Terjebak Gelombang Kepanikan di Paris Saat Piala Eropa
Meliput Piala Eropa, apalagi di Perancis, dianggap kemewahan. Namun, realitanya tidaklah seindah serial ”Emily in Paris”. Saya terjebak dalam kerusuhan antarsuporter, terkena gas air mata, bahkan nyaris terinjak-injak.
Pergelaran Piala Eropa 2020 yang kini tengah berlangsung mengingatkan saya akan pengalaman meliput langsung turnamen sepak bola ternama itu pada 2016 silam. Berbeda dengan edisi tahun ini yang digelar di 11 negara Eropa, Piala Eropa 2016 digelar hanya di satu negara, yaitu Perancis.
Siapa yang tidak kenal Perancis atau Paris? Kota di Eropa barat itu termasyhur dengan Menara Eiffel dan Sungai Seine yang memesona, aksen bahasanya yang eksentrik, roti baguette yang renyah, dan tentu saja suasana yang romantis. Bayangan keindahan seperti di film Midnight in Paris yang diperankan aktor Owen Wilson langsung menyergap pikiran saat berada dalam pesawat menuju kota itu.
Tak pelak, perasaan pun campur aduk, antara antusias dan sedikit cemas.
”Bonjour!”. Demikian tulisan besar yang terpampang di papan reklame terminal kedatangan Bandara Charles de Gaulle, seolah menyambut ramah ketibaan saya di Paris, 7 Juni 2016. Itu kali pertama saya menginjakkan kaki di kota yang sebelumnya hanya saya kenal di film atau buku itu. Tak pelak, perasaan pun campur aduk, antara antusias dan sedikit cemas.
Bukan apa-apa. Piala Eropa adalah liputan terbesar saya setelah dua tahun bertugas di Desk Olahraga harian Kompas. Tantangannya sangat berbeda dibandingkan liputan olahraga lainnya yang pernah saya lakukan, antara lain turnamen bulu tangkis Denmark Open 2014 dan SEA Games Singapura 2015. Tantangan kian besar karena saya satu-satunya wartawan Kompas di Perancis saat itu.
Kompleksitas pun bertambah karena, di Piala Eropa 2016, saya tidak mendapatkan akreditasi liputan dari UEFA sebagai penyelenggara. Artinya, saya tak bisa leluasa meliput ke stadion, mewawancarai pelatih atau pemain sepak bola, dan menikmati berbagai fasilitas mewah media centre seperti yang saya dapat saat meliput Piala Dunia Rusia 2018.
Jadi, di Perancis, saya tidak ubahnya turis atau fans sepak bola yang hanya ingin menyerap atmosfer Piala Eropa di luar laga dan menghadirkannya untuk para pembaca.
Baca Juga: Meliput Sepak Bola yang Berbeda di Masa Pandemi
Kimly, pemilik apartemen di Saint Ouen, Paris, yang ruangannya saya sewa sebulan lebih pun, mengira saya turis yang ingin menonton Piala Eropa. Padahal, dalam korespondensi saat memesan apartemen mungil yang berada di lantai tiga sebuah gedung tanpa lift itu, saya memperkenalkan diri sebagai jurnalis dari Indonesia.
”Kamu suka membaca? Silakan baca dan pakai segala hal yang ada di apartemen ini, kecuali lemari-lemari yang saya kunci. Buatlah dirimu nyaman. Kalau ada yang ingin ditanyakan soal Paris, jangan segan-segan kontak saya,” sambut Kimly sambil menunjuk ke arah tumpukan buku berbahasa Perancis di rak ruang tamu. Ia kemudian memberikan kunci apartemennya.
Bak disiksa
Setelah membongkar isi koper dan melihat dapur apartemen yang dilengkapi alat makan, alat masak, kompor, oven, kulkas, hingga bumbu dapur, tebersit keinginan memanaskan dendeng balado yang saya bawa dari Tanah Air.
Maklum, perut keroncongan setelah ”disiksa” perjalanan nyaris 24 jam dari Jakarta plus transit di Turki tanpa makanan yang sesuai lidah ndeso saya. Namun, keinginan itu akhirnya saya abaikan.
