Perang Batin Saat Meliput Bencana di Kampung Sendiri
Hari Paskah, Minggu 4 April 2021, seharusnya menjadi sukacita bagi kebanyakan masyarakat Pulau Adonara di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Namun, hari itu justru berujung pilu akibat terjangan badai Seroja.
Minggu 4 April 2021 seharusnya menjadi hari sukacita bagi masyarakat Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pada hari itu, warga yang mayoritas beragama Katolik semestinya tengah merayakan Paskah, peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Sayangnya, sebelum fajar tiba, banjir bandang datang membawa duka dan mengubur 71 orang di pulau itu.
Sejak Minggu pagi, pesan berantai beredar di Grup Whatsapp yang saya ikuti. Teks, foto, dan video menggambarkan kehancuran yang dahsyat. Saya coba tengok di Facebook, tanah kelahiran saya, Adonara, porak poranda disapu banjir dan longsor. Mengerikan....
Lewat Facebook pula, saya mengenali salah satu korban meninggal yang terseret banjir di Kelurahan Waiwerang, sekitar 9 kilometer dari rumah saya di Desa Pandai. Korban itu adalah Lambertus Lawan, guru akuntansi saya di Sekolah Menengah Kejuruan Surya Mandala Waiwerang.
Korban itu adalah Lambertus Lawan, guru akuntansi saya di Sekolah Menengah Kejuruan Surya Mandala Waiwerang.
Lambertus terseret banjir bandang yang tiba sekitar pukul 01.30 Wita. Rumahnya nyaris tanpa bekas tersapu banjir. Jenazahnya ditemukan sekitar 50 meter dari lokasi rumah.
Di lokasi yang sama, sebanyak 11 orang ditemukan meninggal. Banjir bandang juga menyapu ratusan rumah lainnya. Permukiman rata dengan tanah.
Saat masih meratapi kematian guru saya, tiba-tiba masuk panggilan telepon dari ibu saya. ”Rikus masih hilang!” kata Ibu. Rikus yang dimaksud adalah Hendrikus Herin, sepupu saya di Desa Oyang Barang, sekitar 6 kilometer arah barat rumah saya.
Hangat diberitakan di media sosial dan media arus utama, terjadinya bencana serentak di NTT, yang kemudian dinamakan badai Seroja. Jumlah korban terus meningkat, terbanyak di Adonara. Saya pun harap-harap cemas sambil berdoa datang mukjizat: korban hilang ditemukan selamat.
Tiba-tiba, Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Haryo Damardono menelpon saya. ”Adonara yang kena bencana itu kampung kamu, kan?” tanya Haryo mengonfirmasi.
”Iya, Mas," jawab saya. ”Kalau kamu diminta berangkat ke sana, kamu mau tidak?” tanyanya lagi. ”Siap, Mas,” jawab saya lagi.
Baca juga: Berkawan Rasa Takut, Meliput Covid-19 di Bangkalan
Di ujung telepon, Haryo mengatakan akan menghubungi saya kembali. Tak lama kemudian, Redaktur Pelaksana Harian Kompas Adi Prinantyo mengirim pesan pendek terkait dengan penugasan itu.
Selanjutnya, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra dan Kepala Desk Regional Harian Kompas Gesit Ariyanto ganti menelpon saya untuk menyampaikan lagi penugasan itu.
Hari telah petang ketika saya berusaha mencari tiket tercepat ke NTT. Di aplikasi penjualan tiket daring (online), hampir semua bandara di NTT tutup akibat siklon Seroja.
Tersisa Bandara Frans Seda Maumere di Kabupaten Sikka yang dapat dijangkau dengan penerbangan langsung dari Makassar, Sulawesi Selatan. Bagi saya yang berdomisili di Ambon, Maluku, rute ini termasuk cepat.
Selesai membeli tiket, saya harus mengambil tes bebas Covid-19 sebagai syarat penerbangan. Kala itu, semua klinik dan rumah sakit tidak melayani tes di atas pukul 16.00.
Saya lalu menghubungi seorang perwira TNI Angkatan Darat di Kodam XVI/Pattimura. Saya bermaksud meminta tolong agar bisa menjalani tes di Rumah Sakit Latumeten yang dikelola Kodam Pattimura.
Baca juga: Di Udara Papua, Pesawat yang Saya Tumpangi Kehabisan Bahan Bakar
Perwira tersebut lantas meminta saya datang ke kediamannya. Segera seorang dokter tiba dan mengambil sampel usap di hidung. Pukul 20.00 WIT, saya mengambil hasil tes cepat. Syukurlah hasilnya negatif Covid-19.
Pada Senin (5/4/2021) pagi, saya terbang dari Ambon ke Makassar dan menunggu penerbangan lanjutan keesokan harinya. Rute Makassar-Maumere hanya terbang satu kali setiap hari.
