Novelis dan budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, gigih memajukan literasi. Di usianya yang lanjut, Tohari semangat berbagi dan mendorong anak muda untuk membaca dan menulis. Baginya, literasi adalah modal kemajuan bangsa.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Novelis dan budayawan Banyumas, Ahmad Tohari (kiri), menjadi pembicara dalam bedah buku Di Tepi Serayu Aku Merindu yang digelar dalam jaringan atas dukungan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Jumat (17/7/2020). Ahmad Tohari menjadi pembicara dari rumahnya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
”Menulislah, maka kalian ada. Kalau Anda tidak menulis, kalian samar-samar saja adanya. Menulislah maka kalian ada.”
Begitu wejangan pamungkas Ahmad Tohari, novelis dan budayawan Banyumas, Jawa Tengah, kepada peserta diskusi bedah buku Di Tepi Serayu Aku Merindu yang digelar daring atas dukungan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Jumat (17/7/2020). Bersama sedikitnya 160 perserta, didominasi anak muda, ia memendarkan virus literasi.
Di usianya yang menginjak 72 tahun, penulis novel legendaris Ronggeng Dukuh Paruk ini tulus berbagi tips menulis demi keberlanjutan kesusastraan Indonesia secara umum dan Banyumas secara khusus. Ia berbagi pengalaman dan menebarkan virus semangat untuk membaca juga menulis kepada generasi muda.
”Apa yang muncul di kepala tulis saja. Itu nanti bisa ditulis ulang. Saya buka rahasia, saya menulis cerpen paling 4-5 halaman, tetapi itu saya tulis ulang beberapa kali sebelum saya kirim ke media massa,” kata Tohari menjawab pertanyaan peserta diskusi terkait tips menulis.
Bahkan, sebuah novel, katanya, pun ditulis ulang. Pertama-tama begitu ide atau gagasan muncul di kepala, tulis saja. ”Jangan sampai menunda nanti-nanti. Tidak usah berharap tulisan ini langsung sempurna, tetapi nanti dibaca ulang dan kita sendiri yang memperbaiki. Nanti kalau sudah sampai di redaksi, itu juga akan menata ulang tulisan kita,” kata Tohari.
Kepada peserta diskusi bedah buku, Tohari mengisahkan bahwa dirinya dulu adalah seorang wartawan yang kemudian menjadi redaktur dan rajin menulis cerita pendek lalu novel. Tema-tema yang diangkat adalah kisah orang-orang yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Baru-baru ini, cerpen ”Mereka Mengeja Larangan Mengemis” menyabet penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2019.
Tohari mengisahkan bahwa dirinya dulu adalah seorang wartawan yang kemudian menjadi redaktur dan rajin menulis cerita pendek lalu novel.
”(Cerpen) itu tentang sekelompok anak jalanan. Suka dukanya. Kenapa saya terdorong ke situ karena saya ada keberpihakan terhadap anak-anak jalanan yang tidak sekolah, dilepas orangtuanya, dan dalam hal ini negara juga sepertinya tidak hadir,” ujarnya.
Tohari kemudian beretorika, ”Siapa kalau bukan kita yang mewartakan mereka. Kehidupan anak jalanan itu bisa menjadi garapan yang menarik dan berbobot bagi penulis cerpen.”
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Novelis dan budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, menjadi pembicara dalam bedah buku Di Tepi Serayu Aku Merindu yang digelar dalam jaringan atas dukungan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Jumat (17/7/2020).
Buku kolaborasi
Senada dengan tema orang pinggiran, kisah yang diangkat oleh sejumlah jurnalis Banyumas dalam buku Di Tepi Serayu Aku Merindu (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2020) adalah tentang anak-anak di Panti Asuhan Bunda Serayu Banyumas. Kisah ini juga jarang didengar atau dilihat orang.
”Saya tersenyum juga melihat dan membaca teman-teman wartawan ini menjadikan dirinya wakil dari penghuni panti, terutama anak-anak itu. Tentu saya melihat ada subyektivitas di situ, tetapi saya melihat usaha mereka untuk menangkap selengkap mungkin, perasaan yang ada di anak-anak itu,” kata Tohari.
Buku setebal 117 halaman ini merupakan buku yang ditulis bersama oleh Fadlan Mukhtar Zain, wartawan Kompas.com; Permata Putra Sejati, wartawan Tribun Banyumas; S Ari Nugroho, wartawan Banyumas TV; Dian Aprilia dan Puji Purwanto, wartawan Suara Merdeka, Alfiatin, wartawati Satelit Post dan Serayunews; serta Wilibrordus Megandika Wicaksono, wartawan harian Kompas.
Ada 32 kisah anak mulai dari bayi, anak balita, hingga mereka yang duduk di bangku SMK. Anak-anak yang dibesarkan di panti ini berasal dari sejumlah kota di Indonesia. Mereka dititipkan di tempat ini karena berbagai macam alasan, mulai dari ketidaksiapan orangtua karena masih bersekolah, faktor ekonomi keluarga, dan juga kekerasan dalam rumah tangga. Buku ini mendokumentasikan cita-cita, perjuangan, puisi, juga doa mereka.
