Ambisi Ekonomi di Balik Olimpiade
Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 semula direncanakan menjadi momentum untuk bangkitnya kembali ekonomi Jepang. Pandemi Covid-19 membuat banyak hal berjalan tak sesuai rencana.
”Saya ingin menciptakan momentum bagi Jepang untuk berjaya lagi di panggung dunia,” demikian pesan Perdana Menteri Shinzo Abe seperti dikutip harian The Japan Times, 26 Juni 2020. Abe menghendaki Olimpiade Tokyo 2020 sebagai momentum kebangkitan itu.
Abe menyinggung Olimpiade Tokyo 1964, yang menjadi simbol pertumbuhan pesat ekonomi Jepang setelah Perang Dunia II dengan pertumbuhan di atas 10 persen. Saat ini, ekonomi Jepang bahkan kesulitan tumbuh 1 persen sekalipun. Penduduk yang menua menjadi salah satu sebab.
Abe mundur pada 28 Agustus 2020, setelah Olimpiade diputuskan ditunda satu tahun karena pandemi Covid-19. Penerusnya, Yoshihide Suga, bersikukuh melanjutkan misi Abe. Lalu bagaimana Suga membangkitkan perekonomian lewat momentum Olimpiade Tokyo 2020? Apakah ada efek signifikan dari Olimpiade pada perekonomian?
Jepang, tuan rumah Tokyo 1964, demikian juga negara tuan rumah Olimpiade lainnya, secara empiris meraih pertumbuhan lewat momentum olimpiade. Ada bukti nyata tentang itu seperti tertuang dalam laporan Bank Sentral Jepang (BoJ) berjudul ”Economic Impact of the Tokyo 2020 Olympic Games”, Januari 2016. Mitsuhiro Osada, Mayumi Ojima, Yoshiyuki Kurachi, Ko Miura, dan Takuji Kawamoto dari Departemen Riset dan Statistik BoJ memaparkan fakta-fakta tentang efek Olimpiade terhadap perekonomian.
Baca juga: Keamanan Olimpiade Tokyo 2020 Diragukan
Riset BoJ juga diperkuat Mizuho Research Institute pada 17 Oktober 2014. Riset itu menyebut Isinya, penyelenggaraan Olimpiade sejak Muenchen 1972 hingga London 2012 memiliki efek ekonomi, bahkan sebelum Olimpiade diselenggarakan. Efek positif ekonomi juga dirasakan setelah pesta olimpiade usai.
Ada efek ekonomi dari pembangunan infrastruktur pendukung Olimpiade dan kegiatan terkait. Jepang begitu ambisius mengejar efek ekonomi dari konstruksi, hingga anggaran pembangunan yang semula sebesar 7,5 miliar dollar AS membengkak menjadi 26 miliar dollar AS, termahal sepanjang sejarah.
Menurut Mizuho, efek konstruksi sudah dirasakan sebelum pelaksanaan Tokyo 2020. Persiapan pembangunan sudah dimulai dari 2013 saat Tokyo terpilih jadi tuan rumah. Efek Olimpiade pada perekonomian Jepang diprediksi mencapai 32 triliun yen (selama periode 2015-2020). Total nilai PDB Jepang pada 2020 sekitar 539 triliun yen, (5 triliun dollar AS).
Namun, perkiraan optimistis ini dipertanyakan. Ekonom Yoshihiko Senoo dalam wawancara dengan laman The Mainichi, 28 Februari 2021, menyebutkan, ”Tidak ada riset saksama tentang efek Olimpiade terhadap perekonomian.” Ada banyak hal meragukan dari riset yang ada karena metode dan kalkulasi yang dipakai tidak masuk akal. Efek Olimpiade terhadap perekonomian dibuat berlebihan.
Baca juga: Mencoba Arena Olimpiade Tokyo 2020
Efek pembangunan konstruksi terhadap ekonomi di hampir semua negara penyelenggara Olimpiade, yang tergolong maju, relatif tidak kuat. Negara tuan rumah Olimpiade saat ini bukan lagi negara berkembang yang sangat membutuhkan infrastruktur. Laporan BoJ juga menyebutkan, efek konstruksi dari Olimpiade Tokyo 2020 pasti tidak akan sehebat Olimpiade 1964. Jepang kini tidak lagi kekurangan infrastruktur sosial.
Sekarang tidak banyak lagi negara maju yang ambisius menjadi tuan rumah olimpiade. Andrew Zimbalist seorang professor ekonomi dari Smith College, Amerika Serikat, mengatakan, investasi infrastuktur itu relatif berisiko secara ekonomi, seperti dikutip televisi CNBC (22/6/2021).
BoJ juga menyebutkan ada efek dari kunjungan penonton, sebuah asumsi yang menjadi harapan sebelum pandemi terjadi. Sangat disayangkan, pandemi membuat Olimpiade berjalan tanpa penonton. Ini menjadi kerugian tambahan.
