Menguji Kemampuan EBT dan Nuklir dalam Mereduksi Emisi Karbon
PLTN signifikan secara statistik mereduksi emisi karbon di negara kawasan BRICS dan Meksiko. Formulasi bauran energi di negara tersebut dapat menjadi acuan negara lain dalam menekan emisi karbon.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Barakah, reaktor nuklir pertama di dunia Arab, berlokasi di wilayah Gharbiya, kawasan pantai sebelah barat Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, dalam foto yang diperoleh dari kantor media PLTN Barakah, 13 Februari 2020.
”Energi terbarukan dan nuklir menjadi alternatif solusi energi yang dapat menjamin keberlangsungan ekonomi dunia tanpa harus mendegradasi kualitas lingkungan. Sejauh mana kemampuan EBT dan nuklir dalam mereduksi emisi karbon?
Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan pada 2050 konsumsi energi dunia berwujud elektrifikasi akan melonjak hingga 68 persen. Sebanyak 96 persen sumber pembangkitnya akan bertumpu dari energi ramah lingkungan. Lima terbesar di antaranya pembangkit listrik tenaga bayu dengan produksi energi sebesar 24 persen, tenaga surya 23 persen, tenaga nuklir 16 persen, pembangkit bioenergi 10 persen, dan tenaga air 8 persen.
Berdasarkan klasifikasi IEA, kelima sumber pembangkit listrik terbesar masa depan itu semuanya bersifat energi terbarukan, kecuali nuklir. Jadi, dapat dikatakan penopang suplai energi dunia nantinya merupakan kolaborasi antara EBT (renewable energy) dan nuklir. Kedua jenis sumber energi ini diproyeksikan sebagai pendorong keberlangsungan ekonomi dunia sekaligus mereduksi emisi karbon global.
Output emisi karbon yang sangat rendah membuat kedua jenis sumber energi tersebut akan terus dioptimalkan pengembangannya di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Nuclear Association, emisi karbon yang dihasilkan dalam memproduksi energi listrik per kilowatt jam (kWh) dari sumber EBT rata-rata di bawah 50 gram CO2.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga panas bumi, dan tenaga air rata-rata menghasilkan polutan emisi karbon 24-48 gram CO2/kWh. Terkecil adalah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang hanya menghasilkan emisi karbon 11-12 gram CO2/kWh.
Besaran polutan dari EBT itu terpaut jauh dengan emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit fosil yang rata-rata di atas 450 gram CO2/kWh. Terbesar adalah PLTU batu bara yang menghasilkan emisi karbon hingga lebih dari 800 gram CO2/kWh.
Perbedaan output emisi karbon itu membuat seluruh negara di dunia diminta oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk segera beralih dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. Seluruh negara yang berkomitmet dalam Kesepakatan Paris diminta untuk menyusun tahapan Nationally Determined Contribution (NDC) menuju karbon netral 2050.
Namun, untuk mengakselerasi hal tersebut tidaklah mudah karena ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan oleh setiap negara. Salah satunya terkait biaya yang sangat besar sehingga harus selektif dalam memilih sumber energi dari EBT yang tepat dalam mencapai tahapan NDC.
Karakteristik negara
Bagi sejumlah negara maju, untuk meraih target NDC itu relatif tidak terlalu sulit. Kondisi perekonomian yang kuat membuat berbagai skenario pemanfaatan energi hijau akan terus dioptimalkan, termasuk mengembangkan pembangkit EBT dan PLTN berteknologi tinggi berbiaya mahal.
Oleh sebab itu, negara-negara maju pemilik sejumlah reaktor EBT dan PLTN itu sebagian besar tren status emisi karbonnya dalam kondisi negatif. Artinya, terjadi reduksi emisi karbon dalam beberapa dekade terakhir karena sudah memanfaatkan pembangkit EBT dan PLTN secara masif.
Baca juga: EBT dan Nuklir, Solusi Reduksi Emisi Karbon Masa Depan

Dari 19 negara berpenghasilan tinggi pemilik berbagai reaktor ramah lingkungan itu, hanya tiga negara yang status tren emisi karbonnya dalam posisi positif atau belum terjadi reduksi. Tiga negara ini adalah Kanada, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab. Selebihnya, dalam status tren yang negatif.
Negara maju kelompok G7 pun semuanya dalam status tren emisi karbon yang negatif, kecuali Kanada. Keberhasilan sebagian besar negara-negara maju yang terlebih dahulu mengolaborasikan pembangkit EBT dan nuklir ini kemudian ditiru oleh negara-negara dengan tingkatan ekonomi lebih rendah.
