menurut saya, akan sulit untuk mengadakan Olimpiade. Atlet dari luar negeri juga harus khawatir karena situasi virus korona di Jepang buruk,” katanya.
Baca juga: Pertaruhan Tokyo di Masa ”Pericoloso”
Hanya 14 persen yang mendukung penyelenggaraan Olimpiade musim panas ini sesuai jadwal, turun dari 28 persen.
Sebuah jajak pendapat dilakukan Reuters terhadap orang-orang yang berada di struktur perusahaan atau kalangan bisnis, tidak lama setelah survei Asahi Shimbun dirilis. Hasil survei tersebut memperlihatkan hampir 70 persen perusahaan Jepang menginginkan Olimpiade dibatalkan atau ditunda. Alasan utamanya adalah soal kemungkinan peningkatan laju infeksi ketika sistem pelayanan kesehatan di bawah tekanan berat.
Alasan lain yang muncul adalah program vaksinasi yang berjalan sangat lambat di Jepang. Saat itu, baru 4 persen dari total populasi Jepang telah menjalani vaksinasi Covid-19, angka terendah di antara negara-negara anggota kelompok negara maju G-7.
Baca juga: Jepang Harap-harap Cemas Menanti Olimpiade
Pada pekan ketiga Juni, jumlah warga Jepang yang sudah melakukan vaksinasi baru mencapai 8,2 persen dari total populasi sekitar 126 juta jiwa. Namun, dikutip dari kantor berita NHK, pemerintah mengklaim telah memvaksin 31,59 persen dari total populasi Jepang, termasuk para pekerja kesehatan serta penduduk usia muda. Dari angka itu, 18,537 juta penduduk usia lanjut (60 tahun ke atas) atau 52 persen dari total penduduk lanjut usia Jepang telah mendapatkan dua dosis vaksin.
Tarik-menarik
Pada mulanya, Pemerintah Jepang berencana mengizinkan para pendukung atau penonton lokal, warga Jepang, datang ke berbagai arena pertandingan atau perlombaan selama Olimpiade, setelah menutup pintu bagi penonton asal luar negeri. Setiap arena pertandingan dibatasi maksimal menampung 10.000 orang atau maksimum 50 persen dari kapasitas awal.
Kehadiran penonton diyakini akan memberikan semangat bagi para atlet yang sedang berlaga. Protokol kesehatan yang ketat, termasuk pemeriksaan suhu tubuh dan bukti tes PCR sebelum memasuki arena pertandingan, diyakini bisa memberikan rasa aman dan kenyamanan selama menyaksikan pertandingan atau lomba.
Namun, aturan baru kemudian dikeluarkan panitia: dilarang bersorak atau berkontak langsung dengan penonton lain, meminta tanda tangan atlet, hingga mengungkapkan dukungan verbal. Termasuk yang dilarang, melambaikan sapu tangan/handuk, segala bentuk sorak-sorai, atau aksi yang bisa membuat kerumunan.
Usai kegiatan, para penonton akan diminta panitia untuk segera kembali ke rumah masing-masing, menghindari kerumunan.
Sejujurnya akan sulit untuk mengadakan Olimpiade. Atlet dari luar negeri juga harus khawatir karena situasi virus korona di Jepang buruk.
”Orang-orang dapat merasakan kegembiraan di hati mereka, tetapi mereka tidak boleh bersuara keras dan mereka harus menghindari keramaian. Suasana perayaan harus ditekan. Itu menjadi tantangan besar,” kata Seiko Hashimoto, Presiden Tokyo 2020, panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo.
Adanya penonton Olimpiade diharapkan memberikan gairah di tengah pandemi yang memuramkan dunia, sepanjang setahun terakhir. Panitia juga telah berhitung mengenai dampaknya, tidak hanya soal ekonomi, juga teknologi terbaru Jepang yang mungkin akan dilirik oleh negara-negara lain.
Toyota, misalnya, sejak lima tahun lalu sudah memperkenalkan teknologi mesin ramah lingkungan untuk digunakan mendukung pelaksanaan Olimpiade. Mereka menyediakan taksi dan bus bertenaga hidrogen yang diklaim ramah lingkungan sebagai kendaraan pengangkut atlet, dari perkampungan Olimpiade ke arena pertandingan. Belum lagi berbagai perusahaan lain, seperti Bridgestone, Panasonic, hingga raksasa teknologi Korea Selatan, Samsung.