Dengan menepikan rasa lapar dan jetlag, sejam kemudian saya sudah melangkahkan kaki keluar dari apartemen untuk melihat lebih dekat suasana Paris. Setidaknya di sekitaran tempat saya tinggal.
Sudah menjadi kebiasaan saat bertugas di luar negeri, di hari pertama saya akan jalan-jalan mengenal lebih dekat lingkungan sekitar. Istilah kerennya, aklimatisasi. Kebetulan saat itu masih pagi, sekitar pukul 10.00. Cuaca cerah dan sejuk di sekitaran apartemen yang berada tak jauh dari kawasan wisata Montmartre itu.
Jalan-jalan santai saya manfaatkan untuk mengenal sistem transportasi publik setempat termasuk cara membeli tiketnya, mencari kartu ponsel untuk komunikasi, dan tidak kalah penting, mencari tempat makan dan toko terdekat yang menjual sembako. Beruntung, semua itu saya jumpai tidak sampai sejam jalan kaki dari apartemen.
Orang-orang pun kocar-kacir. Wajah saya mendadak perih rasanya, bak disiram air cabai dan lada. Air mata pun meleleh, tanpa terkendali.
Menariknya, hampir semua yang saya temui, mulai dari pemilik toko kelontong, toko aksesoris ponsel, hingga tempat makan, adalah para perantau. Sebagai negara yang sangat terbuka, banyak sekali imigran, tidak terkecuali dari Timur Tengah dan Asia, yang merantau ke Paris
Pluralisme itu membuat saya langsung kerasan di hari pertama. ”Anda dari Indonesia? Wah, banyak Muslim di sana ya, seperti saya,” ujar Sulaiman Patel, pemilik toko aksesoris ponsel, ketika melihat paspor saya.
Pendatang asal Gujarat, India, yang ramah itu membantu saya mendaftarkan kartu SIM yang akan saya gunakan selama di Perancis.
Baca Juga: Perang Batin Saat Meliput Bencana di Kampung Sendiri
”Hooligan” Inggris
Keramahan itu pula yang membuat para hooligan, suporter sepak bola asal Inggris, betah di Perancis. Selama Piala Eropa Perancis yang digelar 10 Juni-10 Juli 2016, hooligan seolah-olah menjajah Perancis. Karena lokasi kedua negara yang berdekatan, suporter Inggris pun menyerbu kota-kota di Perancis.
Di Lille, misalnya, kehadiran fans Inggris sangatlah terasa. Kota pelajar itu dikenal sebagai gerbang Perancis di utara. Dari London, Lille bisa dijangkau hanya dalam waktu 1,5 jam dengan menumpang kereta peluru Eurostar.
Baca Juga: Berkawan Rasa Takut, Meliput Covid-19 di Bangkalan
Artinya, lebih cepat dari perjalanan Jakarta-Bandung. Saya pun hanya butuh waktu 1 jam 15 menit untuk mencapai kota itu dari Stasiun Gare du Nord di Paris dengan kereta TGV kebanggaan Perancis. Padahal, jarak tempuhnya 226 kilometer.
Begitu sampai di Stasiun Lille-Europe, Rabu (15/6/2016), tampak ratusan fans Inggris telah berkumpul. Padahal, tim Inggris tidak sedang berlaga. Saat itu, laga yang digelar di kota yang pernah ditinggali lama bintang Real Madrid, Eden Hazard, itu adalah Rusia versus Slowakia. Inggris baru bermain esok harinya melawan Wales. Itupun di Lens, kota kecil yang bertetangga dengan Lille.
Saat itulah, saya menyadari betapa berisik dan berulahnya para hooligan. ”Jamie Vardy on fire. Your defence is terrified!” nyanyi para suporter Inggris seraya mengintimidasi suporter tim lainnya, salah satunya Wales, di sebuah pub yang berada persis di seberang Stasiun Lille-Flandres.
Nyanyi dan teriakan mereka semakin kencang seiring semakin banyaknya bir yang ditenggak. Belasan hooligan lalu keluar dari pub. Mereka berjalan sambil tiada henti berteriak dan bernyanyi.