Di Makassar, saya bertemu fotografer Kompas yang bertugas di Semarang, Jawa Tengah, P Raditya Mahendra. Pria yang biasa disapa Wendra itu juga ditugaskan meliput dampak bencana Seroja.
Tiba di Maumere pada Selasa pagi, kami langsung bergerak ke Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, yang berjarak sekitar 130 kilometer. Sebenarnya cukup dekat. Namun, karena banyaknya kelokan membuat waktu tempuh lebih dari tiga jam.
Kami tiba di Larantuka sekitar pukul 12.00 Wita dan langsung menyeberang ke Adonara, pulau di seberang Larantuka. Beruntung, jalur penyeberangan dari Larantuka ke Adonara baru saja dibuka setelah sempat ditutup selama dua hari akibat bencana.
Rombongan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo yang tiba di Larantuka Senin pagi gagal menyeberang ke Adonara.
Baca juga: Malam Terakhir yang Menegangkan di Puncak Jaya
Di Larantuka, nuansa duka sudah mulai terasa. Raut sedih terpancar di wajah para perempuan yang mengenakan kain tenun dalam perahu motor penyeberangan.
Kain tenun biasanya hanya dipakai pada saat upacara adat, perkawinan, dan kematian. Mereka menangis sambil meratap dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah yang dipakai masyarakat Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan sebagian Alor.
Sebagai orang Lamaholot, saya hanyut mendengar ratapan itu. Ratapan menggunakan diksi yang menyayat hati. Ini seperti ratapan perempuan Jerusalem ketika Yesus disalibkan. Momen peringatan yang baru saja mereka peringati pada saat Paskah beberapa hari sebelumnya. Flores Timur sangat kental dengan budaya Katolik. Ritus terkenal di sana adalah Samana Santa, atau pekan suci menjelang Paskah.
Tak sampai 20 menit kemudian, perahu motor kami sandar di Pulau Adonara, tepatnya di pelabuhan penyeberangan Tobilota. Saya dan Wendra bergegas menuju tiga titik banjir bandang dan longsor yang menelan korban jiwa, yakni Oyang Barang, Waiwerang, dan Nelelamadike. Tiga titik itu berada di jalur Jalan Trans-Adonara.
Sekitar 15 menit dari Tobilota, kami tiba di Oyang Barang. Turun dari sepeda motor, mata saya langsung tertuju ke rumah Rikus. Bangunan rumahnya nyaris tanpa bekas.
Baca juga: Sulitnya Menembus Lokasi Bencana Adonara
Setahun yang lalu saya masih duduk-duduk di situ sambil menikmati kopi. Di rumah itu pula saya biasa mendengar petuah dari sepupu saya yang usianya lebih tua 15 tahun itu.
Tinggal tersisa dapur, tempat kami pernah makan malam bersama. Di sana, petani miskin itu pernah menerbangkan mimpinya. Kelak anaknya bisa sekolah hingga sarjana. Kini, anaknya hampir selesai kuliah, tetapi Rikus tidak akan bisa melihatnya mengenakan toga sarjana. Rikus hanya bisa menyaksikan dari surga.
Di dekat dapur, beberapa orang sedang membongkar bongkahan lumpur yang bercampur batang pohon dengan linggis dan cangkul. Sudah hari ketiga, ekskavator belum juga tiba. Dengan pencarian manual, warga berhasil menemukan dua korban. Tinggal Rikus yang belum ditemukan.
Dari Oyang Barang, kami bergerak ke Waiwerang, kemudian ke Nelelamadike, lokasi bencana terparah. Sebanyak 56 orang meninggal tertimbun lumpur.
Untungnya, di sana sudah tiba ekskavator untuk mempercepat pencarian korban. Warga dari kampung tetangga pun ikut datang membantu. Solidaritas juga datang dalam bentuk bantuan makanan siap santap.
Baca juga: Solidaritas Tanpa Sekat Kala Adonara Berduka
Di kuburan massal, warga datang memberi penghormatan terakhir. Tampak seorang biarawati Katolik dan seorang gadis Muslim berjilbab berpelukan sambil memandang nanar nyala lilin di atas kuburan.
Betapa campur aduk batin saya saat meliput bencana di tanah sendiri. Ada kesedihan atas meninggalnya sepupu yang hingga kini belum ditemukan. Juga ada rasa bangga dengan munculnya berbagai solidaritas, seperti pemandangan biarawati Katolik dan gadis Muslim tadi. Keduanya bergandengan erat sambil mendoakan para korban.
Lebih dari itu, lewat pemberitaan di Kompas, baik yang terbit di koran maupun lewat kanal kompas.id, membantu menggerakkan hati para pengambil kebijakan untuk segera mengambil langkah penanggulangan bencana di sana.
Presiden Joko Widodo, bahkan, sempat mengunjungi Pulau Adonara, tepatnya di Nelelamadike. Ia sekaligus menorehkan sejarah baru sebagai presiden pertama yang datang pulau itu.