Siasat Hidup Warga di Tengah Proyek IKN
Masyarakat lokal dan komunitas adat di sekitar Ibu Kota Nusantara menavigasi kehidupan masing-masing di tengah ketidakpastian. Mereka bersiasat untuk melanjutkan hidup di tengah proyek tersebut.
Seusai mencuci mobilnya, Sibukdin mengendarai kendaraan berkelir hitam itu menuju sebuah pelabuhan. Di bagian tengah dan belakang mobilnya terisi penuh oleh kardus mi instan, galon, hingga kotak berisi aneka kue.
Sambil mengemudi, lelaki 60 tahun itu bercerita banyak hal. Mobil yang ia gunakan itu, Sibukdin memulai cerita, dibeli dengan uang ganti rugi kebun miliknya. Beberapa hektar lahannya digunakan untuk proyek pendukung Ibu Kota Nusantara (IKN), yakni Intake Sepaku. Proyek itu untuk menyuplai air bersih ke ibu kota baru.
”Ganti rugi lahan dapat sekitar Rp 500 juta. Saya belikan mobil ini dan sisanya untuk modal usaha,” katanya siang itu, Selasa (5/11/2023).
Rumah Sibukdin berada di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Lokasinya berjarak 13 kilometer dari Titik Nol IKN.
Sibukdin memilih beli mobil dengan beberapa alasan. Pertama, ia merasa sangat butuh mobil untuk mobilitas keluarga. Tiga anaknya bekerja dan berkuliah di luar kampung yang butuh dikunjungi rutin. Lantaran tak ada transportasi publik di Sepaku, ia biasanya menyewa mobil untuk mengunjungi anaknya.
Tanpa mobil sendiri, ia kerepotan. Sekali berangkat, ia mesti mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta untuk sewa mobil, bensin, dan cuci mobil. Oleh karena itu, membeli mobil, menurut dia, menjadi pilihan tepat.
Baca juga: Saat Material Belum Datang, Itu Waktu Kami Berdendang
Selain itu, sebagai Ketua Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku, ia kerap diundang rapat, sosialisasi, ataupun menghadiri pertemuan mengenai IKN. Pertemuan itu kadang dilaksanakan di Balikpapan, Samarinda, atau di Penajam Paser Utara. Uang transportasi yang diberikan pengundang kerap habis untuk sewa mobil.
Kesibukan hadir dalam rapat-rapat ini baru ia alami setalah IKN ditetapkan di Kaltim. Saat rapat, ia mesti meninggalkan kesibukannya berkebun atau berdagang di warung. Kondisi tersebut bikin Sibukdin sulit untuk membagi waktu antara pekerjaan dan undangan pertemuan.
”Kalau tidak datang ke undangan, nanti takutnya ada hal penting tentang masyarakat adat tidak tersampaikan,” katanya.
Komunitas adat Balik disebut sebagai warga asli yang mendiami lokasi IKN. Lantaran belum pernah ada identifikasi masyarakat adat di Penajam Paser Utara, suku Balik belum diakui dalam peraturan daerah oleh pemerintah setempat.
Oleh karena itu, Sibukdin dan ratusan warga Balik lainnya kini hidup seperti masyarakat lainnya. Mereka tak punya hutan adat yang diakui pemerintah. Mereka hanya mengelola lahan dengan kepemilikan pribadi.
Untuk itu, Sibukdin mesti bersiasat agar hidupnya bisa terus berjalan. Ia menggunakan mobilnya untuk berjualan di salah satu pelabuhan bongkar muat material IKN. Pelabuhan itu terletak di antara hutan mangrove yang jauh dari permukiman. Sibukdin melihat ada peluang di sana.
Ia memanfaatkan kap belakang mobil untuk menjajakan dagangannya. Konsumennya sopir truk, operator ekskavator, atau para anak buah kapal yang membawa material batu dari Sulawesi. Sebagai satu-satunya pedagang di sana, Sibukdin memenuhi hampir seluruh kebutuhan mereka, seperti rokok, makan siang, camilan, hingga minuman dingin.
Baca juga: Menyiapkan IKN sebagai ”Smart City” hingga ke AS
Sampai pengadilan
Cara lain menghadapi proyek pembangunan IKN ditempuh Thomas Tasib, karib disapa Thomy. Lelaki 47 tahun itu merupakan warga asal Nusa Tenggara Timur. Ia pendatang sejak tahun 1990-an di Sepaku. Lahan dan rumahnya masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan IKN.
Luas kebun Thomy yang terdampak 2.600 meter persegi. Adapun lahan rumah yang terdampak 9.700 meter persegi. Ia bersikukuh bahwa ada yang salah dengan penilaian ganti rugi lahan dan rumahnya. Untuk itu, ia menempuh jalur hukum ke pengadilan.
