Transisi Energi Perlu Diimbangi Tumbuhnya Industri Pendukung
Transisi energi harus diimbangi dengan pertumbuhan industri pendukung energi baru dan terbarukan dalam negeri.
MALANG, KOMPAS — Transisi energi harus diimbangi dengan pertumbuhan industri pendukung energi baru dan terbarukan atau EBT di dalam negeri. Jika hal itu tidak tercapai, impor produk terkait EBT akan terus terjadi sehingga Indonesia tidak akan mandiri dan tetap bergantung pada luar negeri.
Demikian benang merah Seminar Transisi Energi kerja sama Universitas Brawijaya dan Engineering Research and Innovation Centre (ERIC) Universitas Gadjah Mada yang digelar di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Selasa (28/11/2023). Sebanyak 300-an peserta dan pembicara dari berbagai elemen, baik dosen, mahasiswa, praktisi kelistrikan, maupun masyarakat umum hadir dalam seminar ini.
Dalam kegiatan tersebut, hadir dua pembicara utama, yakni Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto dengan materi ”Kebijakan Transisi Energi” serta Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Wiluyo Kusdwiharto, dengan materi ”Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan”.
Selain itu, hadir pula beberapa pembicara lain dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya (UB), Dewan Energi Nasional, Masyarakat Kelistrikan Indonesia, Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia, dan lainnya.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua Penyelenggara Seminar Nasional sekaligus Dekan Fakultas Teknik UB Prof Ir Hadi Suyono serta pengantar dari Direktur Engineering Research and Innovation Centre (ERIC) Universitas Gadjah Mada Prof Ir Tumiran M Eng PhD.
Baca juga: Dukungan Publik Krusial dalam Pencapaian Visi Bali Net Zero Emissions 2045
Dalam pengantar sebelum seminar, Direktur ERIC Universitas Gadjah Mada Tumiran mengatakan bahwa Indonesia menargetkan porsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan tahun 2050 sebesar 31 persen.
”Proses sudah berjalan. Hanya yang belum tercapai adalah target capaian. Target capaian itu harus sejalan dengan pertumbuhan konsumsi listrik. Pertumbuhan konsumsi listrik kita stagnan. Tapi, permintaan listrik industri belum tumbuh secara signifikan seperti yang diskenariokan seperti saat kita susun strategi energi nasional. Jadi, targetnya belum tercapai,” kata Tumiran.
Jangan transisi energi, tapi industri EBT-nya masih impor. Kalau impor, devisa tersedot, harga tarif listrik naik tapi untuk mengompensasi negara lain.
Menurut Tumiran, naiknya permintaan listrik adalah indikator pertumbuhan ekonomi. Konsumsi listrik Indonesia saat ini 1.173 kWh per kapita. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia berada di urutan nomor 6 setelah negara-negara ASEAN lain, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia (5.000-an kWh per kapita), atau Vietnam (1.800 kWh per kapita).
”Transisi energi jangan sampai jadi beban keuangan negara atau APBN. Itu uang rakyat. Bagaimana transisi energi bisa berjalan mulus, harga listrik tetap dalam koridor keekonomian, tetapi juga harus memacu industri EBT muncul di dalam negeri. Jangan transisi energi, tapi industri EBT-nya masih impor. Kalau impor, devisa tersedot, harga tarif listrik naik, tapi untuk mengompensasi negara lain. Artinya, yang kita hidupi industri negara lain, lapangan kerja negara lain. Sementara kita belum. Jangan sampai seperti itu,” kata Tumiran.
Baca juga: Pembangunan Transmisi dan ”Pensiun Dini” PLTU Cirebon-1 Prioritas
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa mendorong agar industri pendukung EBT bisa berkembang baik. ”Bukan hanya PLN. Namun, industri-industri pendukungnya harus dibuat sehat. Industri komponen, industri peralatan. Supaya yang bekerja nanti anak-anak Indonesia. Lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi yang bekerja,” katanya.
Ia mencontohkan China di mana transisi energi menuju energi hijau berjalan, industri pendukung sehat, dan sumber daya manusia dalam negerinya berperan besar. ”China mengembangkan transisi energi, tapi industri dan ekonomi tumbuh baik. Riset juga tumbuh. Di Indonesia industri belum tumbuh. Kita, misalnya, mencari industri inverter saja tidak ada. Dulu ada, tapi karena tidak pernah diserap oleh pasar dalam negeri, akhirnya tutup sehingga untuk mencari inverter saja harus impor,” katanya.