Olimpiade Tokyo 2020 dengan penonton, kata Takahide Kiuchi, ekonom Nomura Research Institute, akan memberi manfaat sebesar 16 miliar dollar AS (The Japan Times, 27 Juni 2021). Keuntungan yang praktis hilang dengan keputusan berlangsung tanpa penonton.
Baca juga: Laga Pertama Menjadi Kunci
Kerugian berlipat karena Olimpiade mengalami penundaan. Hal ini menyebabkan semua fasilitas yang tergolong mewah dan megah, tak terpakai. Tidak ada pemasukan, yang ada adalah biaya perawatan. Kerugian yang muncul akibat penundaan, menurut profesor emeritus Katsuhiro Miyamoto dari Kansai University sebesar 5,8 miliar dollar AS (NHK, 23/3/2020).
Reformasi mental
Akan tetapi, serugi dan seboros apapun persiapannya, Olimpaide tetap akan dimulai pada 23 Juli 2021. Selain memberi efek rasa percaya diri bagi Jepang, yang dinilai anjlok sejak tsunami 2011, Olimpiade Tokyo 2020 diyakini membawa rantai efek positif.
Saat Abe kembali menjabat PM pada 2012, ia bermimpi membangkitkan perekonomian lewat program ekonomi yang disebut Abenomics. Ini merujuk pada penurunan suku bunga dan pelonggaran kebijakan moneter. Hal ini ditambah dengan peningkatan anggaran negara untuk mendorong konsumsi masyarakat. Program "Go to Travel" juga dibiayai sebagian dari anggaran negara, walau itu menaikkan defisit anggaran pemerintah.
Salah satu program Abenomics lain adalah reformasi. Dalam konteks ini, sebelum mundur Abe berharap tinggi bahwa Olimpiade Tokyo 2020 berefek kuat. Tujuannya adalah agar dunia melihat Jepang dan Jepang melihat dunia.
Dunia melihat Jepang dan hal itu sudah terlihat dari antusiasme dunia untuk berwisata ke Jepang. Dan warga dunia ingin memasuki Jepang, warga asing ingin bekerja dan menjadi imigran resmi.
Tidak ada riset saksama tentang efek Olimpiade terhadap perekonomian.
Apakah Jepang mau menerima dunia dan meniru program reformasi di dunia, inilah yang masih menjadi tanda tanya. Jepang adalah negara yang unik, dengan tradisi dan rasa nasionalisme tinggi. Kata imigran seperti hal yang tabu di Jepang. Pekerja asing ini tidak boleh tinggal permanen serta dibatasi. Padahal pekerja asing sangat dibutuhkan.
Kesetaraan gender dalam berbagai kesempatan, seperti menempatkan para perempuan dalam jajaran dewan direksi, juga menjadi kampanye Abe. Akan tetapi isu ini juga masih sulit ditegakkan.
Baca juga: Tiba di Tokyo, Kontingen Indonesia Kelelahan
Jadi, ekspektasi bahwa Olimpiade secara empiris menginternasionalkan visi masyarakat Jepang, dalam arti mau menerima imigran dalam jumlah besar, masih dalam penantian. Masih panjang jalan menuju Jepang, yang relatif masih tertutup, demikian dituliskan Nobuko Kobayashi dalam artikel berjudul ”Can the Tokyo Olympics rebrand Japan?” edisi 8 October 2019 di East Asia Forum.
Memburu ”bakugai”
Namun ada sebuah prospek cerah di balik Olimpiade Tokyo 2020. Turisme di Jepang melejit terutama dari Asia, khususnya China. Pada 2019 ada 10 juta warga China yang mengunjungi Jepang untuk pelesiran, atau 30 persen dari total kunjungan ke Jepang.
Dari seluruh turis asing yang datang ke Jepang, China dikenal sebagai wisawatan dengan daya beli tinggi, kadang berbelanja tanpa berpikir. Di Jepang sikap wisatawan China dikenal sebagai bakugai.
Akan tetapi dari sekitar 140 juta turis global asal China, hanya 10 juta yang berkunjung ke Jepang. Hal inipun sebagian adalah efek Olimpiade 2020. Menurut Shiori Ryu Harada, pendiri LandReam Inc yang bergerak di bidang turisme, dalam 10 tahun ke depan, akan ada 700 juta turis asal China di dunia. ”Jika 10 persen saja dari jumlah itu menuju Jepang, sudah sangat besar,” katanya.
Oleh karena itu, Jepang ingin menjadikan momentum Olimpiade Tokyo 2020, sebagai pemicu turis dunia ke Jepang, termasuk para ”bakugai”. Hal ini sudah didalami McKinsey Japan and Travel, Transport and Logistics Practice yang meluncurkan strategi terkait sejak 2016.