Cerita Si Pemilik Wisma dan Peladang dengan Rumah Cat Kusam
Proyek IKN niscaya mengubah kehidupan warga lokal di sekitarnya. Mereka yang punya sedikit modal sosial, ekonomi, politik, dan pengetahuan menjadi kelompok paling rentan.
Jatmiko (50) mengajak kami naik ke lantai dua penginapan miliknya yang belum selesai dipugar. Ia memamerkan keramik hitam bermotif bercak warna-warni yang sudah tersusun di dinding dan lantai. Keramik ini harganya Rp 1 juta isi dua lempeng, katanya. Itu didatangkan dari luar Pulau Kalimantan.
Penginapan milik Jatmiko atau yang biasa disapa Kapon itu berada sekitar 10 kilometer dari Titik Nol Ibu Kota Nusantara atau IKN. Tepatnya, berada di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Itu adalah penginapan kedua milik Kapon dengan nama Wisma Kapon Jaya 2. Di lantai satu, Kapon punya delapan kamar untuk disewakan. Fasilitasnya lengkap, layaknya hotel: berpendingin ruangan, kamar mandi, dan kasur empuk.
Menjelang akhir tahun 2023, Kapon menambah enam kamar di lantai dua penginapan tersebut. Adapun penginapan pertama ia beri nama Wisma Kapon Jaya 1 yang menyediakan sembilan kamar, terletak di tepi jalan Negara menuju IKN.
Semula, Wisma Kapon Jaya 1 ia dirikan untuk menginap sanak keluarga saja. Namun, lantaran Kapon punya banyak relasi dan kenalan, rumah tersebut kerap disewa untuk mitra perusahaan hutan tanaman industri yang beroperasi di kampungnya.
Berkembangnya usaha penginapan itu lantaran Kapon bisa melihat dan memanfaatkan peluang dengan adanya pembangunan IKN yang mulai digencarkan pada 2022. Lantaran minim sekali tempat penginapan di Sepaku, banyak aparatur sipil negara dari berbagai kementerian yang menginap di wisma tersebut di tahap awal pembangunan IKN.
”Saya pernah mengantongi Rp 90 juta dari usaha katering dan sewa kamar saat itu,” kata pria keturunan transmigran asal Banjar Patroman, Jawa Barat, itu, Minggu (31/12/2023).
Terakhir, wisma pertamanya itu disewa Rp 350 juta setahun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk berbagai keperluan pembangunan IKN. Melihat banyak permintaan penginapan, Kapon terus memutar uangnya untuk mengembangkan bisnis.
”Sekarang mumpung masih bisa kita kebut (usaha), ya sekarang ini waktunya. Kalau nanti, kan, pasti ada saingan juga,” katanya.
Berkembangnya usaha Kapon itu lantaran ia termasuk orang yang punya modal sosial, politik, dan jaringan kuat. Ia pernah menjabat sebagai aparat desa pada 2005-2019. Jabatan terakhir Kapon adalah bendahara desa yang bergaji Rp 300.000.
Namun, lantaran punya jaringan luas sebagai perangkat desa, Kapon memanfaatkannya untuk menambah penghasilan. Ia kerap melayani pemesanan katering di Kecamatan Sepaku. Selain itu, ia juga kerap dipercaya warga untuk mengurus jual beli lahan, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), sampai izin usaha.
Jasa itu bertarif dan ia bisa menabung untuk membangun wisma pertama miliknya. Dengan kemampuan bisnis dan relasi kuat, Kapon lihai memanfaatkan celah ekonomi dengan adanya pembangunan IKN.
Ia pun lebih siap menerima perubahan. Lelaki gempal itu mengaku siap jika rumah atau tempat usahanya terkena dampak pembangunan IKN asal uang ganti ruginya sesuai. Ia mengaku bisa bermanuver untuk memulai bisnis baru, bahkan memulai hidup baru di luar IKN.
Ketenangan hidup Kapon sangat kontras dari apa yang dirasakan Sahbudin (54), warga Kelurahan Sepaku.
Tahun boleh saja berganti, tetapi harapannya sebagai orang miskin tak pernah berubah: hanya memiliki sepetak tanah dan rumah yang dihuni keluarganya secara turun-temurun.
”Kita enggak mau mengganggu adanya IKN. Kayak apa kita mau stop? Ndak boleh itu kita stop-stop. Kami penginnya lahan kami itu masih bisa kami pakai untuk kehidupan kita selanjutnya, walaupun itu di tengah kota,” katanya ketika ditemui di rumahnya.
Baca juga: Siasat Hidup Warga di Tengah Proyek IKN
Sahbudin keturunan Balik, etnis asli wilayah sekitar proyek IKN. Kini ia tinggal di sebuah rumah panggung sederhana dari kayu dengan cat biru kusam yang didirikan di atas lahan milik pamannya di tepi aliran Sungai Sepaku.
