Setiap “Big Three” Adalah Istimewa
Gelar juara Novak Djokovic dari Wimbledon 2021 menyejajarkan posisinya dengan Roger Federer dan Rafael Nadal. Perdebatan siapa yang terbaik terus muncul meski ketiganya istimewa dengan cara masing-masing.
Gelar juara Novak Djokovic dari Wimbledon menyejajarkan posisinya dengan Roger Federer dan Rafael Nadal sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, masing-masing 20 gelar. Perdebatan siapa yang terbaik terus muncul meski ketiganya istimewa dengan cara masing-masing.
Djokovic mendapat gelar ke-20 itu, sekaligus gelar Grand Slam ketiga pada 2021 setelah Australia dan Perancis Terbuka, usai mengalahkan Matteo Berrettini dalam final Wimbledon, di Lapangan Utama All England Club, London, Inggris, Minggu (11/7/2021). Djokovic menang, 6-7 (4), 6-4, 6-4, 6-3.
Djokovic pun menyamai Federer yang meraih gelar Grand Slam ke-20 dari Australia Terbuka 2018. Adapun Nadal mendapatkan jumlah yang sama ketika menjadi juara Perancis Terbuka 2020.
Baca juga : Djokovic Tidak Berhenti Berburu Rekor
Di dunia tenis profesional, gelar juara Grand Slam menjadi ukuran terpenting keberhasilan petenis, bahkan, dibandingkan peringkat dunia sekalipun.
Awalnya, persaingan berebut gelar Grand Slam dimonopoli Federer dan Nadal. Sejak Federer meraih gelar pertama turnamen berlevel tertinggi itu, pada Wimbledon 2003, lalu persaingan ketat dengan Nadal dimulai pada dua tahun berikutnya, dia meraih 16 gelar hingga 2010. Pada periode yang sama, Nadal mendapat sembilan gelar.
Djokovic, yang muncul di arena tenis profesional sejak 2003 (dua tahun setelah debut Nadal), hanya menjadi “orang ketiga” dalam persaingan itu dengan satu gelar, dari Australia Terbuka 2008. Di luar lingkaran itu, Djokovic mencari inspirasi, mengumpulkan informasi, dan bekerja keras.
Petenis Serbia itu berbalik mendominasi sejak 2011. Sebelum akhirnya mengalami cedera siku dan kehilangan motivasi setelah menjuarai semua Grand Slam pada 2016, Djokovic mendekati duet “Fedal” di panggung Grand Slam dengan meraih 11 gelar.
Namun, kepercayaan diri untuk bisa menyamai kedua rivalnya baru tumbuh sejak 2018, ketika dia bangkit dari masa suram. Awal kebangkitannya dimulai dengan menjuarai Wimbledon, lalu tujuh gelar lain dari 11 turnamen berikutnya hingga “Big Three” sama-sama mengoleksi 20 gelar.
Baca juga : Tantangan Berat untuk Djokovic
Sebelum 2018, itu tampaknya jauh dari jangkauan. Baru sekitar tiga tahun lalu saya menyadari bisa menjadi yang terbaik, dalam ranking dan Grand Slam. Rasanya luar biasa, akhirnya saya meraih keduanya, hal yang tidak saya duga sebelumnya.
“Sebelum 2018, itu tampaknya jauh dari jangkauan. Baru sekitar tiga tahun lalu saya menyadari bisa menjadi yang terbaik, dalam ranking dan Grand Slam. Rasanya luar biasa, akhirnya saya meraih keduanya, hal yang tidak saya duga sebelumnya,” kata Djokovic.
Dengan kondisi fisik yang lebih bugar, juga, mental yang tangguh, petenis berusia 34 tahun itu bahkan memiliki peluang untuk melampaui yang telah didapatnya, seperti ketika dia melampaui Federer-Nadal dalam turnamen ATP Masters 1000.
Djokovic menjadi satu-satunya pemain yang bisa menjuarai semua turnamen Masters (sembilan turnamen dalam satu seri), masing-masing, dua kali. Dia juga menjadi petenis nomor satu dunia terlama, selama 329 pekan hingga saat ini, melewati 310 pekan milik Federer.
Baca juga : Sejarah Itu Akhirnya Ditorehkan Djokovic
“Sebelum ini, saya kalah dalam beberapa final Grand Slam yang saya pikir bisa memenanginya. Tetapi, seperti dikatakan Michael Jordan, ‘Saya gagal, saya gagal, lalu gagal lagi, dan itulah yang membuat saya akhirnya sukses’,” kata Djokovic.
