EBT dan Nuklir, Solusi Reduksi Emisi Karbon Masa Depan
Suplai energi masa depan dunia ditopang oleh “renewable energy” (EBT) dan nuklir (PLTN). Selain mendorong perekonomian global, kedua sumber energi ini juga efektif mereduksi emisi karbon.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK
Pembukaan forum ATOMEXPO XII 2022 yang di gelar pada 21-22 November 2022 di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di Kota Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia. Acara yang diinisiasi oleh Rosatom, BUMN industri nuklir milik pemerintah Rusia ini mengusung tema“Nuclear Spring: creating a sustainable future”. Forum tersebut berupaya menyatukan para pakar energi internasional, para ahli, pertemuan bisnis, serta diskusi-diskusi terkait pengembangan teknologi atom.
Masifnya kemajuan ekonomi dunia saat ini berimbas signifikan pada peningkatan emisi karbon yang berisiko tinggi pada ancaman krisis iklim. Energi hijau menjadi variabel penting yang perlu diakselerasi penyediaannya guna menjamin keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Berdasarkan laporan ”Net Zero by 2050 A Roadmap for the Global Energy Sector” dari Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan bahwa energi fosil merupakan penyebab utama emisi karbon global saat ini. Pada 2020, dari total emisi karbon dunia sebanyak 33,90 juta ton CO2, sekitar 93 persen berasal dari proses pembakaran energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Oleh sebab itu, diversifikasi energi ramah lingkungan yang minim emisi karbon menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera diimplementasikan di seluruh dunia.
Dalam peta jalan IEA menuju net zero emission 2050 ada sejumlah alternatif diversifikasi energi yang diproyeksikan dapat menjamin keberlangsungan masa depan. Energi fosil ditekan terus mengecil, sedangkan sumber energi baru terbarukan (EBT) didorong untuk terus meningkat.
Pada 2020, suplai energi secara total di seluruh dunia sekitar 79 persen masih berasal dari energi fosil seperti dari batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Sisanya, disuplai dari sumber EBT sekitar 12 persen, nuklir 5 persen, dan biomassa tradisional sekitar 4 persen.
Pada 2030, proporsi suplai energi fosil direncanakan akan menyurut menjadi 61 persen, sedangkan suplai dari energi hijau akan terus meningkat. EBT akan bertambah menjadi 30 persen dan nuklir meningkat hingga 8 persen.
Pada 2050, saat target emisi rendah karbon tercapai diperkirakan suplai energi fosil hanya tersisa sekitar 23 persen. Selebihnya, ditopang oleh masifnya produksi energi ramah lingkungan. EBT akan berkontribusi sekitar 67 persen dan nuklir sekitar 11 persen. Jenis EBT yang diproyeksikan akan mendominasi suplai energi hijau di masa depan adalah tenaga surya, tenaga angin, nuklir, dan bioenergi.
Dalam menuju net zero emission 2050, masyarakat dunia akan didorong mengkonsumsi energi dalam bentuk listrik atau elektrifikasi. Sumber pembangkitan energinya pun dimaksimalkan bersumber dari energi ramah lingkungan.
Pada 2020, konsumsi masyarakat dunia dalam bentuk listrik masih sekitar 39 persen. Mayoritas konsumsi energi masih berupa produk olahan fosil dari batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Sebagian besar listrik yang dikonsumsi masyarakat pada tahun 2020 sekitar 71 persen diproduksi oleh pembangkit fosil, terutama dari PLTU batu bara.
Diproyeksikan pada 2050, konsumsi energi berupa elektrifikasi akan melonjak hingga sekitar 68 persen. Sumber pembangkit listriknya pun mayoritas sekitar 96 persen sudah berasal dari energi ramah lingkungan. Pembangkit EBT menyuplai sekitar 77 persen, hidrogen 3 persen, dan nuklir 16 persen. Pembangkit listrik dari fosil sudah sangat minim, yakni hanya berkisar 3 persen. Itu pun sudah harus disertai teknologi carbon capture and storage (CCS) untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan.