Bersama istrinya, Dalisah (45), ia punya delapan anak, tetapi dua sudah meninggal. Yang tersisa kini semuanya perempuan. Empat orang sudah menikah, termasuk si sulung yang berusia 27 tahun. Adapun dua anak yang termuda masing-masing masih berusia 10 dan 6 tahun.
Seiring laju pembangunan di IKN yang pesat dengan megahnya konstruksi gedung pemerintahan separuh jadi, hilir mudik truk pembawa material, serta aktivitas ribuan pekerja, Sahbudin memikirkan masa depan enam anaknya.
Tanpa tanah sebagai rumah dan kebun, ia tak mampu membayangkan nasib mereka satu-dua dasawarsa ke muka.
Masalahnya, Sahbudin mewarisi sakit hati dari kakek neneknya sejak tiga dekade lalu. Ia mengaku berhak atas tanah seluas 20 hektar yang ditanami buah-buahan serta beragam jenis kayu di wilayah yang kini menjadi lokasi pembangunan IKN. ”Sekitar 1983 kami mulai berkebun di situ,” katanya.
Selama itu, lahan bisa digarap bersama-sama dengan beberapa perusahaan kayu juga yang datang silih berganti. Keadaan berubah sejak 1993 ketika pemerintah memberi izin perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di kampung Sahbudin.
Kebun masyarakat yang tak bersertifikat dipangkas habis hingga tak dapat diketahui lagi lokasi kebun garapan warga.
”Jangankan itu (kebun), satu kuburan tua datuk nenek kami dulu ndak ada (lagi) sekarang, tergusur. Sudah berapa kali sudah cari berapa puluh kali, ndak ada,” kata Sahbudin, yang disambut dengan timpalan Dalisah, ”Sudah ditebang, ndak ada bukti sudah.”
Hanya berbekal surat tanah garapan tanpa sertifikat, perjuangan Sahbudin merebut kembali tanah itu tentu tak mudah. Ia pernah protes bersama warga lain terhadap perusahaan, tetapi malah kemudian diperhadapkan dengan pasukan kepolisian. ”Begitu caranya mereka dari dulu kalau perusahaan. Apalagi nanti IKN, negara yang punya,” ujarnya.
Akhirnya, kini keluarga Sahbudin hidup dengan apa yang ada. Mereka punya lahan 1 hektar yang ditanami beberapa batang sawit serta pisang.
Sahbudin pernah menanam 500 batang pisang, tetapi buahnya tak pernah bertahan di pohon sampai matang karena diserbu monyet. Ia menduga, monyet tersingkir dari habitatnya di lokasi HTI hingga harus bentrok dengan warga lokal.
Masalah kalah-menang itu terkait sumber daya. Orang-orang yang bisa bertahan di sini sebagian besar adalah yang secara historis punya akar sumber daya ekonomi dan jaringan sosial yang kuat.
Di tengah impitan itu, Sahbudin mendapatkan pekerjaan sebagai petugas keamanan di gerbang lokasi proyek Intake Sungai Sepaku, salah satu sumber air baku di IKN. Lokasinya tepat di sebelah rumah sehingga sangat mudah dijangkau, tetapi gajinya hanya Rp 80.000 per hari. ”Ini karena dekat rumah aja. Seandainya jauh, ndak mau,” ujarnya.
Hingga kini, Sahbudin belum tahu apa yang akan terjadi di Kelurahan Sepaku, kampungnya, jika IKN jadi. Semuanya masih belum jelas.
Seandainya harus tergusur, ia tak yakin ganti rugi, atau ganti untung, akan setimpal. Karena itu, ia berharap, di tengah pembangunan IKN, keluarganya bisa dibiarkan menetap di rumah dan tanahnya sehingga bisa menggarap kebun mereka. Sebab, hanya itulah kepunyaan mereka.
”Saya ndak mikir diri saya sendiri, tapi anak cucu saya. Kalau tanah kami diambil, di mana kami mau cari hidup, sedangkan kami sekolah ndak ada yang tinggi-tinggi,” ujar Sahbudin yang sekali lagi ditimpali Dalisah, ”Kami cuma mengharapkan berkebun, bertani.”
Tahun 2023 berganti 2024 menandakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur semakin dekat. Semakin cepat pula perubahan terjadi di lingkungan tempat tinggal warga.
Memang belum ada keputusan pemerintah kapan ibu kota resmi dipindahkan. Dalam Pasal 39 Ayat (1) UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, pemindahan ibu kota negara ke IKN bisa dilakukan setelah keluar keputusan presiden. Namun, keputusan itu belum dikeluarkan Presiden sampai akhir 2023.
Pada kesempatan Kompas CEO Forum Powered by PLN beberapa waktu lalu di IKN, Presiden mengatakan, pemerintah berencana menyelenggarakan upacara HUT RI tahun 2024 di IKN. Presiden belum menyebut secara rinci kapan pemindahan ibu kota secara resmi.
Saat dihubungi, Kepala Satgas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Danis H Sumadilaga pun belum bisa menyebut kapan gelombang pemindahan aparatur sipil negara (ASN) tahap awal ke IKN.
