Sejak kembali melatih lifter Eko Yuli Irawan dan Deni pada 8 Mei, Lukman mengamati kelemahan kedua anak asuhannya itu untuk menyusun program latohan yang tepat menuju Olimpiade Tokyo nanti.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jelang Olimpiade Tokyo, 23 Juli-8 Agustus, pelatih senior angkat besi Lukman terus berusaha mencari titik lemah dua lifter asuhannya, Eko Yuli Irawan dan Deni. Dari kelemahan itu, Lukman menyusun program agar Eko dan Deni bisa mencapai target di Olimpiade, yakni Eko meraih medali emas dan Deni masuk lima besar.
”Totalitas Pak Lukman sangat luar biasa. Dengan mata elangnya, dia melihat kesalahan kami dengan detail. Ini sangat penting untuk menghilangkan kebiasaan buruk, terutama dari teknik saya yang masih kurang matang,” ujar Deni saat ditemui di tempat latihan mereka di Empire Fit Club, Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (25/6/2021).
Pada latihan ini, Deni paling banyak mendapatkan teguran dari Lukman (54). Setiap melakukan mengangkat barbel, panggul lifter peraih emas kelas 67 kilogram SEA Games 2019 Filipina itu dianggap kurang naik. Hal itu membuat lutut agak menekuk, sehingga kerja otot dan kekuatan yang dihasilkan kurang optimal.
Deni menyadari, dirinya kerap melakukan kesalahan karena selama ini lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. ”Saya ini tipikal yang 70 persen menggunakan power. Jadi latihan kurang konsisten karena menunggu kondisi tubuh benar-benar bugar. Kalau dengan teknik (yang baik), latihan bisa lebih konsisten,” kata atlet berusia 31 tahun tersebut.
Walau berulang kali ditegur, Deni tidak berkecil hati dan menuruti semua arahan Lukman. ”Saya lebih suka pelatih yang bawel, salah dikit langsung dikoreksi. Kalau pelatih bilang semua baik-baik saja, pujian justru bisa jadi teror. Jadi, lebih baik dikritisi untuk perbaikan,” katanya.
Bagi Deni, kesempatan berpartisipasi ke Olimpiade Tokyo adalah berkah setelah dirinya dikeluarkan dari pelatnas angkat besi pada akhir 2019. Lifter yang akan turun di nomor 67 kg itu berkomitmen memperbaiki diri agar bisa memberikan hasil terbaik pada ajang yang tertunda setahun itu.
”Yang lalu biarlah berlalu. Saya berusaha mengambil kesempatan ini sebaik mungkin. Saya berusaha membuang semua kebiasaan buruk, mulai dari pola makan, waktu istirahat, sampai jadwal latihan. Saya koreksi diri dan berusaha menjadi lebih baik,” tutur atlet yang menempati posisi ke-9 kelas 69 kg London 2012 dan ke-12 Rio de Janeiro 2016 itu.
Untuk Eko, Lukman tidak terlalu banyak mengoreksi. Eko cuma diingatkan untuk melakukan setiap gerakan dengan baik, dan memotivasinya untuk mengangkat beban dengan bobot yang terus meningkat. Hampir semua angkatan lifter peraih emas kelas 62 kg Asian Games 2018 Jakarta-Palembang itu mendapat apresiasi, dengan beberapa masukan kecil agar terus menjadi lebih baik.
Kebiasaan buruk
Secara keseluruhan, Lukman menuturkan, ada beberapa kebiasaan buruk yang masih kerap dilakukan Deni, dan sesekali dilakukan Eko, khususnya di angkatan snatch. Pada gerakan tarikan pertama, genggaman tangan Deni kerap terlalu keras atau tegang. Hal itu membuat otot tangan lebih dominan di gerakan selanjutnya. Padahal, otot kaki lebih dibutuhkan, karena jauh lebih kuat daripada otot tangan.
Pada gerakan tarikan kedua, panggul lifter kurang naik. Padahal, pinggul harus naik optimal agar lutut lurus dan ujung kaki menjinjit tinggi. ”Ini gerakan yang sangat menentukan untuk mengangkat barbel ke atas. Semakin cepat dan tepat, gerakan ini menghasilkan energi yang eksplosif,” terang Lukman.
