Membangun Harapan dan Masa Depan Melalui Olahraga
Olimpiade bukan semata-mata panggung atlet-atlet elite dunia. Pentas olahraga akbar itu juga menjadi panggung kehidupan para atlet pengungsi yang menjadi penyintas dari kekejaman perang dan konflik di negara asalnya.
Olimpiade bukan hanya panggung bagi atlet warga negara tertentu, melainkan juga mereka yang terusir dari negeri asalnya dan tidak memiliki kewarganegaraan. Bagi para pengungsi itu, olahraga menjadi sarana membangun dan mewujudkan asa.
Ketika Aker Al Obaidi mulai menekuni gulat pada usia enam tahun, dia tidak tahu olahraga itu akan menjadi tiketnya menuju kehidupan baru, suatu hari nanti. Potensinya diperlihatkan ketika memenangi turnamen yunior di negaranya, Irak, hingga menarik perhatian negara lain untuk merekrutnya.
Namun, saat berusia 14 tahun, kegembiraannya itu mendadak terhenti. Kelompok Negara Islam (ISIS) mengambil alih kota kelahirannya, Mosul, dan mulai merekrut anak laki-laki seusianya. Enggan bergabung ke kelompok itu, Obaidi melarikan diri dari negaranya.
”Saya tidak ingin pergi, tetapi harus melakukannya,” ujar Obaidi (21). ”Itu pengalaman yang sangat menakutkan. Saya tidak tahu akan ke mana atau di mana saya akan berakhir. Saya terpisah dari keluarga dan mengikuti kelompok lain. Saya takut keluarga saya bisa selamat dari perang atau tidak. Akan tetapi, saya harus menjaga diri sendiri,” ungkapnya dikutip laman resmi Olimpiade.
Baca juga : Menatap Kesunyian di Olimpiade Tokyo
Perjalanan Obaidi pun berakhir di Austria, negara pemberi suaka. Sebenarnya, Obaidi tak pernah berniat menuju negara di Eropa itu. Dia bahkan tidak pernah mendengar nama negara itu sebelumnya. Namun, langkahnya terhenti di sana.
Berjuang sendiri
Obaidi berjuang sendiri. Ia belajar bahasa Jerman dan bersekolah di negara barunya itu. Dia harus mengurus visa dan pergi ke kantor pemerintah setempat untuk membuktikan dia bisa tinggal di negara tersebut.
Untuk mendapatkan kebahagiaan di tengah kesulitan, Obaidi kembali ke matras gulat. Bakatnya di cabang olahraga itu membawa perubahan. Dia mendapat banyak teman, hingga akhirnya lancar berbahasa Jerman, lima tahun kemudian.
Bakatnya diakui klub-klub lokal, terutama setelah dia memperlihatkan keahliannya saat berlatih di kota kecil Austria, Inzing. Obaidi berkesempatan mengikuti kejuaraan yunior bertaraf internasional sehingga diundang ke kemp pelatihan oleh juara dunia dan Olimpiade asal Serbia, Davor Stefanek.
Momen bersama Stefanek itu membuka mata Obaidi bahwa dia berada dalam standar untuk memenangi medali Olimpiade Tokyo 2020. Cita-cita itu dipeliharanya dengan menggambar lima cincin Olimpiade di salah satu dinding rumahnya.
Lalu, pada suatu hari di tahun 2019, dia mendapat kesempatan mewujudkan cita-citanya tampil di Olimpiade. Obaidi diberi beasiswa program Atlet Pengungsi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Dia pun mendapatkan biaya dan dukungan pelatihan dalam upayanya tampil di Olimpiade.
Saat ini, saya tidak memiliki kewarganegaraan. Ini menjadi momen baik bagi saya untuk menunjukkan bahwa pengungsi dapat bersaing dan berhasil. Olahraga telah membuka pintu bagi kehidupan baru saya.
Pada 8 Juni 2021, dalam pengumuman IOC, Obaidi masuk ke dalam 29 nama atlet Tim Pengungsi yang akan bertanding di Olimpiade Tokyo 2020. Ke-29 atlet yang bakal tampil di 12 cabor itu berasal dari 11 negara, yaitu Afghanistan, Kamerun, Kongo, Eritrea, Iran, Irak, Sudan, Sudan Selatan, Suriah, Kongo, dan Venezuela.
Selama ini, atlet-atlet itu berlatih di 13 negara yang menjadi tempat tinggal baru, yaitu Austria, Belgia, Brasil, Kanada, Perancis, Jerman, Israel, Kenya, Portugal, Belanda, Trinidad Tobago, Swiss, dan Inggris Raya.
Tim Pengungsi untuk Olimpiade dibentuk sejak 2016 untuk membangun kesadaran dunia akan krisis pengungsi. Tim khusus ini menjadi bagian dari kerja sama IOC dengan Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) selama 25 tahun.
”Saya ingin menunjukkan, pengungsi bukan orang jahat dan hal-hal negatif lainnya. Kami ingin menunjukkan orang asing dapat melakukan hal-hal baik, salah satunya dalam olahraga,” kata Obaidi.