Sejumlah negara yang masih berupaya mendorong kemajuan perekonomiannya lewat sektor industri itu memiliki beban tanggung jawab reduksi emisi karbon yang besar. Sebab, industrialisasi yang sedang masif di negara-negara emerging market membuat emisi karbon yang dihasilkan sangatlah tinggi. Negara yang berkembang pesat dalam mata rantai perekonomian global itu membutuhkan pasokan energi (fosil) yang besar untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan dunia. Akibatnya, menghasilkan polutan yang kian mengotori bumi.
Sebut saja India dan Rusia yang setiap tahun menyumbang emisi karbon masing-masing di atas 1 miliar ton CO2. Bahkan, China berkontribusi hingga 6 miliar ton CO2 per tahun dan menjadi yang terbesar di seluruh dunia. Oleh sebab itu, kolaborasi penggunaan pembangkit EBT dan nuklir menjadi solusi yang harus ditingkatkan demi mendorong kemajuan zaman tanpa harus mendegradasi lingkungan.
Namun, setiap negara dengan tingkatan ekonomi yang relatif belum maju itu cenderung akan menimbang ulang kolaborasi pengembangan reaktor EBT dan nuklir. Selain terkendala faktor teknis dan pembiayaan, kedua jenis pembangkit ini akan terus dikomparasi mana yang lebih diprioritaskan. Pembangkit EBT atau PLTN yang akan didahulukan.
Secara biaya, PLTN relatif sangat mahal bila dibandingkan dengan pembangkit EBT lainnya. Wajar bila akhirnya dari sekitar 240 negara di dunia, baru 34 negara yang sudah mengembangkan reaktor PLTN. Dua di antaranya masih dalam tahap pembangunan sekarang, yakni di Turki dan Bangladesh.
Terlepas dari nilai investasi yang besar itu, keandalan reaktor PLTN yang ada saat ini patut untuk diuji keefektifannya dalam mereduksi emisi karbon. Tujuannya, meyakinkan para pemangku kebijakan untuk lebih memperioritaskan pembangkitan EBT atau nuklir atau bahkan dua-duanya secara bersamaan.
Studi kasus
Pengujian pengaruh sejumlah sumber energi terhadap emisi karbon dapat dilihat di sejumlah negara emerging market yang memiliki reaktor PLTN. Dengan meneliti negara pemilik reaktor ini, dapat juga terlihat perbandingan tingkat signifikansi pembangkit EBT dalam mereduksi emisi karbon di negara bersangkutan. Negara yang dipilih dalam riset ini adalah Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, dan Meksiko dengan rentang data tahun 2000-2019.
Keenam negara itu merepresentasikan negara emerging market yang diproyeksikan menjadi negara maju beberapa tahun ke depan. Sebagian dari negara tersebut memiliki profil mirip Indonesia yang berpenduduk banyak dan memiliki potensi EBT yang juga besar.
Sebagian dari keenam negara itu dapat menjadi tolok ukur Indonesia dalam membentuk pola penyediaan energi yang mampu menopang kemajuan ekonomi yang tinggi. Apalagi, pada tahun 2045 Indonesia ditargetkan menjadi salah satu negara maju di dunia bersama dengan China dan India. Jadi, pemodelan ekonometrika energi di negara yang diteliti itu dapat menjadi gambaran mengenai alternatif pilihan sumber energi yang relatif tepat bagi Indonesia ke depan.
Baca juga: Menggalang Kesadaran Bersama Menuju Transisi Energi Global
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F06%2F0243b4b0-eb75-4861-b948-e259f236bea7_jpg.jpg)
Penampang reaktor inti nuklir model VVER atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah water-water power reactor (WWER). Reaktor berdaya listrik 1.200 megawatt ini dipamerkan dalam forum ATOMEXPO XII 2022 yang digelar pada 21-22 November 2022 di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia.
Hasil pengujian regresi data panel menujukkan bahwa PLTN berpengaruh signifikan dalam mereduksi emisi karbon di negara tersebut. Setiap kWh listrik yang diproduksi PLTN mampu mereduksi emisi karbon sekitar 91 gram CO2.
Namun, kemampuan reduksi ini belum diikuti oleh pembangkit EBT karena tidak menghasilkan korelasi yang signifikan secara statistik. Hal ini mengindikasikan produksi EBT di negara tersebut belum maksimal mengurangi emisi karbon. Salah satu alasannya, kuantitas produksi energi EBT yang relatif masih minim membuat reduksi emisi dari EBT tidak mampu mengalahkan besarnya kontribusi emisi karbon dari energi fosil.
Besarnya emisi karbon dari energi fosil itu terlihat dari uji statistik yang menghasilkan korelasi signifikan bagi lingkungan. Bila dihitung dengan pendekatan elektrifikasi, setiap kWh listrik dari pembangkit fosil (batubara, gas alam, dan minyak bumi) menghasilkan efek emisi karbon sekitar 297 gram CO2.