”Tadinya tanah saya dinilai Rp 400.000 per meter persegi. Setelah proses di pengadilan jadi Rp 600.000 per meter persegi. Itu pun masih jauh dari harga pasaran sini,” kata Thomy.
Harga pasaran lahan di Sepaku melonjak tinggi setelah adanya IKN. Saat ini, rata-rata lahan di tepi jalan ditawarkan Rp 1 juta per meter persegi. Melihat itu, tentu Thomy tak bisa membeli lahan baru yang luasnya sama dengan lahannya terdahulu.
Warga dilanda ketidakpastian mengenai masa depan. Akhirnya, warga menggunakan cara beradaptasi masing-masing untuk bertahan di tengah perubahan yang cepat dengan adanya pembangunan IKN.
Ia belum punya bayangan akan melakukan apa setelah rumah dan lahannya digunakan untuk pembangunan IKN. Sebab, ia ingin menetap di Sepaku yang sudah puluhan tahun ia tinggali. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan bertani sawit dan bekerja sebagai keamanan di perusahaan sawit.
Uang ganti rugi, kata Thomy, bukan nilai yang sepadan bagi pendatang sepertinya. Sebab, jika dia harus pindah, Thomy mesti mengulang hidup baru di luar Sepaku. Itu berat untuknya dan tak dihitung dalam ganti rugi lahan.
Untuk itu, ia hanya menunggu persoalan hukum selesai. Setelah nilai ganti rugi lahan beres, saat ini ia masih menunggu proses di pengadilan mengenai ganti rugi rumah miliknya.
”Saya sekarang urus sisa kebun sawit saja. Bayangan saya itu keluarga aman, damai, dan tempat tinggal kami berkembang. Bayangan kami ingin selamanya di sini (Sepaku),” katanya.
Kisah Thomy dan Sibukdin adalah bagaimana dua contoh warga di sekitar proyek IKN menjalani hidupnya. Hal lebih kompleks diamati Manggala Ismanto, kandidat Phd di Departemen Antropologi Universitas Amsterdam, Belanda. Dalam setahun ke depan, Manggala tinggal di Sepaku dan meneliti bagaimana warga beradaptasi di tengah proyek IKN.
Dari beberapa bulan pengamatannya, warga dilanda ketidakpastian mengenai masa depan. Akhirnya, warga menggunakan cara beradaptasi masing-masing untuk bertahan di tengah perubahan yang cepat dengan adanya pembangunan IKN. Istilah antropologi yang Manggala gunakan adalah sosial navigasi.
Ada warga yang belum tahu tempat tinggalnya akan terdampak atau tidak dalam pembangunan IKN. Beberapa yang lain lebih siap karena punya modal sosial, ekonomi, dan politik kuat. Kelompok terakhir ini cenderung bisa mengambil peluang dengan adanya IKN.
Manggala menyebut, pemerintah sudah melakukan banyak upaya untuk pembangunan IKN yang inklusif. ”Tetapi juga perlu diperhatikan (pemerintah) bagaimana warga bisa mendapat ’peluang’ yang sama,” katanya.
Kepala Otorita IKN Bambang Susantono mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah agar warga bisa beradaptasi di tengah perubahan akibat pembangunan IKN. Beberapa di antaranya memberi pelatihan yang diperlukan warga, seperti menjahit, pelatihan barista, pelatihan desain, hingga pendampingan pengolahan sampah.
Warga juga diberi peluang memenuhi suplai kebutuhan makanan pekerja di IKN. Salah satunya melalui pelatihan hidroponik atau pertanian ramah lingkungan.
Selain itu, pihaknya menyadari bahwa ganti rugi lahan bikin warga memegang uang dalam jumlah banyak. Pihaknya memberi pelatihan ke warga mengenai pengelolaan keuangan.
”Harapannya, warga tidak ada yang terlilit dengan pinjaman online atau pinjol hanya untuk hal yang sifatnya konsumtif karena mereka tahu bakal mendapat uang ganti untung lahan, misalnya,” kata Bambang saat wawancara khusus beberapa waktu lalu.
Mengenai masyarakat adat, Bambang menyebut pihaknya sedang menyiapkan sebuah peraturan kepala otorita. Itu akan berisi mengenai pengembangan kearifan lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal di IKN. Itu diharapkan bisa memajukan masyarakat adat dan kearifan lokal yang mereka miliki.
Mendengar kisah kehidupan di Sepaku saat ini, warga pada akhirnya beradaptasi untuk melanjutkan hidup masing-masing di tengah proyek besar IKN. Pemerintah mesti hadir agar warga tidak gamang dalam menavigasikan hidup. Selain itu, agar tak ada yang tersingkir di tengah proyek yang disebut inklusif ini.
(Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund yang bekerja sama dengan Pulitzer Center)
Baca juga: Dokumen Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim IKN Diluncurkan di COP28 Dubai