Bagi Kami, ”Ora Ngapak Ora Kepenak”
Globalisasi dan penetrasi budaya lain sekian lama menguji eksistensi bahasa ”panginyongan” atau lazim diistilahkan bahasa ”ngapak”.
Globalisasi dan penetrasi budaya lain sekian lama menguji eksistensi bahasa panginyongan atau lazim diistilahkan bahasa ngapak. Dialek bahasa daerah yang lahir dari rahim egalitarian warga Banyumas dan sekitarnya di Jawa Tengah belakangan kian terlihat. Tua-muda tak lagi malu ber-ngapak ria di ranah publik. Mereka justru bangga.
”Mad, aja balik disit. Kene akeh virus. Akeh pendatang pada teka gawa virus. Aja balik disit kepriwe?” (Mad, jangan pulang dulu. Di mana-mana sedang banyak virus. Banyak pendatang juga membawa virus. Jangan pulang dulu bagaimana?)
”Iya Mak, wis tekpikir-pikir juga koh. Senajan nang kene golet duwit ya susah, pada prei. Tapi lewih susah maning nek aku balik maring Pageraji. Mending tektahan disit mudike, Mak.” (Iya Bu, sudah saya pertimbangkan juga, kok. Walau di sini kian sulit mencari uang, semua sedang libur. Tetapi lebih sulit lagi kalau saya pulang ke Desa Pageraji. Lebih baik, saya tidak mudik dulu ya, Bu)
Begitu sepenggal percakapan antara Kasmad dan sang Ibu dalam sebuah film pendek karya para pemuda Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, di tengah pandemi Covid-19. Film berjudul Aja Mudik Disit atau Jangan Mudik Dulu berdurasi 4 menit 6 detik ini mengisahkan seorang ibu yang khawatir pada anaknya yang sedang merantau.
Akibat pandemi, meski rindu, keduanya akhirnya hanya bisa saling menyapa melalui sambungan telepon. Film berlatar perdesaan ini lekat dengan aktivitas warga, mulai dari bertani, beternak, juga berdagang.
Film yang digarap dalam waktu empat hari menggunakan ponsel cerdas ini dikemas menggunakan bahasa panginyongan untuk mengingatkan para perantau supaya jangan mudik karena berbahaya menularkan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19.
”Pemilihan bahasa, kenapa ke bahasa panginyongan atau ngapak, salah satu tujuannya memang untuk melestarikan. Selain itu, untuk lebih mengingatkan kekuatan di film ini akan kampung halamannya, jadi kami gunakan bahasa sehari-hari di desa,” tutur Arbi Anugerah (37), pemuda Desa Pageraji, Senin (27/4/2020).
Evawanto (28), salah satu pemuda Desa Pageraji yang membuat film pendek ini mengatakan, adanya keresahan warga desa yang ingin menyampaikan pesan lewat film pendek bagi para perantau untuk tidak mudik dulu. ”Para pemuda desa berinisiatif membuat film tentang imbauan untuk tidak mudik dulu,” katanya.
Selain media film, bahasa panginyongan (dari kata inyong yang berarti ’saya’) belakangan marak dijumpai di ruang-ruang publik lewat media busana, khususnya desain kaus. Dwi Kurnia Alfi (25), pemilik rumah produksi ”Blaka Sutha” di Purbalingga, berupaya mengangkat budaya Banyumasan lewat kaus setelah terinspirasi oleh-oleh Joger di Bali.
Dia pun membuat desain kaus menggunakan ungkapan sehari-hari dalam bahasa panginyongan. ”Misalnya ini, ngengsreng. Artinya dolan atau main. Misalnya, yuh ngengsreng maring alun-alun, nongkrong,” tutur Alfi.
Produksi kaus dilakoni sejak 2013. Dalam sebulan, setidaknya ada empat desain yang digarap. Produksi rata-rata 100 kaus per bulan dengan harga berkisar Rp 80.000 sampai Rp 85.000 per lembar.
