Bahasa ”Walikan” Malang, dari Alat Perjuangan hingga Masuk Dunia Intelektual
Berawal dari sandi untuk mengelabui penjajah, bahasa ”walikan” di Malang terus berkembang menjadi bahasa pergaulan.
Warga Malang di Jawa Timur memiliki bahasa pergaulan yang khas dengan membalik susunan huruf pada suatu kata. Bahasa gaul yang lazim disebut sebagai boso walikan itu berkembang sejak era perjuangan kemerdekaan, dan hingga kini diusulkan menjadi warisan budaya tak benda dunia.
Sebuah spanduk berbunyi ”Tamales Oket/Selamat Datang–Uklam Tahes 111–Merajut Kenangan, Merajut Seduluran” tertambat di pintu gerbang SMAN 1 Malang yang berada di pusat kota Malang dalam beberapa hari terakhir.
Jika diartikan, spanduk berwarna putih dan bernada ceria itu berisi ucapan selamat datang kepada peserta uklam atau mlaku (jalan-bahasa Jawa) sehat, sebuah kegiatan jalan sehat dalam rangka reuni sekolah yang berada di sisi utara Alun-alun Tugu. Jalan sehat berlangsung pada 25 Februari 2024.
Kata-kata yang diucapkan terbalik atau biasa dikenal sebagai boso walikan atau osob kiwalan itu kerap ditemui di Malang Raya. Sebut saja kata rajajowas di Jalan Danau Kerinci Raya, Sawojajar, Kecamatan Kedungkandang. Kata rajajowas sendiri mengacu pada nama tempat, yakni Sawojajar (yang dibalik).
Di taman media Jalan Veteran, Kecamatan Lowokwaru, juga terpampang kata singkat ”Oyi Ker” atau kebalikan dari iyo Rek atau iya, Rek, gabungan antara kata iya dan panggilan khas Jawa Timuran rek. Nama tempat lainnya yang biasa dibalik, seperti Nenjap (Panjen/Kepanjen), Onosogrem (Mergosono), Ayabarus (Surabaya), hingga Arudam (Madura).
Tak hanya berwujud teks, kata-kata verbal juga kerap diucapkan secara terbalik. ”Piye, Sam, tahes? (Gimana, Mas. Sehat?),” pertanyaan seperti itu kerap diucapkan seseorang kepada teman akrabnya setelah beberapa hari tidak bertemu.
Tak hanya dua kata di atas, tetapi juga banyak lagi lainnya. Sebut saja kata kane (enak), nakam (makan), tamales (selamat), oskab (bakso), ngalup (pulang), hingga ngipok (ngopi), isilup (polisi), nayamul (lumayan), dan masih banyak lainnya.
”Saya sering berbicara walikan, minimal sehari sekali. Entah itu di warung kopi atau tempat kerja,” ujar Lutfi Ardiansyah (41), warga Kauman, Kecamatan Klojen, Selasa (27/2/2024).
Sebagai warga Malang tulen, Lutfi sering menggunakan kata walikan saat ngobrol bersama teman-teman kental. Dia menilai memakai bahasa walikan terasa lebih akrab dibanding bercakap-cakap memakai bahasa lainnya.
Adi Sumarno, penulis Kamus Bahasa Malangan, menyebut walikan merupakan bahasa santai, bahasa gaul, serta media komunikasi yang penuh keakraban. Bahasa ini memiliki pola membalik susunan huruf dalam suatu kata dengan pola tertentu.
Bahasa walikan merupakan salah satu dari dua jenis bahasa Malangan yang selama ini banyak beredar. Satu lagi adalah bahasa khas Malang (people dialect). Keduanya melebur menjadi satu, baik dalam percakapan lisan maupun tertulis.
Demikian pula cara membaliknya. Ada yang bersifat langsung, seperti rumah (hamur), tidur (rudit), tidak (kadit), dan pukul (lukup). Namun, menurut Adi, ada juga yang mempertahankan diftong (ng dan ny), seperti pulang (ngalup) dan kenyang (nganyek).
