Kenapa Orang Banyumas Bicara ”Ngapak”?
Kekhasan bahasa Jawa dialek Banyumasan bisa dilacak hingga era Majapahit. Dialek ini juga menjadi cermin sikap egaliter.
”Nek, kira-kira ana sing arep ngutang maring rika, takoni dhisit: wis nyaur puasa taun wingi apa urung? Angger jawabane urung, aja diutangi. Wong utang maring Gusti Allah wis setaun ora nyaur, apa maning utang maring rika. Ha-ha-ha....”
Kata-kata bahasa Jawa dialek Banyumasan itu diucapkan Samidi (41) dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram miliknya pada 23 Februari 2024.
Terjemahan bebas kata-kata itu adalah: ”Kalau ada yang mau berutang kepada kamu, tanya dulu: sudah bayar utang puasa tahun lalu atau belum? Kalau jawabannya belum, jangan diberi pinjaman utang. Utang kepada Allah sudah setahun tidak dibayar, apalagi utang kepada kamu.”
Samidi merupakan warga Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sejak tahun 2005, dia merintis acara lawak dengan bahasa Jawa dialek Banyumasan di radio. Kini, dia juga membuat konten humor dengan dialek Banyumasan di berbagai media sosial, seperti Youtube, Tiktok, dan Instagram.
Di media sosial, lelaki itu beken dengan panggilan Samidi Curanmor. Namun, istilah ”curanmor” yang melekat di julukan itu bukan singkatan pencurian kendaraan bermotor, melainkan curahan perasaan dan humor.
Samidi merupakan salah seorang kreator konten yang bangga menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan atau kerap disebut bahasa ngapak. Menurut Samidi, bahasa ngapak memiliki daya tarik tersendiri.
”Bahasa ngapak itu di mana-mana terkenal lucu. Orang-orang akan tertarik ketika mendengar orang berbicara bahasa ngapak. Apalagi disampaikan juga materi cerita yang lucu. Jadi lebih sempurna lagi. Ceritanya lucu, bahasanya lucu, logatnya lucu,” kata Samidi, Selasa (12/3/2024).
Baca juga: Bagi Kami, ”Ora Ngapak Ora Kepenak”
Menurut Samidi, bahasa Jawa dialek Banyumasan perlu terus dihidupkan dan dibiasakan penggunaannya di keluarga. ”Jangan malu pakai bahasa ngapak. Saya bisa diterima orang mana saja. Ngapak itu punya keunikan dan kelucuan, aja pada isin (jangan malu), jangan takut dianggap ndesa,” ujarnya.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa di sejumlah wilayah, seperti Surakarta dan Yogyakarta, bahasa ngapak memang memiliki keunikan. Salah satu cirinya adalah penggunaan huruf vokal ”a” pada sejumlah kata yang biasa dibaca ”o” oleh penutur bahasa Jawa dari Yogyakarta dan Surakarta. Contohnya, kata-kata ”neng kana” (di sana), tetap dibaca apa adanya, bukan dibaca ”neng kono”.
Selain itu, terdapat sejumlah kosakata khas dalam bahasa dialek Banyumas, misalnya ”kencot” yang berarti lapar. Lapar dalam bahasa Jawa di Surakarta dan Yogyakarta lebih dikenal dengan kata ”luwe”. Namun, ”luwe” di Banyumas justru merujuk pada serangga kaki seribu.
Dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan, ada pula kata ”pahal” yang berarti bekerja mencari nafkah, ”ngromed” atau ”ngromyang” yang artinya meracau atau bicara tanpa sadar, dan banyak kata-kata unik lain.
’Ngapak’ itu punya keunikan dan kelucuan, ’aja pada isin’ (jangan malu), jangan takut dianggap ’ndesa’.
Era Majapahit
Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto Sugeng Priyadi mengatakan, sejarah bahasa Jawa dialek Banyumasan bisa dilacak hingga era Kerajaan Majapahit. Menurut dia, bahasa tersebut memiliki kemiripan dengan bahasa yang dipakai oleh orang-orang pada masa Majapahit.