”Sekitar 50 persen desainnya pakai bahasa ngapak dan sisanya tema Purbalingga,” tuturnya. Biasanya, pembeli ramai saat Lebaran karena kaus karya Alfi dibeli untuk oleh-oleh mereka yang bekerja di perantauan.
Di Purwokerto, Lucia Astri (30), pemilik persewaan mainan anak-anak Dekbay juga menyiapkan suvenir berupa muk bagi pelanggannya dengan tulisan menggunakan bahasa Banyumasan. Demikian salah satu tulisannya: ”Bocah ora butuh dolanan larang, butuhe dolanan bareng rama biyunge.” (Anak-anak tidak butuh mainan mahal, butuhnya bermain bersama ayah-ibunya).
”Kami ingin bahasa panginyongan tetap eksis dan dipakai setiap hari,” ujar Lucia.
Gejala urbanisme
Budayawan Banyumas yang juga penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, pernah menyampaikan, gejala urbanisme atau kekotaan menjadi salah satu ancaman bahasa panginyongan sebagai bahasa ibu di wilayah Banyumas dan sekitarnya. Untuk itu, perlu upaya bersama agar bahasa tersebut tetap lestari.
”Dari segi budaya, orang-orang desa yang berasal dari tradisi pertanian atau agraris hijrah ke pemikiran urban. Gaya hidup, cara berpakaian, juga bahasa berkiblat ke kota,” kata Ahmad Tohari.
Tohari berpendapat, banyak bapak-ibu muda berbicara dalam bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa daerah kepada anaknya. ”Mereka, setelah meniru gaya urban itu, merasa telah berpindah ke derajat yang lebih tinggi. Ini sangat sulit diatasi. Maka, peminat bahasa ibu pun merosot,” ujarnya.
Selain urbanisme, dominasi bahasa Indonesia juga turut membuat penggunaan bahasa ibu kurang diminati. ”Tentu tidak buruk ketika bahasa nasional mendominasi seluruh warga Indonesia, tapi minat penggunaan bahasa daerah itu merosot. Bahasa ibu itu penting. Jangan sampai bahasa ibu punah,” kata Tohari.
Menurut Tohari, bahasa ibu adalah kekayaan peradaban dunia, bukan eksklusif milik suku tertentu. Bahasa Jawa memiliki aspek rasa yang kuat dibanding bahasa Indonesia. ”Misalnya ada frase yang tidak bisa dinalar, tapi bisa dipahami dengan aspek rasa. Ngono yo ngono ning aja ngono. Melalui jalur perasaan ini dapat dimengerti. Makna lanjutannya bisa, sugih ya sugih, ning aja kemaki. Ayu ya ayu, ning aja kemayu. Pinter ya pinter, ning aja keminter (Kaya boleh, tetapi jangan sombong. Cantik boleh, tapi jangan sok cantik. Pintar boleh, tapi jangan sok pintar),” paparnya.
Hal itu, kata Tohari, justru membuat penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Jawa memiliki kepekaan bahasa yang lebih. ”Penguasaan atas perbedaan rasa itu, jika digunakan dalam bahasa Indonesia, punya rasa bahasa yang tajam. Misalnya, ada kalimat ’ini gelasnya siapa?’. Nya di sini tidak berfungsi. Jadi bahasa ibu itu harus dijaga jangan sampai punah,” katanya.
Dalam upaya pelestarian bahasa panginyongan, Ahmad Tohari menerbitkan majalah bulanan berbahasa Banyumasan bernama Ancas sejak 6 April 2010. Oplahnya per bulan cukup tinggi, mencapai 3.000 eksemplar. Segmen pelanggannya adalah guru-guru serta sekolah-sekolah di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Kendati perlu perjuangan untuk mempertahankan majalah ini, menurut Tohari, pelestarian bahasa panginyongan mulai tampak dalam tim redaksi yang dibinanya.