Ada juga yang mempergunakan kata populer, meski kebalikannya tidak persis, misalnya gede (hedeg). Ada juga serapan dari bahasa Indonesia, misalnya kamu (umak) dan kuliah (hailuk).
Terkadang, ada yang kebalikan katanya tidak persis susunannya, tetapi karena sudah telanjur umum sehingga dipakai masyarakat, seperti elawes (selawe atau 25).
Baca juga: Menambang Cuan dari Kampung dan Desa Wisata di Malang Raya
Akademisi sekaligus Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang, Nurenzia Yannuar, mengatakan, tak hanya diucapkan, bahasa walikan kini juga marak dipakai untuk penanda tempat. Bahasa walikan sendiri lebih banyak digunakan oleh orang Malang asli dan mereka yang punya hubungan pertemanan sejak lama.
”Kalau untuk komunikasi langsung (yang melibatkan orang dari luar daerah) berkurang karena banyak mahasiswa pendatang yang cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Ada pengaruh bahasa gaul juga di sosial media. Dalam konteks ini, penggunaan bahasa Jawa sendiri makin berkurang apalagi yang walikan,” ujarnya.
Nurenzia membuat disertasi Boso Walikan Malangan: Structure and Development of Javanese Reversed Language untuk menggapai gelar doktor filsafat di Universitas Leiden, Belanda, 2019. Dalam penelitiannya, Nurenzia mengulik segala aspek bahasa walikan, mulai dari sejarah, struktur bahasa, fonologi dan fonotaktik, hingga sosiolinguistik.
Dulu banyak geng di Malang, kampung ini-itu, mereka punya kode-kode. Ketika ada Arema, mereka mulai menyatu dan menganggap bahasa walikan sebagai solidaritas. Kalau sudah biasa pakai bahasa walikan berarti kita teman.
Keberadaan bahasa walikan sendiri ditengarai muncul pada masa perjuangan. Walikan menjadi semacam bahasa sandi ketika para pejuang berdiskusi soal strategi gerilya.
Jejak perjuangan kemerdekaan
Dalam buku Malang Tempo Doeloe (2006), sang penulis, Dukut Imam Widodo, menyebut walikan diciptakan oleh pejuang, khususnya Gerakan Rakyat Kota (GRK), guna mengelabuhi mata-mata Belanda sekitar tahun 1949 atau setelah Agresi Militer Belanda II. Untuk mengelabuhi mata-mata pribumi yang disusupkan oleh kompeni itu, seorang pejuang bernama Suyudi Raharno secara cerdik membuat bahasa baru guna menjaga kerahasiaan informasi dan menjamin identitas pejuang.
Setiap dekade, menurut Nurenzia, bahasa walikan mengalami perubahan fungsi. Pada 1950-1960-an, bahasa ini sering dipakai oleh mafia jalanan untuk mengelabuhi pihak berwajib. Sementara pada dekade 1970-an walikan mulai dipakai di kalangan anak muda dan siswa sekolah sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Pada 1980-an akhir, seiring berdirinya klub sepak bola Arema, bahasa walikan ini pun menjadi bentuk solidaritas. ”Dulu banyak geng di Malang, kampung ini-itu, mereka punya kode-kode. Ketika ada Arema mereka mulai menyatu dan menganggap bahasa walikan sebagai solidaritas. Kalau sudah biasa pakai bahasa walikan berarti kita teman,” ujarnya.
Pada tahun 2000-an, bahasa walikan mulai dianggap sebagai bahasa identitas masyarakat Malang. Keberadaannya juga dianggap punya nilai ekonomi. Banyak kafe muncul pakai nama walikan. Bahkan, produk kesehatan juga ada yang memakai istilah walikan.
Begitu pula di koran-koran lokal muncul kolom-kolom pendek memakai bahasa walikan. Begitu pun di radio dan televisi ada segmen yang mengetengahkan bahasa walikan.
Kini, dengan teknologi komunikasi yang makin berkembang, sesama orang Malang pun bisa saling berkomunikasi menggunakan bahasa ini meski mereka terpaut jarak yang jauh. Satu di Indonesia, satu di luar negeri sekalipun.