”Sedang dirumuskan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Otorita IKN, dan kementerian/lembaga terkait,” kata Danis saat dihubungi.
Kapan pun IKN dipindahkan, kisah Kapon dan Sahbudin itu menjadi gambaran, warga sekitar proyek ibu kota baru seperti menaiki sebuah perahu dengan navigasi masing-masing: Kapon dengan perahu besar dan peralatan lengkap, Sahbudin dengan perahu tanpa alat navigasi mumpuni.
Mau tak mau, proyek IKN, seinklusif apa pun rencananya di atas kertas, akan menyingkirkan sebagian warga setempat.
Hal ini dibenarkan Manggala Ismanto, dosen Program Studi Antropologi di Universitas Brawijaya Malang yang juga kandidat Phd di Departemen Antropologi Universitas Amsterdam. Sampai setahun ke depan, Manggala tinggal di Sepaku untuk meneliti bagaimana warga beradaptasi di tengah proyek IKN.
”Masalah kalah-menang itu terkait sumber daya. Orang-orang yang bisa bertahan di sini sebagian besar adalah yang secara historis punya akar sumber daya ekonomi dan jaringan sosial yang kuat,” kata Manggala, Minggu (31/12/2023) malam.
Ia mengambil contoh proyek pelebaran Sungai Sepaku. Banyak warga yang lahan serta rumahnya harus dicaplok proyek itu, tetapi mereka yang telah berhasil mengakumulasi kekayaan, layaknya Kapon dengan dua penginapan dan satu rumahnya, tidak akan khawatir jika sewaktu-waktu harus tergusur.
Lain halnya dengan yang hanya punya satu rumah dan satu lahan tanpa sumber pemasukan besar.
”Mereka harus mencari cara, bagaimana bisa bertahan. Persoalannya, sampai sekarang mereka tidak tahu jumlah kompensasi yang akan mereka dapat. Jadi, mereka tidak bisa membayangkan, kira-kira akan menuju ke mana setelah ini,” kata Manggala.
Kalaupun dapat kompensasi, Manggala menyebut, nilai tersebut belum tentu sebanding dengan harga lahan di sekitar IKN yang saat ini sudah menyentuh Rp 1 juta per meter persegi. Jika harus pindah jauh, warga akan kehilangan relasi sosial serta kepercayaan antartetangga yang selama bertahun-tahun telah terbentuk.
Belum tentu pula nilai kompensasi bisa dipakai membeli lahan untuk bertani sekalipun peluang di bidang agrikultur terbuka lebar. ”Sektor pertanian dan perkebunan pasti dibutuhkan. Itu terbukti karena sekarang banyak sekali katering yang butuh pasokan. Berapa pun harganya mereka mau bayar tanpa menawar, misalnya satu ikat kacang panjang Rp 10.000,” kata Manggala.
Dalam situasi ini, lanjutnya, pemerintah perlu mendengarkan suara warga. Ini sudah dilakukan Kementerian PUPR di tempat tinggal Sahbudin di Kelurahan Sepaku.
Proyek itu mengapling satu RT untuk pelebaran sungai. Penolakan warga untuk hengkang ditanggapi pemerintah dan pemegang proyek dengan mengubah desain alur sungai.
”Sempat digelar rapat. Otorita IKN datang, juga Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat. Mereka menegaskan tidak akan ada penggusuran. Mereka menyiasati luas lahan yang ada tanpa harus mengambil lahan warga,” kata Manggala.
Menyiapkan warga
Dalam sejumlah liputan lapangan Kompas, pemerintah sebenarnya telah berupaya agar warga siap menyambut peluang dengan adanya pembangunan IKN. Masyarakat Sepaku yang mayoritas berkebun kelapa sawit diharapkan bisa menyesuaikan diri dan berkembang sesuai konsep IKN.
Hal itu terlihat dengan adanya pelatihan bagi warga, seperti pelatihan barista, menjahit, desain, pengelolaan keuangan, dan banyak pelatihan lainnya. Warga juga diberi peluang memenuhi suplai kebutuhan makanan pekerja di IKN. Salah satunya melalui pelatihan hidroponik atau pertanian ramah lingkungan.
Baca juga: Bermalam di IKN yang Bikin “Nagih”
Kepala Otorita IKN Bambang Susantono mengatakan, itu merupakan upaya mewujudkan pembangunan IKN yang inklusif. Ia mengakui, butuh waktu dan tahap demi tahap untuk benar-benar mewujudkan konsep tersebut.
Khusus untuk masyarakat asli seperti masyarakat Balik, Bambang mengatakan, pemerintah berencana membuat Kelurahan Sepaku sebagai heritage area. Pihaknya sedang menggodok hal tersebut melalui peraturan.
”Yang kita bangun adalah kota masa depan untuk Indonesia. Bukan hanya ibu kota biasa, melainkan juga ibu kota yang menjadi rujukan untuk dunia. Untuk menuju ke sana tentu harus dilakukan secara konsisten, berkesinambungan, dan dilakukan tahap demi tahap,” kata Bambang.