Pada 2050, energi listrik dunia diproyeksikan disuplai dari sumber pembangkit yang hampir keseluruhannya merupakan energi hijau. Lima terbesar di antaranya adalah pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB) dengan produksi energi sebesar 24 persen, tenaga surya (PLTS) 23 persen, tenaga nuklir (PLTN) 16 persen, pembangkit bioenergi 10 persen, dan air (PLTA) 8 persen.
Dalam klasifikasi IEA, kelima sumber pembangkit energi listrik terbesar masa depan itu semuanya masuk dalam kategori renewable energy, kecuali nuklir. Jadi, dapat dikatakan bahwa penopang suplai energi masa depan dunia merupakan bentuk kolaborasi antara renewable energy (EBT) dengan nuklir. Kedua sumber energi ini diproyeksikan sebagai pendorong keberlangsungan ekonomi dunia sekaligus mereduksi emisi karbon global.
Atomexpo dan nuklir
EBT dan nuklir dapat secara bersama-sama menjadi alternatif solusi energi yang dapat menjamin keberlangsungan ekonomi dunia tanpa harus mendegradasi kualitas lingkungan. Semangat menjaga keberlangsungan pembangunan itu juga menjadi tautan penting dalam forum ATOMEXPO XII 2022 yang diinisiasi oleh Rosatom menjelang akhir November 2022 di Kota Sochi, Rusia.
Dalam forum diskusi ilmiah dan pameran teknologi bertema ”Nuclear Spring: creating a sustainable future” tersebut, Rosatom berupaya menempatkan nuklir sebagai salah satu alternatif sumber energi masa depan dunia.
Saat pembukaan forum itu, Direktur Umum Rosatom, Alexey Laikhachev menyampaikan tentang visi pengembangan atom di masa depan terkait penggunaan di bidang energi dan juga kemanusiaan. Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Mikhail Chudakov yang mengatakan bahwa nuklir menjadi salah satu pembangkit energi bersih yang perlu diprioritaskan untuk terus dikembangkan setiap saat.
Penampang reaktor inti nuklir model MBIR (multipurpose fast research reactor) karya Rosatom yang berfungsi untuk mendukung pengembangan teknologi inovatif abad ke-21. Alat peraga ini dipamerkan dalam forum ATOMEXPO XII 2022 yang di gelar pada 21-22 November 2022 di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di Kota Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia.
Pendapat tersebut kian menegaskan bahwa nuklir menjadi bagian penting bagi masa depan dunia. Nuklir (PLTN) berperan dalam mendorong kemajuan perekonomian dan sekaligus turut serta mereduksi emisi karbon secara global. Posisi nuklir setara dengan sumber energi EBT dan keduanya berkolaborasi saling menguatkan menghadapi perkembangan zaman.
Pentingnya kolaborasi EBT dan nuklir tersebut terlihat dari proyeksi IEA yang menunjukkan bahwa kesejahteraan penduduk dunia pada masa depan semakin membaik yang disertai dengan kian rendahnya emisi karbon yang dihasilkan. Selain itu, tercipta efisiensi lebih tinggi sehingga dibutuhkan energi yang lebih kecil demi mendorong kemajuan ekonomi.
Pada 2050, diperkirakan produk domestik bruto (GDP) dunia mencapai 316 triliun dollar AS atau lebih dari dua kali GDP tahun 2020. Pendapatan per kapita penduduk dunia diperkirakan naik menjadi 32,6 ribu dollar AS per tahun atau hampir dua kali lipatnya pendapatan per kapita tahun 2020. Kenaikan perekonomian ini disertai dengan efisiensi energi yang kian baik.
Pada tahun 2050, untuk menghasilkan GDP senilai 1.000 dollar AS hanya membutuhkan total suplai energi (TES) sekitar 1.700 giga joule (GJ). Padahal, pada tahun 2020, untuk menghasilkan GDP serupa memerlukan suplai energi hingga lebih dari 2,5 kali lipatnya.
Suplai energi yang kian efisien itu juga diikuti dengan konsumsi energi masyarakat yang juga kian mengecil. Pada 2050, untuk mendorong kemajuan ekonomi senilai 1.000 dollar AS dibutuhkan total final konsumsi energi (TFC) hanya sekitar 1.000 GJ. Angka ini sangat efisien karena menghemat hampir tiga kali lipatnya dari konsumsi tahun 2020.