Cukup mudah mengidentifikasi jika yang berbicara itu orang Malang, yakni lihat saja di kolom komentar di media sosial ketika membahas suatu masalah. Kata-kata seperti sam (mas), oyi (iyo), dan lainnya akan muncul dan mudah dilihat.
”Di mana pun mereka berada, identitas sebagai orang Malang itu tetap ada. Arema (Arek Malang), kan, katanya, tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana. Ketika dia ada suatu tempat, dia ingat akan identitasnya,” ucap Nurenzia.
Boso walikan tengah diupayakan untuk menjadi warisan budaya tak benda oleh badan PBB, Unesco. Nurenzia merupakan penyusun draf sekaligus kajian ilmiah permohonan itu. Saat ini, prosesnya baru penyusunan berkas usulan oleh Dinas Pendidikan Kota Malang.
Pelaksana Tugas Direktur Unit Pelaksana Teknis Pusat Studi Bahasa dan Budaya Indonesia Universitas Negeri Malang, yang juga Guru Besar Sastra Indonesia pada kampus yang sama, Djoko Saryono, menyebut, ada bahasa khusus dalam komunitas masyarakat, seperti slang atau prokem.
Fenomena sosiolinguistik, khususnya fungsiolek, itu selalu ada dalam komunitas masyarakat, termasuk Malang. ”Malang memiliki bahasa walikan karena ada kosakata yang dibalik urutannya. Urutan huruf, vokal dan konsonannya di balik. Dalam proses pembalikan tentu mengalami perubahan-perubahan sosiolinguistik, perubahan kebahasaan dan dimensi sosial kebahasaan,” katanya.
Apakah bahasa walikan berkembang dan semakin banyak orang menggunakan? Djoko mengatakan, bahasa ini mengalami perkembangan yang dinamis. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain mobilitas fisik orang di Malang sangat tinggi. Hadirnya mahasiswa dari luar Malang yang menuntut ilmu di 50 kampus lebih membawa kebudayaan verbal masing-masing.
”Hal itu menentukan. Apalagi setelah di Kota Malang, mahasiswa-mahasiswa itu perlu adaptasi, identifikasi diri dengan ke-Malang-an (karakteristik kultural malang) sehingga bahasa ibu yang dibawanya menyerbuki bahasa walikan,” ucapnya.
Baca juga: Dari Jantung Kota Sampai Kaki Gunung Desa Wisata di Malang Raya Bergeliat
Selain mobilitas fisik, mobilitas nonfisik juga ikut memengaruhi. Hadirnya digitalisasi tentu saja menentukan perubahan. Hadirnya digitalisasi juga berkelindan dengan intelektualitas masyarakat yang semakin berkembang. Hal ini menjadi tantangan bagi keberadaan bahasa walikan itu sendiri.
”Saya kira sejak dulu bahasa khusus di komunitas itu fenomena lisan. Tetapi, Malang mengalami tantangan intelektual yang terwujud dalam dua hal, yakni bagaimana bahasa yang ada masuk ke dalam dunia literasi, dunia baca tulis,” katanya.
Djoko menyebut almarhum Rudi Satrio Lelono, budayawan Malang, pernah bereksperimen memasukkan bahasa walikan dalam rubrik di salah satu media lokal. Apa yang dilakukan Nurenzia, kata Djoko, juga menunjukkan jika bahasa walikan tidak sekadar ada di tataran lisan, tetapi juga telah masuk dunia baca tulis, literasi, hingga tantangan lain yang sifatnya lebih intelektual.
Bahasa walikan pun telah menjawab tantangan kultural yang semula muncul lantaran menjadi alat perjuangan untuk menyelamatkan harga diri dan melindungi komunitas telah menjadi sarana sosialisasi dan interaksi sosial. Mereka yang ingin mencemplungkan diri dalam situasi kultural orang Malang pasti akan mencoba bahasa walikan.
Pemerintah daerah berupaya menjadikan bahasa ini sebagai ikon pariwisata. Untuk mempermudah orang lain memelajarinya, Pemerintah Kota Malang telah membuat kamus pintar Osob Ngalaman seukuran saku tahun 2018 lalu. Nah, apakah Anda berminat untuk bicara bahasa walikan? Datanglah ke Malang…