Suster Nicola SJMJ, Suster Natalia Hane SJMJ, dan Suster Agnes Marni SJMJ di Panti Asuhan Bunda Serayu, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (21/8/2019).
”Tentang doa-doa itu, semua yang membaca pasti terenyuh. Bagaimana mereka menyerahkan persoalannya kepada Tuhannya. Tuhan Yang Maha Esa. Menurut kemampuan cara berpikir mereka. Doa-doa anak-anak ini terasa sangat murni, sangat asli, karena akal mereka belum terlalu jauh. Doa mereka tulus dan sejati,” ujar Tohari.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Kabupaten Banyumas Liliek Dharmawan, yang juga menjadi pembedah buku, menyampaikan, kisah yang diangkat di buku Di Tepi Serayu Aku Merindu memiliki tema serupa dengan tema-tema yang sering diangkat Ahmad Tohari dalam cerpen ataupun novelnya.
”Ada keberpihakan pada mereka-mereka yang terpinggirkan. Ada humanisme di sana yang begitu kuat. Saya menyebutnya sebagai voice of voiceless. Suara dari mereka yang tidak memiliki suara,” kata Liliek.
Ada keberpihakan pada mereka-mereka yang terpinggirkan. Saya menyebutnya sebagai voice of voiceless. Suara dari mereka yang tidak memiliki suara.
Ia menambahkan, ada deskripsi cukup detail yang ditulis berdasarkan jurnalisme empati. Namun, Liliek juga mengkritisi bahwa kisah-kisah yang diangkat masih bisa diperdalam dengan observasi dan pengamatan yang kaya.
”Sesungguhnya karya ini bisa lebih mendalam lagi. Bisa lebih mengeksplorasi lagi apa yang mereka rasakan. Kalau pendekatannya etnografi barangkali bisa ikut tidur di sana beberapa hari,” katanya.
Suster Agnes Marni SJMJ dan Suster Nicola SJMJ di Panti Asuhan Bunda Serayu, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (21/8/2019).
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto Samsun Hadi mengapresiasi karya kolaborasi wartawan Banyumas ini. Menurut dia, ide cerita buku ini menarik dan menyentuh.
”Membuat karya di tengah kesibukan seperti ini merupakan suatu tantangan tersendiri. Kami berharap generasi muda seperti GenBI (Generasi Baru Indonesia, mahasiswa penerima beasiswa Bank Indonesia) juga turut ikut menuangkan idenya suatu saat,” kata Samsun.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Tampilan suasana bedah buku Di Tepi Serayu Aku Merindu bersama novelis dan budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, yang digelar dalam jaringan atas dukungan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Jumat (17/7/2020).
Giatkan membaca
Pada kesempatan bedah buku itu, Ahmad Tohari terus mengingatkan kepada generasi muda untuk giat membaca. Menurut dia, membaca bacaan positif merupakan modal untuk menulis.
”Siapa yang kuat membaca dan menulis, artinya dia sedang mengembangkan diri secara baik. Untuk menjadi penulis tentu lewat proses, proses pertama adalah membaca dulu. Membaca banyak-banyak, apa saja. Buku, media, koran. Kalau nanti bacaannya sudah banyak, nanti ibarat air itu akan meluber jadi ingin menulis,” tuturnya.
Dalam tulisan ”Membangun Demokrasi Minim Literasi” (Kompas, 17/2/2020), UNESCO, pada 2012, mencatat hanya terdapat satu dari 1.000 penduduk di Indonesia yang memiliki minat tinggi untuk membaca. Setelah UNESCO, empat tahun berselang, giliran Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang memotret rendahnya minat baca di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan terkait tingkat literasi, RI menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.
Terbaru, potret rendahnya tingkat literasi di Indonesia juga terekam dari indeks aktivitas literasi membaca yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2019. Dari nilai maksimal 100, indeks aktivitas literasi membaca Indonesia hanya mencapai 37,32 dan termasuk dalam kategori rendah. Ini menunjukkan, tak banyak orang Indonesia yang terbiasa membaca.
Di tengah tantangan itu, Ahmad Tohari melihat adanya seberkas harapan yang baik dari dunia literasi Indonesia. Setiap hari Minggu, dirinya selalu membaca cerpen yang disajikan di koran harian Kompas dan Suara Merdeka.
Menurut dia, anak-anak milenial kini sudah pandai menulis cerita yang surealistik dan itu menjadi sangat menarik dengan kekuatan bahasa sangat tinggi.
”Saya optimistis sekali tidak ada kekhawatiran tentang kesusastraan Indonesia walaupun tentu berubah. Berubah karena pada masa lalu hanya mengandalkan cetak, sekarang sastra bisa disosialisasikan lewat media sosial. Sungguh saya tidak khawatir dengan kesusastraan Indonesia di masa depan,” ujarnya.
Di usianya yang telah lanjut, Ahmad Tohari senantiasa tulus berbagi. Memajukan literasi adalah perjuangan serta komitmennya. ”Selama saya sehat dan ada waktu, saya bisa berbagi karena literasi adalah perjuangan saya,” ujarnya.