Energi nuklir diyakini sejumlah pihak bisa diandalkan dalam peralihan dari energi fosil ke energi bersih. Apalagi, capaian energi terbarukan di Indonesia saat ini masih jauh dari target.
Oleh
Budiawan Sidik dari Rusia
·2 menit baca
KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK
Pembangkit tenaga nuklir terapung atau floating nuclear power plant (FNPP) ”Akademik Lomonosov” tertambat di dermaga bersuhu ekstrem hingga minus 12 derajat celsius di Pevek, Chaunskaya Bay, Laut Siberian Timur, Chukotka, Rusia, Selasa (16/5/2023). FNPP ini merupakan fasilitas pembangkit energi nuklir pertama di dunia yang dapat bergerak dan menjadi pembangkit nuklir yang berlokasi di posisi paling utara dunia. Memiliki dua reaktor KLT-40S berkapasitas masing-masing 35 megawatt untuk mengaliri listrik bagi kawasan remote area ini.
PEVEK, KOMPAS — BUMN nuklir milik Pemerintah Federasi Rusia, Rosatom, menyatakan mampu membangun instalasi nuklir di wilayah terpencil ataupun daerah yang mengalami defisit suplai tenaga listrik di Indonesia. Rosatom mampu menyiapkan infrastruktur instalasi nuklir tipe terapung ataupun jenis reaktor modular skala kecil untuk wilayah tersebut.
Saat ini Rosatom tengah mengembangkan teknologi floating nuclear power plant (FNPP) atau pembangkit nuklir terapung yang kian mutakhir dengan kapasitas produksi energi listrik yang semakin besar. Di samping itu, Rosatom juga terus mengembangkan teknologi small modular reactor (SMR) yang dapat ditempatkan di lokasi terpencil yang tidak cocok untuk instalasi pembangkit listrik skala besar.
”Saat ini Rosatom sedang mengembangkan empat FNPP mutakhir dengan kemampuan produksi energi listrik masing-masing hingga 300 megawatt (MW) yang dapat menyuplai elektrifikasi di daerah pertambangan emas,” ujar Direktur Pelaksana FNPP ”Akademik Lomonosov” Andrey Zaslavskiy saat sesi wawancara dengan sejumlah media massa dari beberapa negara, termasuk Kompas, di Pevek, Rusia, Selasa (16/5/2023).
KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK
Sejumlah wartawan dari beberapa negara tengah melakukan wawancara dengan pihak pengelola pembangkit tenaga nuklir terapung (FNPP) ”Akademik Lomonosov” milik Rosatom di Pevek, Chaunskaya Bay, Laut Siberian Timur, Chukotka, Rusia, Selasa (16/5/2023). Hadir sejumlah penanggung jawab FNPP, antara lain Tarasova Natalia, Wakil Direktur SDM FNPP; Andrey Zaslavskiy, Direktur Pelaksana FNPP; dan Victor Cherniy, Kepala Teknik/Insinyur Pelaksana FNPP.
Penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia sempat mengemuka untuk mengatasi defisit tenaga listrik dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satunya adalah rencana kerja sama Pemerintah Indonesia mengembangkan reaktor PLTN dengan perusahaan asal Amerika Serikat, NuScale Power OVS LLC, dan perusahaan Jepang, JGC Corporation.
Menurut Djarot Sulistio Wisnubroto, peneliti senior tenaga atom Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia masih sangat terbuka untuk pengembangan reaktor daya nuklir, misalnya di Kalimantan Barat, untuk pembangkit tenaga listrik. ”Sejak Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) terintegrasi ke dalam BRIN, kegiatan studi kelayakan yang pernah dilakukan di provinsi itu terhenti,” kata Djarot pada Rabu (17/5/2023).
Namun, lanjut Djarot, beberapa bulan terakhir NuScale ingin melakukan kegiatan di Kalbar yang kemungkinan akan membangun tipe SMR di sana. ”Bahkan, AS memberikan insentif bagi pemerintah untuk melakukan semacam studi kelayakan,” kata Djarot.
Langkah kerja sama dengan AS itu menjadi salah satu wujud konkret rencana pengembangan reaktor daya nuklir untuk listrik di Indonesia. Pasalnya, tindak lanjut rencana PLTN sejauh ini belum menunjukkan hasil berarti. Djarot juga menyampaikan beberapa kali BRIN melakukan diskusi dengan Rosatom tentang program energi nuklir.
Terkait dengan FNPP, kata Djarot, beberapa waktu lalu PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang kini beralih nama menjadi PT PLN Nusantara Power, tertarik dengan model tersebut. ”Saya sempat mengajak Rosatom dan PT PJB diskusi, tetapi tidak berlanjut karena adanya perang Rusia-Ukraina,” katanya.
Saat ini pembahasan nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia belum tuntas. Pemanfaatan nuklir tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan yang pembahasannya masih berlangsung antara pemerintah dan Komisi VII DPR.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, dalam beberapa kali rapat kerja bersama Komisi VII DPR, nuklir, hidrogen, dan amonia tergolong dalam energi baru. Mengenai nuklir, pemerintah dan DPR sama-sama setuju untuk memasukkan dalam RUU tersebut (Kompas, 29/3/2023).
”Kami melihat, apakah perlu persetujuan DPR atau tidak (terkait pembangunan PLTN). Hasilnya, harus dengan persetujuan DPR,” katanya.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti, menyebutkan, DPR mendorong agar dalam pengoperasian PLTN tetap dibutuhkan persetujuan DPR. ”Misalnya terkait kapasitas reaktornya, apakah skala besar atau kecil? Itu yang nanti akan dijabarkan ulang pemerintah. Dalam situasi seperti itu butuh persetujuan DPR dan tetap perlu keterlibatan publik untuk beropini,” ujarnya.
Energi nuklir diyakini sejumlah pihak bisa diandalkan dalam peralihan dari energi fosil ke energi bersih. Di sisi lain, capaian energi terbarukan saat ini masih jauh dari target. Pada 2022, berdasarkan data Kementerian ESDM, energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen atau di bawah target 15,7 persen. (Litbang Kompas)