Temuan tersebut membuat negara yang diteliti akan cenderung mengalami peningkatan emisi karbon apabila tidak dilakukan upaya penambahan kapasitas produksi energi yang ramah lingkungan. Untuk sementara ini, hanya PLTN yang secara umum berpengaruh signifikan dalam mereduksi emisi karbon di negara tersebut.
Oleh sebab itu, para pemangku kebijakan harus berusaha sebaik mungkin dalam mengatur formulasi bauran energi di masing-masing negara itu. Pemerintah harus menyediakan sumber pembangkit energi hijau yang memiliki efek buangan emisi karbon terkecil.
Dari keenam negara tersebut, hanya Rusia, China, dan Meksiko yang diperkirakan memiliki kemampuan menekan emisi karbon yang relatif rendah. Bila dihitung dengan satuan energi listrik, rata-rata di ketiga negara itu, efek emisi karbon dari konsumsi energi finalnya berkisar kurang dari 400 gram CO2 per kWh. Jauh lebih rendah dari Brasil, India, dan Afrika Selatan yang rata-rata efek konsumsi energi finalnya lebih dari 550 gram CO2/kWh.
Formulasi bauran energi di Rusia, China, dan Meksiko dapat sebagai acuan bagi negara emerging market lainnya agar dapat terus menekan buangan emisi karbon. Ketiga negara ini konsumsi energi final dalam bentuk listrik rata-rata sudah lebih dari 20 persen.
Energi listrik yang dihasilkan umumnya bersumber dari pembangkit yang minim emisi karbon. Untuk di Rusia sebagian besar dipasok oleh gas alam, PLTN, dan PLTA, sedangkan di China pembangkit listrik berbasis nuklir, air, dan EBT terus ditingkatkan guna mengurangi dominasi PLTU batubara. Untuk di Meksiko, pembangkit listriknya sebagian besar didominasi oleh gas alam, EBT, dan nuklir.
Ketiga negara tersebut memiliki konstelasi pembangkit yang beragam, tetapi selalu menyertakan nuklir dalam bauran energinya. Beranjak dari signifikannya PLTN dalam mereduksi emisi karbon, maka tak heran sejumlah negara emerging market yang diteliti itu kini tengah membangun reaktor PLTN baru. China membuat program pembangunan 16 reaktor, India 8 reaktor, Rusia 4 reaktor, dan Brasil 1 reaktor dengan total kapasitas keseluruhannya mencapai 27 gigawatt.
Baca juga: Kolaborasi EBT dan Nuklir Menuju Emisi Nol Dunia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F05%2Ff23c7387-b2d5-4bff-ab56-1839dde63105_jpg.jpg)
Sejumlah narasumber memaparkan pandangannya dalam Plenari Session “Big Opportunities fo SMRs” dalam forum ATOMEXPO XII 2022 pada Selasa (22/11/2022) yang digelar di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia.
Signifikannya PLTN terhadap reduksi emisi karbon itu membuat sejumlah industri nuklir berupaya mengenalkan teknologi atom secara masif. Salah satunya adalah Rosatom, BUMN nuklir milik Rusia ini berupaya menempatkan nuklir sebagai salah satu alternatif sumber energi masa depan. Dengan mengadakan forum ATOMEXPO XII 2022 di Sochi, Rusia, jelang akhir November 2022, Rosatom berusaha mengenalkan teknologi nuklirnya kepada dunia.
Kiril Kamarov, Deputi I Direktur Jenderal Pengembangan Perusahaan dan Bisnis Internasional Rosatom, mengatakan bahwa institusinya membuka peluang kerja sama seluas-luasnya dengan negara manapun di dunia untuk mengembangkan teknologi nuklir. Khusus untuk reaktor daya, selain memiliki teknologi yang maju dalam membangun nuclear power plant (NPP) berkapasitas besar, Rosatom juga memiliki penawaran untuk mengembangkan NPP skala kecil, small modullar reactor (SMR) kurang dari 300 megawatt. Jadi, reaktor nuklir dapat dikembangkan di berbagai area dan keperluan guna mendukung kemajuan ekonomi dan sekaligus menjaga kelestarian alam.
Kemampuan PLTN mereduksi emisi karbon dan terbukanya peluang kerja sama dari pengembang patut menjadi pertimbangan bagi semua negara yang ingin membangun reaktor PLTN di wilayahnya. Namun, hal ini harus dipertimbangkan secara bijaksana oleh para pemangku kepentingan. Sebab, pengembangan proyek PLTN itu membutuhkan berbagai persyaratan dan dukungan dari berbagai pihak. (LITBANG KOMPAS)