Totalitas Pak Lukman sangat luar biasa. Dengan mata elangnya, dia melihat kesalahan kami dengan detail. Ini sangat penting untuk menghilangkan kebiasaan buruk, terutama dari teknik saya yang masih kurang matang.
Masih di gerakan tarikan kedua, Deni punya kebiasaan buruk, yakni wajah menghadap ke depan saat mengangkat barbel ke atas. Idealnya, dagu dan wajah menghadap ke atas agar punggung lebih tegap dan otot bekerja optimal.
”Saat barbel berada di atas, Deni juga kerap menempatkan barbel bukan di titik tumpu tubuh. Ketika barbel di atas, posisi tangan tidak sejajar kuping melainkan di depan kuping. Hal itu bisa membuat angkatan tidak seimbang dan barbel jatuh,” ujar pelatih asal Lampung tersebut.
Untuk memahami kelemahan Eko dan Deni, Lukman menyatakan dirinya wajib membaur dengan kedua atlet. Tak hanya menjadi pelatih, dia bisa menjadi orang tua, saudara, sahabat, koki, hingga tukang pijat. ”Sebenarnya, dua lifter ini sudah bagus. Hanya saja, sesekali bisa melakukan kesalahan, termasuk Eko. Ini boleh jadi karena fisik yang tidak bugar atau psikologis terganggu. Kalau tidak dekat dengan mereka, sulit memahami penyebabnya,” kata Lukman.
Selama latihan, Lukman tak hanya duduk dari kejauhan. Dia aktif berdiskusi, merapikan barbel, hingga memijat Deni yang mengeluh sakit di punggung sehabis latihan. ”Bagi saya, pelatih adalah pelayan untuk atlet, atlet merupakan rajanya,” tutur Lukman.
Karena itu pula, Lukman sangat dihormati oleh Eko dan Deni. ”Saya kenal coach Lukman sejak usia 11 tahun sewaktu saya masih berlatih dengan Pak Yon Haryono di Lampung. Hubungan saya dan coach Lukman sudah seperti anak dan ayah. Selain mendampingi di Olimpiade 2008 (perunggu 56 kg) dan 2012 (perunggu 62 kg), coach Lukman jeli melihat kekurangan atlet. Bukan mengesampingkan pelatih lain, pelatih lain umumnya melihat performa saya sudah baik,” terang Eko.
Merawat atlet senior
Karena usia Eko dan Deni yang tak lagi muda, Lukman mengatakan pelatih perlu teliti untuk merawat mereka. Selain latihan disesuaikan dengan usia, makanan juga harus sangat dijaga. Kedua lifter membutuhkan pula tambahan asupan nutrisi yang tepat.
”Dengan usia di atas 30 tahun, Eko dan Deni butuh asupan makanan dan nutrisi yang sesuai untuk menjaga kondisi tubuh mereka. Tak bisa dipungkiri, proses pemulihan tubuh mereka tidak bisa secepat waktu masih berusia di bawah 30 tahun,” ujarnya.
Melalui penanganan tepat, Lukman yakin Eko masih bisa meningkatkan performa dari angkatan terbaik 317 kg – saat meraih perunggu London 2012 dan emas Kejuaraan Dunia 2018 di Ashgabat, Turkmenistan – menjadi 320 kg di Tokyo. Dengan demikian, Eko berpotensi meraih emas. Saingan terdekatnya di kelas 61 kg adalah lifter China Li Fabian, yang memegang rekor dunia dengan angkatan 318 kg kala meraih emas Kejuaraan Dunia 2019 di Pattaya, Thailand.
Untuk Deni, angkatan terbaiknya 315 kg saat meraih emas SEA Games 2019. Dia ditargetkan meningkatan angkatan menjadi 330 kg untuk menembus lima besar Olimpiade. ”Bagi saya, usia di atas 30 tahun itu bukan akhir segalanya. Terbukti, pesaing Eko di Rio 2016, lifter asal Kolombia Oscar Figueroa berlaga dalam usia 33 tahun dan tetap bisa meraih emas,” ungkap Lukman.