Pertaruhan Tokyo di Masa ”Pericoloso”
Olimpiade Tokyo 2020 diprediksi bakal menjadi Olimpiade masa depan karena Jepang ingin memamerkan teknologi berbasis kecerdasan buatan paling mutakhir. Citra futuristik itu coba dipertahankan di tengah pandemi Covid-19.
TOKYO, KOMPAS — Senyum cerah sprinter Yoshinori Sakai (19) di samping kaldron Olimpiade Tokyo 1964 bak sihir yang mengundang sorakan dan tepukan tangan ribuan orang. Api Olimpiade itu mengawali kemunculan Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia berbasis industri. Momen kebangkitan itu ingin diulang melalui Olimpiade Tokyo 2020, 23 Juli-8 Agustus 2021, meskipun dengan risiko besar di tengah pandemi Covid-19.
Jepang merunut kembali awal masa kejayaan mereka seusai terpuruk akibat Perang Dunia II. Mereka mengubah hasrat penaklukan militeristis menjadi penaklukan dunia melalui intelektual. Perang kecerdasan dimenangkan dengan inovasi teknologi.
Salah satu warisan Olimpiade 1964 yang menjadi ikon industri canggih Jepang adalah kereta api Shinkansen. Kereta supercepat yang diluncurkan pada pembukaan Tokyo 1964 itu langsung mengundang kekaguman dunia. Efek bola salju Tokyo 1964 mengubah citra Jepang menjadi negara yang modern, terbuka, ramah, dan aman. Selain itu, mengangkat kebanggaan nasional warga Jepang sebagai negara Asia pertama yang menggelar Olimpiade. Pencapaian mereka dalam ajang olahraga empat tahunan itu pun luar biasa, peringkat ketiga dengan total 16 keping emas, 5 perak, dan 8 perunggu.
Jepang termasuk salah satu negara yang sukses memanfaatkan Olimpiade sebagai katalis perekonomian dan pencitraan di panggung dunia. Investasi mereka dalam arena olahraga saat itu pun banyak yang masih terawat dan dipakai kembali di Tokyo 2020, seperti Stadion Olimpiade, Tokyo Metropolitan Gymnasium, Stadion Nasional Yoyogi, dan Nippon Budokan. Tak banyak tuan rumah Olimpiade yang mampu merawat peninggalan arena seperti Tokyo.
Baca juga: Jepang Harap-harap Cemas Menanti Olimpiade
Pencapaian Olimpiade 1964 itu ingin diulang Jepang kali ini, sebagai jembatan menuju era baru ”Negeri Matahari Terbit” dengan teknologi kecerdasan buatan dan internet of things. Jepang ingin memamerkan karya-karya inovatif mereka di Olimpiade kali ini, seperti robot pemandu yang bisa menunjukkan arah, jalur transportasi, bahkan menerjemahkan bahasa bagi bagi penonton. Namun, peran pasukan robot ini kini terbatas karena Olimpiade diputuskan berlangsung tanpa penonton. Robot dengan kecerdasan buatan itu akan lebih banyak beroperasi di wisma atlet dan area kerja pers.
Mobil otomatis tanpa pengemudi juga menjadi unggulan mereka, yang direncanakan mengalirkan atlet ke arena pertandingan. Jepang juga berencana menghadirkan kereta Maglev, magnetic leviation, sebagai penerus kereta supercepat Shinkansen. Koneksi internet 5G juga menjadi target awal untuk diterapkan di arena Olimpiade. Koneksi ini mampu mentrasfer data dengan kecepatan 2 gigabyte per detik, jauh melampui kemampuan 4G yang sekitar 300 megabyte per detik.
Namun, pameran inovasi teknologi itu kini dalam status tanda tanya karena pandemi Covid-19 menghentikan sejumlah proyek pengembangan. Kereta Maglev, misalnya, belum pasti dioperasikan di Tokyo saat Olimpiade. Bisa jadi hanya akan dipamerkan karena Maglev ditargetkan baru beroperasi resmi untuk publik pada 2027. Ini peluang Jepang memenangi persaingan di kawasan karena teknologi magnetic leviation ini juga dikembangkan China, yang diharapkan bisa beroperasi saat Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Pertimbangan
Investasi jangka panjang yang dilakukan Jepang menyambut dekade baru ini sepertinya menjadi salah satu pertimbangan tetap menggelar Olimpiade Tokyo. Selain itu, kepentingan finansial dari sponsor Olimpiade serta Komite Olimpiade Internasional (IOC) juga memegang peranan penting mengapa Olimpiade Tokyo tetap bergulir di tengah pandemi. Padahal, kini Jepang masuk dalam status darurat keempat, yang berlangsung hingga 22 Agustus, karena ada peningkatan kasus positif Covid-19.
