Pandemi membuat atlet Indonesia yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo kehilangan kesempatan mengikuti uji coba atau kejuaraan internasional. Situasi itu bisa memengaruhi mental bertanding ketika berlaga.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, alet-atlet Indonesia kehilangan kesempatan menjalani uji coba atau mengikuti kejuaraan internasional. Hal itu dinilai berpengaruh terhadap mental bertanding atlet ”Merah Putih” pada saat tampil dalam Olimpiade Tokyo 2020, 23 Juli-8 Agustus.
Minimnya uji coba dan kesempatan mengikuti kejuaraan dirasakan pengurus cabang olahraga dayung. Pelatih tim dayung Indonesia Boudewijn Jorrit van Opstal, Rabu (30/6/2021), mengatakan, dua tahun terakhir terasa berat bagi pedayung Mutiara Rahma Putri dan Melani Putri. Hal itu karena pandemi Covid-19 menghadirkan banyak tantangan bagi persiapan mereka menuju Olimpiade.
Sejumlah kesempatan mengikuti uji coba dan kejuaraan dunia terpaksa dibatalkan karena keterbatasan waktu dan pandemi. Mutiara dan Melani awalnya direncanakan menjalani uji coba dalam Kejuaraan Rowing Dunia (World Rowing Championship) di Racice, Ceko, pada 7-11 Juli 2021. Uji coba itu dalam rangka persiapan terakhir keduanya menjelang ke Olimpiade.
Ajang tersebut dirasa cocok untuk menambah pengalaman bertanding Mutiara dan Melani sebelum berlaga di Olimpiade Tokyo. Kejuaraan Rowing Dunia di Ceko akan diikuti atlet-atlet Eropa yang menjadi pesaing di Olimpiade. Mayoritas persaingan ganda putri rowing dunia saat ini didominasi atlet-atlet Eropa.
Namun, karena pertimbangan keterbatasan waktu dan ada kewajiban melakukan karantina, keikutsertaan Mutiara dan Melani di Ceko akhirnya dibatalkan. Jika tetap memberangkatkan keduanya ke Ceko, hanya ada kerugian yang didapat tim Indonesia.
Padahal, kata Boudewijn, atlet dapat mengasah teknik dan mental bertanding dengan menghadapi lawan-lawan di suatu kejuaraan dengan level yang kompetitif. Ketiadaan uji coba atau kejuaraan yang diikuti seorang atlet sebelum berlaga dalam kejuaraan besar akan memengaruhi kesiapan psikis dan mental bertanding mereka nanti.
Sebagai gantinya, Melani dan Mutiara mengasah kemampuan dengan melakukan simulasi bersama pedayung-pedayung di pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Situ Cileunca, Pangalengan, Jawa Barat.
Boudewijn menyebut ada banyak pedayung berpengalaman yang bisa memberikan pelajaran berharga bagi Melani dan Mutiara di pelatnas. Namun, atmosfernya tentu saja tidak sama dengan mengikuti uji coba atau kejuaraan di luar negeri.
Kita harus menerima bahwa tahun ini akan berbeda. Negara lain juga memiliki masalah yang sama. Untungnya, kami masih bisa melakukan program persiapan kualifikasi Olimpiade.
”Kita harus menerima bahwa tahun ini akan berbeda. Negara lain juga memiliki masalah yang sama. Untungnya, kami masih bisa melakukan program persiapan kualifikasi Olimpiade. Saya rasa mungkin karena Melani dan Mutiara masih sangat muda dan belum berpengalaman, tapi mereka begitu fleksibel dan cepat beradaptasi dengan tantangan baru,” tutur Boudewijn dihubungi dari Jakarta.
Pelatih dayung Indonesia Dede Rohmat Nurjaya menjelaskan, kompetisi berkaitan erat dengan performa atlet. Kompetisi pada tingkat dan frekuensi yang tepat sangat penting untuk perkembangan atlet.
Namun, proses tersebut tidak terjadi selama tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Menurut Dede, idealnya atlet dayung dalam satu tahun perlu mengikuti 5-6 kompetisi. Untuk mengangkat mental para atlet dayung, Dede menekankan kepada mereka bahwa menjadi olimpian (atlet yang bertanding di Olimpiade) adalah kehormatan dan kebanggaan yang luar biasa dari seorang atlet.
”Karena itu yang menjadi rujukan atau target dari setiap atlet, termasuk atlet profesional sekalipun,” katanya.
Penurunan rasa percaya diri
Secara terpisah, pelatih tim panahan Indonesia Nurfitriyana Saiman mengatakan, para atlet yang berlaga di ajang sebesar Olimpiade biasanya mengalami sejumlah perubahan ketika bertanding. Perubahan yang ia maksud adalah penurunan rasa percaya diri dan tidak menjadi diri sendiri saat berlaga.
Yana, sapaan akrab Nurfitriyana, menyebut tekanan terhadap atlet saat berlaga di Olimpiade sangat tinggi. Itu pula yang pernah Yana rasakan ketika tampil mewakili Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Yana bersama dua rekannya, Kusuma Wardhani dan Lilies Handayani, berhasil mempersembahkan medali perak yang menjadi medali pertama sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di Olimpiade.
Dari pengalaman tersebut, Yana mengatakan, tekanan itu bisa menjadi beban bagi atlet sehingga kepercayaan diri mereka merosot. Apalagi, mereka dihadapkan pada kondisi minim mengikuti uji coba dan kejuaraan selama pandemi. Pada titik ini, pelatih berperan sentral dalam menjaga mental para atlet. Atlet juga dituntut mengontrol emosi.
Bagi atlet Indonesia yang sudah pernah mengikuti Olimpiade, minimnya persiapan mengikuti kejuaraan dan uji coba jelang keberangkatan tentu tidak menjadi masalah. Namun, itu akan menjadi masalah tersendiri bagi atlet yang baru pertama kali ini mengikuti Olimpiade.
Menyikapi situasi itu, Yana menyebut hal terpenting yang harus ditanamkan dalam benak atlet adalah mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sebab, mereka adalah orang-orang terpilih yang telah dinyatakan lolos babak kualifikasi. Tidak mudah untuk memenangi tiket ke Olimpiade sehingga para atlet tak usah risau ketika bersaing dengan lawan-lawan dari negara lain.
”Jadilah diri sendiri dengan tulus ikhlas, itu yang selalu saya pegang ketika mewakili Indonesia di Olimpiade,” kata Yana.
Mental atlet-atlet Indonesia menjadi salah satu aspek yang disorot Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali. Menurut dia, kekurangan mendasar atlet-atlet Indonesia adalah dari sisi mental.
Ketika kalah atau tertinggal, mereka lekas kehilangan kepercayaan diri kendati pertandingan masih belum berakhir. Oleh sebab itu, ia meminta para atlet yang berlaga di Olimpiade Tokyo untuk tidak melempar handuk sebelum pertandingan berakhir. Segalanya, kata Zainudin, masih bisa terjadi dan karena itu atlet harus tetap berjuang hingga akhir.