Dengan konsumsi energi yang kian hemat itu maka emisi karbon yang dihasilkan juga kian kecil. Apalagi, dengan semakin banyaknya penggunaan energi ramah lingkungan maka kemajuan ekonomi juga dapat disertai dengan upaya reduksi emisi karbon. Ekonomi tetap tumbuh, tetapi efek buruk terhadap lingkungan dapat terus ditekan.
Berdasarkan proyeksi IEA, reduksi emisi karbon di seluruh dunia secara rata-rata mulai terjadi pada 2040. Intensitas CO2 yang dihasilkan pembangkit listrik mulai menunjukkan tanda negatif. Pada 2040, setiap produksi listrik setara 1 kilowatt hour (kWh), menghasilkan intensitas reduksi emisi karbon setara 1 gram CO2.
Pada 2050, intensitas reduksinya kian besar menjadi sekitar 5 gram per 1 kWh produksi listrik. Intensitas ini tentu saja bermakna baik bagi lingkungan karena kondisinya berbeda jauh dengan tiga dekade sebelumnya. Pada 2020, untuk memproduksi 1 kWh listrik menghasilkan emisi karbon secara rata-rata global mencapai 438 gram.
Reduksi emisi karbon yang terjadi mulai 2040 tersebut mengindikasikan sejumlah rencana pemanfaatan energi hijau mulai menujukkan hasil positif. Sumber energi ramah lingkungan secara perlahan-lahan mampu menekan keluaran emisi yang dihasilkan energi fosil. Semakin banyak energi hijau yang dioperasikan maka efek reduksi emisi karbon juga semakin besar.
Proyeksi yang dilakukan IEA tersebut menggunakan dasar perkiraan transformasi energi dari sumber fosil menuju sumber energi yang mayoritas berbasis EBT dan nuklir. Secara global, EBT dan nuklir akan selalu berkolaborasi untuk menuju karbon netral 2050.
Semakin banyak EBT dan nuklir yang dibangun, rencana reduksi emisi karbon dapat tercapai secara akseleratif. Jadi, sudah sepantasnya apabila semua negara menyandingkan EBT dan nuklir sebagai satu kesatuan solusi reduksi emisi yang tak terpisahkan.
Kendala PLTN
Meskipun demikian, untuk merealisasikan proyeksi tersebut tidaklah mudah. Pembangkit EBT dan nuklir memiliki karakteristik yang berbeda. EBT cenderung mudah diterima masyarakat, sedangkan PLTN sering kali mendapat penolakan. EBT relatif aman dibangun sewaktu-waktu, sedangkan nuklir perlu regulasi yang ketat demi kemananan dan juga waktu pembangunan relatif lama.
Tingginya daya mampu yang dihasilkan PLTN hingga lebih dari 70 persen atau tertinggi di antara pembangkit energi lainnya tetap tak membuat PLTN menjadi prioritas yang akan dikembangkan oleh semua negara. Selain karena membutuhkan SDM yang terampil, pembangunan PLTN juga membutuhkan dana yang sangat besar.
Untuk wilayah India dan China, investasi yang dibutuhkan dalam pengembangan reaktor PLTN mencapai lebih dari 2.500 dollar AS per kWh. Untuk kawasan Eropa dan Amerika biayanya lebih mahal lagi hingga di atas 5.000 dollar AS/kWh. Nilai investasi ini jauh lebih tinggi dari biaya pengembangan pembangkit lainnya dari sumber EBT.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan PLTN sangat memerlukan kerja sama dari negara lainnya terutama bagi negara-negara yang belum memiliki pengalaman memiliki reaktor PLTN. Selain menjalin kerja sama dengan negara yang menguasai teknologi, ada hal lain yang perlu dikondisikan di dalam negeri sebelum rencana PLTN itu berjalan.
Di antaranya terkait dengan kebijakan pemerintah, regulasi, penyiapan SDM yang terampil, lokasi reaktor yang aman, hingga sosialisasi kepada masyarakat agar proyek itu diterima oleh publik. Dengan memiliki segala kesiapan ini, rencana untuk mengembangkan reaktor PLTN di suatu negara akan berjalan relatif lancar. (LITBANG KOMPAS)