Api Olimpiade bisa benar-benar menjadi cahaya di ujung lorong gelap ini yang sedang dialami oleh seluruh dunia saat ini, yang kita tidak tahu akan berlangsung seberapa lama.
Status darurat ini membuat penonton tidak bisa menyaksikan langsung di arena. Pendapatan dari tiket pun lenyap. Namun, pemasukan dari hak siar televisi tetap bisa diraup. Penjualan hak siar Olimpiade merupakan aset penting IOC. Potensi pendapatan dari hak siar yang bisa diraup oleh IOC, menurut The New York Times, mencapai 4 miliar dollar AS, setara Rp 57,8797 triliun. Nilai ini menyumbang sekitar 73 persen pemasukan IOC. Adapun pendapatan dari sponsor-sponsor utama dengan kontrak jangka panjang menyumbang sekitar 18 persen pemasukan IOC.
Setali tiga uang, bagi televisi pemegang hak siar, pertandingan Olimpiade juga menjadi magnet uang yang sangat kuat. NBC Universal, yang memegang hak siar Olimpiade di Amerika Serikat, pada Maret 2020 mengumumkan telah menjual 1,25 miliar dollar AS (Rp 18,09 triliun) iklan Olimpiade Tokyo. Kepala Eksekutif NBC Universal Jeff Shell bahkan menegaskan, Tokyo 2020 bisa menjadi Olimpiade paling menguntungkan dalam sejarah perusahaan, seperti dikutip The New York Times.
Kelindan pencitraan bangsa serta kepentingan korporasi dalam Olimpiade ini ditengarai menjadi faktor kuat Olimpiade Tokyo 2020 tetap berlangsung setelah tertunda satu tahun. Jepang tentu tidak mau tercatat dua kali batal menjadi tuan rumah Olimpiade, pada 1940 karena Perang Dunia II dan kini akibat pandemi Covid-19.
Olimpiade belum pernah berlangsung di tengah pandemi. Seabad lalu, Olimpiade Antwerp 1920 berlangsung setelah pandemi flu Spanyol serta dalam situasi belum sepenuhnya damai usai Perang Dunia I. Olimpiade Antwerp 1920 berlangsung dalam kondisi seadanya, arena belum sepenuhnya siap, dan tempat menginap atlet menyedihkan. Komite Olimpiade Belgia pun bangkrut setelah menggelar Antwerp 1920, tetapi IOC tetap mengklaim Oimpiade pascapandemi itu sebagai simbol perdamaian dan persatuan.
Seratus tahum berlalu, Presiden IOC Thomas Bach pun menyebut Olimpiade Tokyo bisa menjadi simbol kemanusiaan yang mengalahkan situasi krisis akibat pandemi Covid-19. ”Api Olimpiade bisa benar-benar menjadi cahaya di ujung lorong gelap ini yang sedang dialami oleh seluruh dunia saat ini, yang kita tidak tahu akan berlangsung seberapa lama,” ujarnya di laman resmi IOC tahun lalu.
Menyerempet bahaya
Menggelar Olimpiade di tengah pandemi merupakan langkah yang menyerempet bahaya. Ini era vivere pericoloso–saat yang berbahaya–bagi Jepang karena Olimpiade dikhawatirkan menjadi pemicu ledakan kasus positif Covid-19. Kedatangan sekitar 11.000 atlet dan ofisial tim menjadi sorotan tajam publik Jepang. Bahkan, jajak pendapat yang dilakukan sejumlah media di Jepang menunjukkan tingginya penolakan Olimpiade karena khawatir memperparah pandemi.
Baca juga: Kasus Pertama Covid-19 di Perkampungan Atlet Tokyo
Menggelar Olimpiade bak dua mata pisau. Jika ajang empat tahunan ini sukses, Jepang akan memiliki citra sangat positif di mata dunia. Mereka akan dikenal mampu mengatasi situasi sulit dengan berbagai langkah antisipasi, termasuk protokol kesehatan yang sangat ketat, untuk menggelar Olimpiade. Jepang bisa kembali meraih kebanggaan sebagai bangsa yang kuat, gigih, dan pekerja keras melawan krisis.
Gelaran olahraga berskala internasional memang sering menjadi ajang promosi citra tuan rumah. Menurut Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Mohamad Dian Revindo, Rusia tidak terlalu mementingkan dampak ekonomi penyelenggaraan Piala Dunia Rusia 2018, tetapi lebih peduli terhadap pandangan dunia pada negara mereka.
”Gambar dan video turis penonton sepak bola dengan keluarganya berjalan dengan aman di malam hari mengubah citra Rusia yang menakutkan dan penuh dengan mafia menjadi Rusia yang aman dan menyenangkan. Ini sangat penting bagi pariwisata Rusia,” ujar Revindo, Rabu (14/7/2021).