Salah satunya yang tampak mabuk terlihat memanjat tiang lampu di tepi jalan lalu mengguncang-guncangnya hingga lampu itu rusak. ”We are at the top of the world, at the top of the world! Fu** off Russia!” teriak mereka.
Baca Juga: Di Udara Papua, Pesawat yang Saya Tumpangi Kehabisan Bahan Bakar
Sejumlah polisi antihuru-hara Perancis yang melihat kelakuan hooligan itu dari kejauhan tetap tenang tak mengambil tindakan walaupun situasi mulai memanas. Sebagai gantinya, mereka membuat barisan dan bersiaga.
Saya pun mendekat untuk mengamati tingkah laku ”ajaib” para hooligan itu. Tak dinyana, entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba botol, kaleng bir, bahkan batu, mulai melayang. Setelah itu, terjadi baku hantam.
Polisi pun memukuli mereka dengan baton (tongkat). Tidak kalah galak, para perusuh membalas tindakan polisi dengan lemparan batu sebesar kepalan tangan.
Ledakan granat
Lille, kota yang sebelumnya sangat tenang, mendadak jadi arena tawuran. ”Bum..!” Suara keras dentuman diikuti asap putih pekat terdengar beberapa saat kemudian. Rupanya, polisi mulai menembakkan granat berisi gas air mata. Orang-orang pun kocar-kacir.
Wajah saya mendadak perih, bak disiram air cabai dan lada. Air mata pun meleleh tanpa terkendali.
Semakin keras saya mengusap-usap wajah, semakin perih rasanya. Basuhan air dingin dari air mancur di depan Lille-Flandres pun tidak banyak membantu. Akhirnya, saya pasrah dan membiarkan waktu menghilangkan efek pedih gas air mata di wajah.
Baca Juga: Ajakan Bangkit Bersatu dari DJ Garrix dan Bono U2
Sekian lama menjadi wartawan dan berkali-kali menghadapi kericuhan massa, baru kali itu saya terkena gas air mata. Beruntung, tidak ada lemparan batu yang mendarat di kepala.
Setelah diusut, ternyata keributan itu bermula dari sejumlah suporter Rusia yang mengamuk dan tersinggung dengan ejekan hooligan. Ketika itu, hubungan suporter Inggris dan Rusia memang tengah memanas, sebagai buntut bentrokan di Marseille empat hari sebelumnya. Seusai laga Inggris versus Rusia yang berakhir imbang 1-1, ratusan hooligan Inggris babak belur dihajar segelintir ultras (fans garis keras) Rusia yang jago bela diri.
”Kami tidak bisa berbuat apa-apa (melakukan tindakan) karena ini yurisdiksi Perancis. Kami hanya mengamati dan melaporkan (ke Inggris). Polisi Perancis lah yang berwenang menindak,” ujar seorang anggota kepolisian Inggris saat saya temui di Lille. Ia bertugas memantau dan mengikuti para hooligan.
Kekacauan, kekalutan, dan histeria mewarnai pergelaran Piala Eropa 2016. Insiden di Lille rupanya baru permulaan. Setelah itu, saya mengalami peristiwa lain yang jauh lebih menakutkan.
Pada Sabtu (2/7/2016) malam, saya memutuskan meliput ke fans zone Piala Eropa 2016 di Champ de Mars, Paris. Ketika itu, kawasan di kaki Menara Eiffel yang mampu menampung 90.000 orang fans sepak bola itu menampilkan acara nonton bareng laga perempat final antara Jerman dan Italia.
Suasana di dalam kawasan itu sangat meriah. Seperti yang lainnya, saya pun terpukau dengan pertunjukan lampu warna-warni Menara Eiffel yang indah dan memanjakan mata, sebelum laga dimulai. Konser musik menambah betah para pengunjung yang datang tanpa dikenakan biaya tiket masuk.
Baca Juga: Piala Eropa Suar Asa di Tengah Gelapnya Dunia
Setelah melewati pemeriksaan ketat di gerbang masuk, saya pun duduk beralas rumput di depan salah satu layar raksasa yang menampilkan siaran laga besar antara Italia dan Jerman. Laga pun dimulai.