”Banyumas adalah wilayah terbarat Majapahit yang berbatasan dengan Sunda. Jadi, orang Banyumas adalah pewaris bahasa yang lebih kuno daripada bahasa Jawa modern yang kita kenal sekarang, seperti dipakai di Yogyakarta dan Surakarta,” kata Sugeng yang juga Ketua Banyumas Institut.
Baca juga: Novel Berbahasa ”Panginyongan” Diterbitkan di Banyumas
Menurut Sugeng, penutur dialek Banyumasan tersebar di wilayah eks Karesidenan Banyumas, yakni Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. Selain itu, dialek tersebut juga digunakan warga di Kebumen dan sebagian Pekalongan. ”Jadi, istilah Banyumasan itu sebenarnya sebagai bentuk sebutan untuk kultur,” katanya.
Dalam tulisan berjudul ”Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dari Dialek Banyumasan” yang dimuat di Jurnal Humaniora Nomor 1 (2000), Sugeng menuturkan, dialek Banyumasan merupakan salah satu identitas budaya bagi masyarakat yang hidup di perbatasan budaya Jawa dan Sunda.
Baca juga: Bahasa ”Walikan” Malang, dari Alat Perjuangan hingga Masuk Dunia Intelektual
Dia menyebut, banyak kosakata dialek Banyumasan yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, Sunda Kuno, dan Sunda. Dialek Banyumasan juga disebut merupakan hasil kontak antarbudaya lokal yang terjadi sejak masa akhir Majapahit sampai sekarang.
Berbeda dengan bahasa Jawa di Surakarta dan Yogyakarta yang memiliki tingkatan, seperti kromo dan ngoko, dialek Banyumasan tak mengenal strata. Oleh karena itu, menurut Sugeng, orang Banyumas sangat menghargai kesetaraan, terbuka pada pengaruh budaya lain, dan memiliki kebebasan dalam mengapresiasikan budaya Banyumas yang selaras dengan wataknya.
”Keegaliteran manusia Banyumas merupakan hasil didikan bahasa dialeknya selama beratus-ratus tahun yang lalu. Roh keegaliteran inilah yang membedakan dialek Banyumasan dengan dialek lainnya,” tulis Sugeng dalam Jurnal Humaniora.
Menurut Sugeng, bahasa Jawa dialek Banyumasan tidak dalam kondisi terdesak karena masih banyak warga yang menggunakannya. Meski demikian, dia berharap kajian terhadap dialek Banyumas bisa terus ditingkatkan guna memperkaya dialek itu. Dialek itu juga perlu terus dikenalkan ke generasi muda, termasuk melalui mata pelajaran muatan lokal di sekolah.
Baca juga: Ikhtiar Ahmad Tohari demi Literasi
Budayawan Banyumas Ahmad Tohari menyebutkan, posisi wilayah Banyumas yang jauh dari pusat kerajaan, seperti Yogyakarta dan Surakarta, membuat masyarakat di wilayah itu menghidupi dialek Banyumasan. Tohari menyebut, dialek Banyumasan juga banyak terpengaruh bahasa Jawa kuno.
”Bahasa Banyumasan itu masih terpengaruh pada tradisi bahasa Jawa kuno yang juga mengutamakan huruf a bukan o,” kata pria yang juga dikenal sebagai sastrawan itu.
Tohari menambahkan, pada masa lalu, bangsawan atau priayi yang dikirim untuk menjadi pejabat di Banyumas juga memakai bahasa Jawa wetanan, seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Namun, masyarakat biasa tetap menggunakan dialek Banyumasan.
”Para petani, pedagang kecil, dan orang biasa, seperti saya ini, ya pakai bahasa Banyumasan. Saya orang Banyumas tulen. Nenek moyang saya asli orang Banyumas,” tutur penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu.
”Ora ngapak, ora kepenak,” begitu kata orang Banyumas. Artinya, tidak berbicara ngapak, tidak enak rasanya. Apa iya? Silakan dicoba.