Kekuatan olahraga
Semangat serupa diusung atlet Tim Pengungsi lainnya, Wael Shueb (33). Cabor karate mengubah pengungsi asal Suriah itu dari jiwa yang kosong menjadi seorang pria penuh tujuan.
Atlet yang juga akan tampil di Olimpiade Tokyo itu pernah bekerja di pabrik tekstil dan menjadi pelatih bela diri paruh waktu di Damaskus, Suriah. Lantas, pada 2015, ia melarikan diri dari Suriah akibat perang. Setelah empat minggu menempuh perjalanan berbahaya dengan perahu ke Turki, lalu bersepeda lewat Makedonia, Shueb kini menetap di Jerman.
Baca juga : Mengabaikan Pengungsi, Mengabaikan Kemanusiaan
Akibat perang, Shueb kehilangan saudara iparnya. Ia juga harus berhari-hari menanti kabar dari saudarinya dan kelima anaknya yang juga melarikan diri dari Suriah. Maka, Shueb ingin penampilannya di Tokyo memberikan harapan bagi para pengungsi di seluruh dunia.
”Saya mencoba memberikan mereka kekuatan dengan menunjukkan apa yang bisa Anda capai sebagai pengungsi,” kata Shueb yang bersyukur atas kehidupan barunya, namun tidak melupakan yang lama.
Obaidi juga mendedikasikan partisipasinya di Tokyo untuk semua pengungsi. “Saat ini, saya tidak memiliki kewarganegaraan. Ini menjadi momen baik bagi saya untuk menunjukkan bahwa pengungsi dapat bersaing dan berhasil. Olahraga telah membuka pintu bagi kehidupan baru saya,” katanya.
Atlet lain, yaitu petinju Farid Walizadeh (24), juga menunjukkan kekuatan besar olahraga dalam mengubah jalan hidupnya meskipun tak terpilih untuk bersaing di Tokyo 2020. Penerima beasiswa dari IOC ini telah memahami arti berjuang sejak kecil.
Dititipkan ke keluarga lain
Ayahnya meninggal ketika Walizadeh berusia setahun. Ibunya, yang mengalami panganiayaan agama, melarikan diri ke Pakistan. Walizadeh pun dititipkan pada keluarga yang lain.
Dengan keluarga baru, kehidupannya tidak lebih baik. Setelah ibu angkatnya meninggal, Walizadeh yang berusia tujuh tahun diminta melarikan diri dari Afghanistan oleh ayah angkatnya yang telah membayar penyelundup untuk membantu pelarian itu.
Saya yakin, dalam setiap kegelapan selalu ada cahaya. Setiap hari, malam datang, tetapi keesokan harinya, cahaya akan kembali.
Biaya itu tidak membuat Walizadeh memenuhi syarat untuk bisa mengungsi menaiki keledai. Dia pun akhirnya berjalan kaku. Berusia delapan tahun, saat itu, Walizadeh berjalan kaki dari Afghanistan, melalui Pakistan dan Iran, sejauh sekitar 3.000 km.
Seperti diceritakan dalam Majalah Visao di Portugal, pada 2020, ada 200 orang dalam kelompok yang melarikan diri bersama Walizadeh. Jumlah itu terus berkurang.
“Saya melihat orang-orang mati karena mereka menyerah. Ada yang bunuh diri di tebing atau gunung. Saya tidak seperti itu. Meski masih anak-anak, saya selalu memiliki tujuan untuk dicapai,” tutur Walizadeh.
Sepanjang jalan, mereka melalui pegunungan kering dan dingin. Ketika tiba di Pakistan, Farid jatuh dari belakang truk dan melanjutkan perjalanan sendirian ke perbatasan Iran-Turki.
Sebelum tiba di pusat UNHCR di Istanbul, Turki, dia harus menjalani hidup di penjara pada usia sembilan tahun. Perjalanan yang dilakukan Walizadeh tergolong illegal karena dia tak membawa dokumen.
Jiwa pejuangnya kembali muncul. Sebagai anak-anak, dia bisa mencari sisi positif dari kehidupan kerasnya. Walizadeh melewatkan masa-masa yang sepi di penjara dengan menggambar.
“Saya yakin, dalam setiap kegelapan selalu ada cahaya. Setiap hari, malam datang, tetapi keesokan harinya, cahaya akan kembali,” katanya.
Keluar dari penjara, Walizadeh tinggal di panti asuhan. Dia mulai menekuni kungfu dan taekwondo setelah selalu dirundung oleh anak-anak lain. “Saya tidak mendapat perlindungan dari anak lain, di jalan atau di sekolah. Mereka tidak menyukai pengungsi," katanya kepada Reuters.
Tinju mulai ditekuninya pada 2012, ketika dia pindah ke Portugal, sebagai salah satu tawaran dari PBB untuk pindah. Ketika itu, dia menerima tawaran ke Portugal atau Amerika Serikat.
“Awalnya, olahraga saya jadikan media untuk menghilangkan trauma. Lalu, itu menjadi pilihan hidup dan cita-cita saya. Olahraga telah memberi saya harapan dan kekuatan,” katanya.