Dia tinggal membutuhkan satu gelar lagi, dari AS Terbuka, untuk menyapu bersih gelar Grand Slam tahun ini, hal yang terakhir kali dilakukan Rod Laver di tunggal putra pada 1969. Djokovic pun memiliki peluang membuat Golden Slam, menjuarai semua Grand Slam dan Olimpiade pada satu tahun penyelenggaraan, seperti Steffi Graf pada 1998.
Akan tetapi, kebijakan tanpa penonton dan ketatnya peraturan yang akan diterapkan pada masa pandemi Covid-19 di Olimpiade Tokyo 2020, membuat Djokovic berpikir ulang tentang partisipasinya. “Sejak awal, rencana saya adalah berangkat ke Jepang, tetapi sekarang peluangnya 50-50,” katanya.
Perdebatan
Pencapaian “Big Three” di arena profesional ini akan menjadi momen langka yang, bahkan, akan sulit terulang. Pete Sampras, yang sebelumnya memegang rekor Grand Slam tunggal putra dengan 14 gelar juara, kagum dengan pencapaian itu.
“Jika kamu bertanya, apakah rekor saya akan dilewati yang lain, ketika saya pensiun dengan 14 gelar, saya akan menjawabnya, ‘Tidak mungkin’. Generasi ‘Big Three’ membuat saya kagum,” kata petenis AS itu.
Baca juga : Novak Djokovic Selalu Termotivasi oleh Rekor
Meski menilai dirinya layak disebut sebagai terbaik dari yang terbaik, Djokovic berpendapat, sulit untuk membandingkan petenis-petenis terbaik pada setiap era. Itu karena terdapat berbagai perbedaaan kondisi dari setiap era, seperti perkembangan teknologi peralatan dan lapangan.
Ilmu pengetahuan terkait metode latihan pun berkembang, hingga bisa memperpanjang karier seseorang. Tim pendukung yang lengkap, juga, menjadi investasi petenis profesional. Faktor personal yang menjadi kunci adalah gairah dan cinta untuk tenis yang telah menjadi pilihan, seperti yang diperlihatkan “Big Three”.
Di tengah perdebatan penggemar tenis untuk menentukan siapa petenis terbaik sepanjang masa (Greatest of All Time/GOAT) di antara ketiganya, mereka justru saling menghargai dan menjadi inspirasi bagi satu sama lain.
“Rafa dan Roger menjadi alasan saya menjadi seperti ini. Mereka adalah legenda olahraga ini yang membuat saya sadar bahwa saya harus lebih kuat dalam mental, fisik, dan taktik. Saya berpengalaman selalu kalah dari mereka di panggung besar ketika pertama kali memasuki peringkat sepuluh besar. Saya belajar dari pengalaman itu, juga dari mereka,” tutur Djokovic.
Baca juga : Asa Federer, Djokovic, dan Para Petenis ”Wajah Baru”
Hal serupa berulang kali dikatakan Federer dan Nadal yang memberi selamat pada Djokovic melalui akun Twitter masing-masing. Mereka, bahkan, pernah mendiskusikan hal itu ketika dikumpulkan BBC dalam wawancara di atas kapal, di Sungai Thames, Inggris, menjelang turnamen Final ATP 2019.
Milos Raonic, petenis Kanada, Casper Ruud (Norwegia), dan petenis-petenis generasi penerus “Big Three” kesulitan menentukan siapa yang terbaik di antara ketiganya, meski memiliki idola masing-masing. “Banyak faktor yang bisa menentukan siapa yang terbaik. Tak hanya Grand Slam, tetapi juga ranking, juara Masters, rekor pertemuan satu sama lain, dan banyak lagi. Selalu ada argumen untuk membahas masalah ini,” kata Raonic.
Djokovic terbukti unggul dari banyak statistik, status Nadal sebagai “Raja Lapangan Tanah Liat” (13 gelar Perancis Terbuka membuatnya menjadi petenis dengan gelar terbanyak dari satu turnamen) tak akan tergantikan yang lain.
Baca juga : Kelegaan Roger Federer
Sementara, tak bisa dipungkiri bahwa Federer selalu menjadi petenis yang paling dicintai. Kharismanya tak hanya membuat petenis berusia 39 tahun itu menjadi bintang besar di arena kompetisi, tetapi juga telah menjadikannya sebagai ikon global.
Raonic, Ruud, petenis Next Gen dan para alumninya, serta penggemar tenis hanya harus bersyukur karena bisa menjadi saksi kehebatan “Big Three”. Mereka adalah tiga petenis yang menjadi istimewa melalui jalan masing-masing.