Studi LPEM UI terkait penyelenggaran Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang menyebutkan, lebih dari 70 persen partisipan dan penonton asing berubah pandangan tentang Indonesia setelah mengikuti ajang tersebut. Lebih dari 80 persen ingin berkunjung kembali ke Indonesia di lain waktu untuk berwisata dan nyaris 90 persen bersedia merekomendasikan Indonesia sebagai tujuan wisata kepada rekan dan keluarganya.
Baca juga: Atlet Mulai Berdatangan ke Tokyo
“Jepang tentu juga melihat hal itu. Melalui Olimpiade ini, Jepang akan menunjukkan pada dunia sebagai bangsa yang mampu menyelenggarakan ajang raksasa pada masa pandemi dan mampu menerapkan standar protokol kesehatan yang tinggi,” ujar Revindo.
Kesan Jepang sebagai negara aman dan sehat ini akan melekat pada publik dunia. Hal ini penting untuk pariwisata pascapandemi. Persis saat pandemi melandai, warga kelas menengah atas dunia yang sudah tidak sabar berwisata akan mempertimbangkan Jepang sebagai tujuan utamanya, bahkan juga bisa mengambil pangsa negara-negara lain yang penanganan kesehatannya dipandang kurang baik.
Prioritas pencegahan
Namun, jika gagal, ditandai dengan ledakan kasus positif Covid-19, bisa membuat citra Jepang tercoreng dan berpotensi mengalami tekanan ekonomi lebih besar. Itulah mengapa Panitia Tokyo 2020 menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Protokol itu bukan hanya saat Olimpiade bergulir, tetapi jauh sebelum atlet, ofisial, dan media berangkat ke Tokyo.
Sejumlah peserta dari negara berisiko tinggi Covid-19, seperti India dan Indonesia, wajib menjalani tes anti-Covid-19 selama tujuh hari beruntun menjelang keberangkatan. Sesampainya di Jepang, mereka akan dites ulang di bandara. Jika positif, mereka masuk lokasi karantina. Jika negatif, mereka tetap wajib karantina tiga hari di hotel lokasi menginap. Mereka yang sudah menerima vaksin penuh, dua kali suntikan, tetap wajib menjalankan protokol kesehatan.
Aktivitas dibatasi pada arena pertandingan dan perlombaan, lokasi latihan, wisma atlet, dan ruang kerja media. Transportasi wajib menggunakan sarana yang disediakan oleh panitia dari hotel ke arena atau antararena. Mereka yang melanggar akan dicoret dari Olimpiade.
Baca juga: Keamanan Olimpiade Diragukan
Bagi atlet, mematuhi protokol kesehatan sangat krusial supaya tidak kehilangan peluang tampil di ajang istimewa ini. Olimpiade merupakan target puncak bagi banyak atlet elite yang hanya bisa diraih dengan kerja keras, pengorbanan besar, serta dedikasi tanpa batas. Persiapan panjang, sekitar dua tahun dengan adanya penundaan Tokyo 2020, dan gagal tampil karena positif Covid-19 akan menjadi kekecewaan yang luar biasa besar.
Gelembung Olimpiade ini untuk memastikan ajang olahraga terakbar ini tidak menjadi titik merah pandemi. Penerapan protokol kesehatan ini sangat sulit, bahkan tidak mudah dijalankan karena menuntut kedisiplinan ekstratinggi.
Sebenarnya, jika dilihat dari kondisi ekonomi Jepang, membatalkan Olimpiade Tokyo lebih mudah karena kerugian ekonomi tidak sebesar yang diperkirakan. Ekonom eksekutif di perusahaan konsultan Nomura Research Institute, Takahide Kiuchi, dalam laporan yang diterbitkan 25 Mei 2021, menyebutkan, jika membatalkan Olimpiade, Jepang akan kehilangan 1,81 triliun yen (sekitar Rp 238,5 triliun). Namun, jumlah itu dianggap tidak berarti jika dibandingkan pukulan ekonomi yang dipicu oleh keadaan darurat akibat lonjakan kasus Covid-19.
Menurut laporan itu, kerugian ekonomi dari deklarasi darurat yang pertama mencapai 6,4 triliun yen (Rp 842,7 triliun), lalu 6,3 triliun yen pada deklarasi kedua, dan terakhir 1,9 triliun yen dengan angka akhir berpotensi meningkat jadi 3 triliun yen jika keadaan darurat diperpanjang lagi.
Jepang tentu juga melihat hal itu. Melalui Olimpiade ini, Jepang akan menunjukkan pada dunia sebagai bangsa yang mampu menyelenggarakan ajang raksasa pada masa pandemi dan mampu menerapkan standar protokol kesehatan yang tinggi.