Selain pendapatan dari 4,4 juta tiket yang diperkirakan bisa mencapai hampir 900 juta dollar AS, Pemerintah Jepang juga berharap bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari sektor pariwisata karena kunjungan ratusan ribu hingga jutaan orang pada saat Olimpiade. Pada 2019, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Jepang mencapai hampir 32 juta orang dan menghasilkan pemasukan hampir 44 miliar dolar AS.
Baca juga: Ambisi Ekonomi di Balik Olimpiade
Namun, ketika pandemi melanda, jumlah kunjungan anjlok hingga 87 persen di tahun 2020. Pendapatan dari sektor ini hanya 4,1 juta dollar AS, terendah dalam 22 tahun.
Pemasukan semula diharapkan bisa mengganti biaya penyelenggaraan Olimpiade yang dikeluarkan Jepang senilai 15,4 miliar dollar AS. Namun, semuanya kini menjadi suram bagi Jepang.
Toru Suehiro, ekonom senior pada perusahaan sekuritas Daiwa, mengatakan, keputusan terakhir pemerintah untuk menggelar Olimpiade tanpa penonton menjadi keputusan yang baik di tengah situasi yang tidak menentu. Walau secara ekonomi mungkin tidak akan terlalu menguntungkan, kluster baru yang bisa terjadi bila Olimpiade dilaksanakan dengan kehadiran penonton, dinilainya akan lebih membahayakan perekonomian Jepang pasca-Olimpiade.
Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach, Sabtu (17/7/2021), pun harus berhadapan dengan pengunjuk rasa yang menolak penyelenggaraan Olimpiade yang akan dimulai 23 Juli nanti. Di Hiroshima, warga yang menolak pelaksanaan Olimpiade mengangkat poster selama kunjungan Bach ke situs bencana bom nuklir yang berisi kata-kata dan slogan penolakan. Di Tokyo, 30 demonstran diblokade oleh polisi di luar pertemuan Dewan Eksekutif IOC di sebuah hotel mewah.
Baca juga: Tiba di Tokyo, Tim Indonesia Kelelahan
Terakhir, unjuk rasa penolakan Olimpiade juga terjadi di luar Wisma Tamu Negara di Istana Akasaka, Tokyo, Minggu (18/7/2021), saat berlangsung upacara resmi penyambutan bagi IOC yang dilakukan Pemerintah Jepang.
Bach sadar ada skeptisisme dan kekhawatiran warga Jepang. Namun, pada saat yang sama, dia meminta mereka menyadari bahwa kompetisi multicabang empat tahunan ini adalah ajang kompetisi tertinggi bagi para atlet setelah bertahun-tahun menjalani latihan. Olimpiade menjadi ajang impian bagi atlet sebagai ajang pembuktian dirinya.
Dia mengatakan, pemerintah dan panitia sangat ketat melaksanakan protokol kesehatan untuk menjamin keamanan, keselamatan, serta kenyamanan warga dan juga para atlet yang berlaga. ”Saya mengimbau warga Jepang untuk menyambut para atlet ini di sini untuk kompetisi hidup mereka. Saya ingin sekali lagi meminta dan mengajak masyarakat Jepang, dengan rendah hati, untuk menyambut dan mendukung para atlet dari seluruh dunia,” katanya.
Hashimoto mengatakan, dia juga menangkap kekhawatiran para atlet peserta Olimpiade. Namun, transparansi penuh tentang kasus-kasus yang terjadi di seluruh arena dan perkampungan atlet serta penanganannya diharapkan memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi semua pihak. Dia juga berharap semua pihak mematuhi aturan dan protokol kesehatan yang telah diumumkan.
Baca juga: Membangun Harapan dan Masa Depan melalui Olahraga
”Atlet yang datang ke Jepang mungkin sangat khawatir. Saya mengerti itu. Itulah alasan mengapa kita perlu membuat pengungkapan penuh,” kata Hashimoto.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga mengatakan, meski tanpa penonton, Olimpiade diharapkan membawa kegembiraan. ”Bahkan tanpa penonton, saya pikir penting untuk membawa kegembiraan kepada orang-orang di Jepang dan dunia,” katanya di Nippon TV. (AFP/REUTERS)