Itu sebabnya, Tumiran mendorong pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mendorong industri terkait EBT bisa berkembang.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto yang membawakan materi Kebijakan Transisi Energi secara daring mengatakan, target net zero emission Indonesia adalah tahun 2060. Saat ini, kondisi listrik Indonesia 77,6 gigawatt, sebanyak 67,2 persennya berasal dari PLTU batubara.
”Kondisi sumber daya fosil untuk pembangkit listrik di Indonesia, cadangan minyak bumi kita semakin menipis dengan umur cadangan kurang dari sembilan tahun. Di satu sisi, potensi EBT kita 3.687 gigawatt (GW), sedangkan yang telah dimanfaatkan hanya sekitar 12 gigawatt saja, katanya.
Baca juga: Tekan Konsumsi Batubara, Kawasan Pembangkit Listrik Paiton Manfaatkan Tenaga Surya
Potensi EBT itu, menurut Sugeng, berasal dari sinar matahari (3.295 GW), air (95 GW), bioenergi (57 GW), geotermal (24 GW), angin (155 GW), dan laut (60 GW).
”Di sini, peran Komisi VII adalah sedang melakukan finalisasi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) guna menciptakan iklim investasi EBET yang baik dan mendukung percepatan transisi energi. Telah dilakukan pembahasan antara Tim Panja RUU EBET Komisi VII DPR dan tim perwakilan pemerintah. Sebagian besar daftar inventarisasi masalah (DIM) telah selesai dibahas dan disetujui. Kemudian terdapat beberapa substansi yang akan dilanjutkan pembahasannya di tingkat rapat kerja dengan menteri perwakilan pemerintah serta diskusi dengan berbagai pihak terkait konsep skema power wheeling (mengizinkan pihak swasta menyediakan listrik) dalam ketenagalistrikan di Indonesia,” katanya.
Terkait skema power wheeling, menurut Sugeng, saat ini Komisi VII sifatnya sedang menanti sikap pemerintah atas hal tersebut.
Baca juga: Batubara: Sejarah, Proses Pembentukan, Manfaat, dan Cadangan Dunia
Nuklir
Adapun terkait kebijakan menggunakan nuklir sebagai pembangkit tenaga baru, Sugeng mengatakan, semula hal itu menjadi pilihan terakhir. Namun, saat ini, nuklir sudah bergeser menjadi opsi utama. ”Segala infrastruktur harus disiapkan. BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), yang membawahi BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), sudah siap,” katanya.
Menurut Sugeng, saat ini sejumlah negara, seperti Amerika Serita dan Korea, tengah melakukan riset mengenai potensi uranium dan torium di Indonesia. Menurut mereka, Indonesia masuk dalam lima cadangan uranium terbesar di dunia. Lokasinya di beberapa tempat, seperti Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Adapun Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru PT PLN Wiluyo Kusdwiharto mengatakan, tahun 2038 Indonesia akan kehabisan potensi energy based-load (beban dasar energi) PLTA dan PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel). ”Salah satu alternatif penggantinya nuklir. Terbukti di Eropa, China, dan Jepang. Namun, untuk membangun infrastrukturnya, perlu 10-15 tahun. Kalau memang iya kita akan ke sana, saat ini harus sudah diinisiasi. Kalau tidak, bisa jadi kita alami krisis energi di tahun 2038 dan seterusnya,” ujarnya.
Saat ini, menurut dia, PLN sedang mengarah pada penjajakan penggunaan energi nuklir tersebut. ”Tahun 2038 energi kita habis, lalu pakai apa, salah satunya nuklir. Kita sudah ada arah ke sana, kita mau masukin hal itu ke rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL),” kata Wiluyo.
Menurut dia, transisi energi tidak bisa dilakukan dengan cepat. Harus secara bertahap dan bersama-sama. ”Kalau kita langsung matikan PLTU dan diganti EBT (matahari dan angin yang sifatnya intermitten/tidak selalu ada), maka akan berpotensi terjadi pemadaman,” katanya.
Proses dibutuhkan karena transisi energi harus bisa memperhitungkan tiga hal, yaitu keamanan energi, keberlangsungan lingkungan, dan nilai keekonomian.
Baca juga: PLTN untuk Wilayah Terpencil Memungkinkan