Melalui "We Are The People", DJ Martin Garrix dan Bono U2 mengajak warga dunia bangkit dari kesedihan. Piala Eropa menjadi momen tepat menyalakan kembali semangat itu, persis yang terjadi di Perancis, lima tahun silam.
Oleh
Yulvianus Harjono dan M Ikhsan Mahar
·5 menit baca
Sejak lama, musik diyakini sebagai bahasa universal warga dunia. Adapun sepak bola adalah kekuatan yang dipercaya bisa menyatukan beragam orang dengan latar belakang berbeda-beda. Lantas, apa jadinya jika dua warisan besar peradaban manusia itu bersatu?
Hal yang terjadi, salah satunya, adalah lahirnya We Are The People hasil kolaborasi barisan musisi ternama dunia, yaitu disjoki Martin Garrix serta duo personel band U2, Paul ”Bono” David Hewson dan David ”The Edge” Howell Evans. Sejak diluncurkan 14 Mei 2021 lalu, lagu tema Piala Eropa 2020 itu telah menyedot perhatian publik dunia.
Meskipun turnamen sepak bola terbesar di Eropa itu belumlah dimulai, hingga Minggu (30/5/2021), video lagu itu telah diputar 4 juta kali di Youtube. Tidaklah heran. Musik maupun lirik lagu itu mudah dicerna indra perasa siapapun, entah suka sepak bola atau tidak.
”Kemarin, saya mengalami serangan kecemasan dan menangis tanpa henti di kamar mandi. Lalu, tiba-tiba, ada notifikasi lagu itu. Saya putar dan suasana hati berubah. (Lagu) itu membantu saya keluar dari banyak kesulitan,” ungkap Jacky Macky, pendengar We Are The People di Youtube.
We Are The People—yang bakal terdengar familier di radio, televisi, dan kanal digital selama satu setengah bulan ke depan—mengajak para pendengarnya menghidupkan spirit universal sepak bola lewat momentum Piala Eropa. Spirit-spirit itu antara lain kegembiraan, ketabahan, perjuangan, dan kebangkitan.
”Kita adalah jutaan voltase di kolam penuh cahaya. Listrik yang menerangi ruangan malam ini. Kita terlahir dari api, percikan yang terlontar dari matahari. Karena kamu punya keyakinan dan tidak takut berjuang, mari kita menarik harapan dari kekalahan. Kita orang-orang yang telah dinanti-nanti, bangkit dari reruntuhan kebencian dan perang,” bunyi lirik lagu penuh semangat yang ditulis Bono itu.
Endorfin manusia
Berbagai spirit itu, yang dinyalakan lewat entakan melodi gitar elektrik The Edge, bisa menjadi endorfin manusia di tengah rangkaian tragedi dan kesulitan akhir-akhir ini, mulai pandemi Covid-19 hingga perang di Palestina.
”Lagu ini bukan hanya soal Piala Eropa 2020. Itu juga soal kebersamaan. Setelah 1,5 tahun menjalani masa sulit (akibat pandemi), lagu ini mengangkat (energi dan asa) kita semua. Sungguh indah,” ungkap Durc Huy Hoang Tran, pengguna Youtube lainnya.
[embed]https://youtu.be/kGT73GcwhCU[/embed]
We Are The People, yang judulnya serupa himne suporter klub sepak bola Skotlandia, Glasgow Rangers, dirancang Garrix. Disjoki dan produser musik berdarah Belanda dan Indonesia itu paham betul cara mengangkat gairah melalui musik. Kebetulan, ia juga adalah pecinta sepak bola.
”Sepak bola dan musik punya kekuatan menyatukan orang-orang. Keduanya adalah vektor (pembawa) gairah dan emosi. Memadukan keduanya bakal mendorong lebih jauh perayaan dari para penggemar terkait Piala Eropa, sekaligus menjangkau audiens baru,” ujar Direktur Pemasaran UEFA Guy-Laurent Epstein di laman resmi UEFA.
Seiring kian kompleksnya masalah dan tantangan hidup manusia modern, lagu-lagu tema Piala Eropa kian berwarna dan kaya makna, satu dekade terakhir. Lagu-lagu itu tidak lagi sekadar mengajak orang berhura-hura atas nama sepak bola, melainkan juga sarat pesan kemanusiaan.
Teror Paris
Semangat itu juga muncul dalam lagu tema Piala Eropa 2016, This One\'s For You. Lagu yang dibawakan disjoki David Guetta dan penyanyi asal Swedia, Zara Larrson, itu seolah mengajak warga Perancis, tuan rumah Piala Eropa edisi itu, untuk bangkit dari trauma serangan terorisme.
Serupa saat ini, Piala Eropa kala itu dibayang-bayangi kekalutan kolektif, yaitu dipicu tragedi serangan teroris November 2015 yang menewaskan 137 orang di enam tempat berbeda di Paris, termasuk kawasan Stadion Stade de France yang menjadi rumah sepak bola Perancis. Akibat tragedi itu, anak-anak muda Perancis—yang biasanya ekspresif dan bebas keluar di malam hari—jadi mengurung diri.
Mereka takut jadi korban lain, seperti 90 orang yang meregang nyawa saat menonton konser band Amerika Serikat, Eagles of Death Metal, di Teater Bataclan, Paris, Jumat (13/11/2015) malam. Namun, suasana muram di Paris berubah drastis seiring hadirnya Piala Eropa, Juni 2016 silam.
Untuk pertama kalinya sejak tragedi Bataclan, sebanyak 80.000 orang dari berbagai negara berkumpul di satu tempat di Paris. Champ De Mars, kawasan di kaki Menara Eiffel yang sempat ditutup dan sepi, mendadak gempita seiring hadirnya konser musik Le Grande Show untuk memanaskan Piala Eropa Perancis. ”Kota Cahaya” pun kembali menunjukkan wajah yang ceria.
Langit Paris malam itu, yang gelap dan mendung, seketika bermandikan cahaya dari lampu warna-warni Menara Eiffel yang memesona. ”Mari pejamkan mata. Kesampingkan segala masalah di dunia. Kita hadir di sini bersama. Dengarkan jantung kita berdenyut bersama. Bersama kita lebih kuat!” bunyi lirik This One\'s For You yang dinyanyikan Larrson pada konser yang dihadiri Kompas itu.
Para penonton langsung berjoget, berjingkrak, dan berteriak histeris, mengikuti melodi penuh semangat dari lagu yang telah disaksikan 277 juta kali di Youtube itu. Mereka menepikan sejenak tragedi dan kesulitan mengimpit.
Dari jalanan di Dublin (Irlandia) ke Notre Dame (Paris), kita membangun kembali lebih baik dari sebelumnya. Dari reruntuhan, datanglah kejayaan. (Bono U2)
”Hari ini, kami patut bergembira. Piala Eropa telah tiba. Kami harus menikmati momen ini. Saya berharap Piala Eropa bisa membasuh luka kami semua, warga Perancis,” ujar Gauthier Herbin, warga Paris yang datang ke konser yang dikelilingi pagar dan kawalan ketat polisi itu.
Pengalaman dari Piala Eropa Perancis itu menunjukkan, kolaborasi sepak bola dan musik sangat ampuh menghibur jiwa manusia yang rapuh. Duet itu memberikan asa dan penghiburan, saat nyaris tidak ada lagi alasan bergembira.
”Dari jalanan di Dublin (Irlandia) ke Notre Dame (Paris), kita membangun kembali lebih baik dari sebelumnya. Dari reruntuhan, datanglah kejayaan,” nyanyi Bono, vokalis U2 asal Dublin menyalakan asa dalam lagu We Are The People.