Tidak hanya suporter Italia dan Jerman, para penikmat sepak bola lainnya pun turut tumplek blek di sana. Sorak dan teriakan dari puluhan ribu pengunjung seolah menjadi amplifier alami yang konon terdengar hingga 1 kilometer jauhnya.
”Huuuu...”, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Rupanya, salah satu layar raksasa mendadak mati. Hal ini memancing kekhawatiran mereka karena laga Jerman-Italia tengah sengit-sengitnya, terutama setelah tim ”Panser” berkali-kali mengancam gawang lawan, salah satunya lewat Thomas Mueller. ”Horee...” kembali terdengar bunyi gemuruh, kali ini disambut tepuk tangan seusai layar kembali menyala.
Menyelamatkan diri
Tidak lama berselang, suasana mendadak hening. Namun, dalam sekejap mata kemudian, orang-orang mulai berlari kesetanan bak tsunami. ”Lari-lari, selamatkan dirimu!” teriak keras seseorang, membuat bulu kuduk saya seketika berdiri.
Tanpa pikir panjang, saya ikut lari terbirit-birit menuju pintu keluar. Jika tidak demikian, saya pasti terinjak-injak seperti dialami sejumlah orang yang terjatuh dalam gelombang kepanikan itu.
Dalam hitungan detik, adegan kengerian dalam video-video amatir di Youtube tentang serangan teroris di Paris yang menewaskan 137 orang pada 13 November 2015 menyergap benak saya. Itulah momen hidup atau mati.
[embed]https://youtu.be/zARGB_7_xzA[/embed]
Beruntung, meskipun sempat kehilangan penutup lensa kamera yang tertinggal di lokasi, saya bisa keluar tanpa terluka. Namun, tidak demikian dengan puluhan orang lainnya.
Mereka terluka parah, bahkan patah tulang rusuk, akibat terinjak-injak. Ada juga yang cedera tangannya setelah terjatuh dari pagar besi. Ia nekat memanjat karena tidak bisa menemukan pintu keluar. Asap putih pekat yang mengelilingi kawasan menambah kengerian.
Keceriaan acara nonton bareng telah berubah menjadi tragedi. Orang-orang menangis, ada pula yang histeris mencari pasangan atau kerabatnya yang terpisah. Setelah lebih tenang, saya memberanikan diri berkeliling untuk meliput.
Keceriaan acara nonton bareng telah berubah menjadi tragedi.
”Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu hanya memperburuk suasana!” hardik seorang penonton asal Inggris ketika saya memotretnya tengah menenangkan pasangannya yang menangis di pelukan.
Di kebanyakan negara Eropa barat, merekam seseorang dalam keadaan sangat rapuh dianggap tidak etis. Namun, naluri jurnalis berkata saya harus mengabaikannya. Tragedi adalah berita. Setelah naluri berperang dengan hati nurani, saya lantas memasukkan kamera ke dalam tas. Saya tahu persis rasanya menjadi korban kepanikan itu.
Setelah meminta maaf dan memberikan tisu antiseptik pembersih luka ke pasangan orang Inggris itu, saya memberanikan diri masuk ke dalam fans zone guna mencari tahu penyebab kepanikan tersebut. Di dalam, suasana tidak lagi sama. Sebagian besar orang memilih tidak kembali dan melanjutkan menonton. Mereka telanjur jera dan trauma.
Setelah mewawancarai sejumlah orang, termasuk polisi dan petugas keamanan, kesimpulannya sumber kepanikan adalah suara petasan. Entah bagaimana petasan itu bisa diselundupkan ke dalam fans zone, padahal pemeriksaannya sangat ketat.
Suara keras petasan yang dikira bom itu memicu kepanikan massal bak bola salju yang menggelinding. ”Sungguh gila. Gara-gara petasan, semuanya jadi kacau,” ungkap Antoinne, warga Paris yang bertahan di fans zone.
Setiap kali berada di tempat umum dan mendengarkan suara orang, meskipun hanya suara anak kecil yang berlari, jantung saya mendadak berdebar keras. Kengerian itu terus saya bawa, bahkan hingga saat pulang ke Tanah Air.... (Bersambung)