”Selain wilayah eks Karesidenan Banyumas, majalah ini juga dikirim ke Padang dan Jakarta karena di sana ada komunitas-komunitas orang dari Banyumas,” tuturnya.
Tohari menambahkan, belakangan juga tampak tanda-tanda arus balik penggunaan bahasa panginyongan di media sosial, iklan-iklan, media massa, dan siaran radio. ”Itu menurut saya ada tanda-tanda sedikit arus balik. Mudah-mudahan bahasa panginyongan ini dapat bertahan dan syukur bisa berkembang,” katanya.
Egalitarian
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa Tingkat SMP Kabupaten Banyumas Sugito menyampaikan, bahasa panginyongan masuk dalam mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa dengan porsi dua jam pelajaran setiap pekan.
Tantangan yang dihadapi para guru adalah minimnya buku ajar bahasa panginyongan serta kurangnya perbendaharaan kosakata para pelajar. ”Misalnya, siswa kurang mengenal kosakata perabotan asli masyarakat tradisional karena perabotan rumah tangga sekarang sudah modern,” ujar Sugito.
Ia mencontohkan, dahulu, orang tua memasak nasi dan setelah matang ditaruh di ian (semacam tampah dari anyaman bambu berbentuk segi empat) lalu dikipasi dengan ilir (kipas dari anyaman bambu) agar nasi awet. ”Namun, hal itu kini tidak dilakukan karena alat masak sudah berganti rice cooker dan magic jar,” katanya.
Sugito juga mengatakan, dalam upaya pelestarian bahasa Banyumasan, pemerintah daerah dan MGMP Bahasa Jawa rutin menggelar sejumlah lomba, antara lain geguritan atau puisi dengan bahasa panginyongan, lomba macapat (tembang berbahasa Jawa), serta komedia tunggal menggunakan bahasa panginyongan dalam rangka hari jadi Banyumas.
Keterlibatan generasi muda dalam menggaungkan literasi bahasa panginyongan juga diakui pengajar budaya dan kearifan lokal Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Rawuh Edy Priyono. Rawuh, yang juga anggota dewan ahli di majalah Ancas, mengatakan, satu dekade ini, Ancas tidak hanya melulu dikonsumsi umum dan anak-anak sekolah, tetapi juga masuk ke perguruan tinggi. ”Mahasiswa dilibatkan, banyak hasil kajian ilmiah bisa didiseminasikan lewat Ancas,” kata Rawuh.
Gagasan Tohari berangkat dari idealisme supaya masyarakat kian berbudaya sehingga perlu rajin membaca, termasuk bahasa lokal. ”Ibu kandung budaya itu adalah bahasa. Karena dengan bahasa, orang bisa berkomunikasi, bisa mengerti,” kata Rawuh.
Dalam buku Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (2008), Budiono Herusatoto menyebutkan, selain karya-karya budaya, satu unsur budaya yang lekat di masyarakat Banyumas dan bertahan hingga kini adalah dialek bahasa ngapak-nya. Dialek ini adalah bahasa Jawa murni yang merupakan turunan langsung dari Jawa kuno.
Orang-orang Banyumas dan sekitarnya sejak dulu adalah para petani yang secara geografis terpinggirkan oleh perluasan pembangunan nagarigung di Surakarta dan Yogyakarta. Budiono mencatat, hal ini yang menyebabkan tumbuhnya karakter Jawa bercorak agraris-egaliter, termasuk dalam berbahasa.
Dalam pergaulan sehari-hari, tak ada sekat di antara mereka. Jauh dari feodalistik yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial.
Karakter egalitarian ini masih relevan dilestarikan nilai-nilainya di tengah masyarakat modern. Jika bukan masyarakat Banyumas yang merawat bahasa panginyongan, lalu siapa lagi? Sebab, seperti ungkapan anak gaul Banyumasan, yang kira-kira bermakna, kurang pas rasanya tak memakai bahasa ngapak: Ora ngapak ora kepenak....