Namun, jika penyelenggaraan Olimpiade mendorong lonjakan kasus, lalu memaksa pemerintah mengumumkan keadaan darurat lagi, kerugian ekonomi yang diakibatkannya bisa jauh lebih besar. Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu fokus terutama pada pencegahan peningkatan risiko infeksi baru yang berpotensi dibawa olimpiade. Faktor itu jauh lebih penting dibandingkan kerugian ekonomi langsung pembatalan Olimpiade, yang hanya 0,33 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun fiskal 2020.
Prioritas pada pencegahan reisiko itulah yang membuat Jepang rela kehilangan banyak manfaat ekonomi penyelenggaraan Olimpiade. Jepang kehilangan potensi pendapatan dari kehadiran penonton asing dan domestik, terutama dari tiket, makanan dan minuman, akomodasi, serta transportasi.
Revindo menyebutkan, akibat penetapan standar keamanan dan kesehatan yang ketat, biaya penyelenggaran Olimpiade Tokyo 2020 naik dari 7,3 miliar dollar AS pada perkiraan awal saat Jepang mengajukan diri tahun 2013 menjadi 12,6 miliar dollar AS pada perkiraan tahun 2020. Penundaan selama setahun juga membuat biaya penyelenggaraan meningkat menjadi sekitar 15,4 miliar dollar AS.
Angka itu diyakini bertambah tahun ini. Apalagi, pada Kamis (8/7/2021), panitia penyelenggara mengumumkan keputusan menggelar Olimpiade tanpa penonton di tempat pertandingan. Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 juga bertanggung jawab mengembalikan tiket yang sudah dibeli warga (Kompas, 12/7/2021).
Namun, meski digelar tanpa penonton, penyelenggaraannya membuka peluang pendapatan dari hak siar, iklan, serta keuntungan tidak langsung melalui bisnis memorabilia dan pariwisata. Sebagai produk hiburan atau tontonan, Olimpiade merupakan kegiatan olahraga bernilai ekonomi, bisa ditonton langsung di gelanggang dan di layar televisi, komputer, atau gawai.
Aktivitas ekonomi lain akan mengikuti kedua bentuk tontonan itu. Tontonan di gelanggang, misalnya, akan mengerek perputaran uang di industri sewa tempat olahraga, tiket, transportasi, makanan dan minuman, serta akomodasi. ”Inilah dampak ekonomi yang hilang dan tidak bisa dinikmati Jepang karena pertandingan digelar tanpa penonton,” ujar Revindo.
Namun, sebagai produk hiburan yang disiarkan, ajang olahraga multicabang itu bisa memutar industri penyiaran, periklanan, dan jasa teknologi informasi. Dalam situasi pandemi Covid-19, ketika sebagian sektor terguncang, industri ini justru tumbuh di tengah pembatasan mobilitas dan anjuran untuk tetap di rumah.
Lembaga riset eMarketer memperkirakan, pengeluaran iklan pada platform digital (berbasis internet dan gawai) justru tumbuh, 12,7 persen pada tahun 2020 dan tahun ini diperkirakan tumbuh 20,4 persen. Total pengeluaran iklan dunia juga diproyeksinya naik dari 336 miliar dollar AS tahun 2019 menjadi 378 miliar dollar AS pada 2020 dan diperkirakan mencapai 455 miliar dollar AS pada tahun 2021.
”Tampaknya pemasukan dari iklan televisi dan platform digital ini yang diincar Jepang. Meskipun Olimpiade Tokyo 2020 tidak akan menghasilkan untung besar, setidaknya biaya penyelenggaraan dapat tertutup,” kata Revindo.
Selain hak siar dan iklan, penyelenggaraan Olimpiade bisa menggerakkan aktivitas ekonomi lain, yakni bisnis memorabilia melalui penjualan suvenir dan cendera mata serta pariwisata.
Menurut Revindo, Jepang sangat siap memanfaatkan peluang itu. Sejak beberapa pekan lalu, masyarakat sudah bisa membeli berbagai suvenir resmi (official merchandise) Olimpiade Tokyo 2020 di berbagai platform daring. Harganya berkisar 1.000 yen (sekitar Rp 131.000) untuk produk handuk tangan dan gantungan kunci, 25.000 yen (sekitar Rp 3,3 juta) untuk produk medali perak, hingga yang termahal 2,2 juta yen (sekitar Rp 290 juta) untuk produk maskot emas.
Sebagai perbandingan, pada Olimpiade 2016, Brasil berhasil menjual lebih dari 300 juta keping memorabilia dalam bentuk koin, suvenir, dan bentuk lain. Jika Jepang berhasil menjual berbagai jenis memorabilia seharga rata-rata 30 dollar AS atau 3.300 yen sebanyak 200 juta keeping, jumlahnya bisa mencapai 6 miliar dollar AS. (DIM/MKN/BEN)