Laut Tercemar dan Sawah Tidak Produktif
Dampak batubara di Aceh Barat meluas. Pencemaran di pantai berdampak buruk bagi nelayan kecil dan hasil pertanian anjlok akibat sumber irigasi yang tercemar.
Pemerintah nyatakan komitmen bertahap mengurangi penggunaan batubara untuk pemenuhan kebutuhan listrik. Namun, di Aceh Barat, batubara terus mengotori pantai dan mengancam pertanian.
Salma (60) bersama puluhan warga mengumpulkan bongkahan batubara di Pantai Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Minggu (15/10/2023). Warga menyebut bongkahan-bongkahan itu tumpahan dari kapal tongkang milik perusahaan.
Untuk membersihkan pantai dari tebaran limbah itu, warga menjaring batubara hingga dasar pantai, lalu mengumpulkannya ke dalam karung. Biasanya pada malam hari akan ada yang datang untuk mengambil batubara itu.
Sekitar 1,5 kilometer dari Pantai Peunaga Rayeuk terdapat dermaga jetty muat batubara milik PT Mifa Bersaudara. Jetty itu dibangun menjorok ke laut. Sekitar 500 meter ke depan lagi terdapat jetty milik PLTU 1-2. Namun, jetty milik PLTU memiliki water break atau pemecah gelombang.
Baca juga: Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Sementara di laut lepas berjarak sekitar 5 mil, kapal tongkang hilir mudik mengangkut batubara. Sesekali terlihat kapal nelayan melintas di antara kapal tongkang.
Ceceran batubara ke laut telah berdampak buruk bagi nelayan kecil. Beberapa kali batubara tersangkut pada jaring ikan. Tangkapan menurun dan jarak melaut kian jauh.
Muslim (55), nelayan Desa Ujong Drien, Kecamatan Meureubo, memperlihat bongkahan batubara yang masuk dalam jaring miliknya. Dia rugi karena jaringnya robek.
”Ini batubara yang masuk ke jaring saya. Bongkahan besar tidak saya bawa pulang,” kata Muslim saat ditemui di tempat pelelangan ikan Meureubo.
Muslim mengeluarkan ember dari lambung kapal. Isinya bongkahan batubara yang terangkut saat ia menjaring ikan. Agar jaringnya tetap aman, tidak jarang ia terpaksa melaut lebih jauh. Biaya untuk bahan bakar bengkak karena jarak tempuh bisa mencapai hingga 10 mil dari biasanya hanya 5 mil.
Menurut dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Sofyatuddin Karina, batubara berpotensi cemari pantai. Senyawa kimia pada batubara menjadi ancaman bagi biota laut.
Baca juga: Peta Jalan Belum Jelas, Indonesia Masih ”Mendadak Hijau”
Tahun 2016, Karina menganalisis logam timbal (Pb), mangan (Mn), tembaga (Cu), dan cadmium (Cd) di perairan Aceh barat, tepatnya di Pelabuhan Jetty, Suak Indrapuri. Analisis logam berat yang dilakukan di laboratorium meliputi timbal (Pb), mangan (Mn), tembaga (Cu), dan cadmium (Cd).
Hasil analisis laboratorium logam Pb sebesar 112,76 mg per kg dan logam Cu sebesar 288,7 mg per kg. Sementara logam Mn sebesar 1216,7 per kg. Angka itu telah melewati ambang batas yang ditetapkan oleh Australian and New Zealand Environment and Conservation Council.
Adapun batasan yang ditetapkan oleh Australian and New Zealand Environment and Conservation Council adalah Pb 50 mg per kg, 5 mg per kg, dan Cu 65 mg per kg. Dalam riset tersebut tidak ditemukan kandungan Cd.
Sebelum membangun jetty sendiri, pelabuhan ini digunakan oleh perusahaan tambang untuk memuat batubara ke kapal tongkang.
Petugas riset memeriksa sedimen ke laboratorium. Sampel sedimen dianalisis menggunakan atomic absorption spectrophotometer di Balai Riset dan Standardisasi Industri.
Baca juga: Hilirisasi Batubara Memperkuat Ketahanan Energi Nasional
Hasilnya, logam Pb, logam Cu, dan logam Mn telah melewati ambang batas baku yang ditetapkan oleh Australian and New Zealand Environment and Conservation Council. ”Sampelnya lebih tepat adalah sedimen atau biota. Kalau air laut tidak konkret karena bisa berganti dibawa arus,” ujar Karina.
Pencemaran logam berat dapat menurunkan reproduksi dan keragaman biota laut.
Karina menjelaskan, timbal dan mangan merupakan kandungan logam yang terdapat pada batubara. ”Kami curiga ini adalah hasil pencemaran dari batubara,” katanya.
Penelitian serupa pernah dilakukan di Pantai Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, tahun 2018. Penelitian dilakukan seusai sebuah tongkang yang mengangkut 7.000 ton batubara terbalik. Hasil riset Karina, sedimen di sekitar kapal tenggelam itu mengandung logam berat Mn sebanyak 98 ppm di atas ambang batas.
”Secara teori, pencemaran logam berat dapat menurunkan reproduksi dan keragaman biota laut,” ujar Karina.
Baca juga: Sektor Batubara di Jambi Bebani Rakyat
Namun, Dinas Lingkungan Hidup Aceh Barat juga menguji baku mutu di Pantai Peunaga Rayeuk tempat batubara tercecer. Anehnya, sampel yang diperiksa bukan sedimen, melainkan air laut. Hasil uji di laboratorium Mutu Internasional, Bogor, menyebutkan, kondisi air laut di Mereubo masih di bawah baku mutu.
”Kondisi air laut di Meureubo masih aman. Warga dan nelayan tidak perlu khawatir dengan isu pencemaran,” ujar Bukhari.
Bukhari mengatakan, pihak perusahaan, baik PLTU 1-2 maupun PT Mifa Bersaudara, tidak bersedia mengakui sebagai pemilik batubara yang tercecer di laut. Hasil uji laboratorium, pecahan batubara yang tercecer itu kandungan kalorinya berbeda dengan kepunyaan PLTU ataupun PT Mifa Bersaudara.
”Ceceran batubara yang ada sekarang punya tahun-tahun sebelumnya. Saat musim angin tertentu terdampar lagi ke pantai,” kata Bukhari.
Karena itu pula, pemerintah tidak menjatuhkan sanksi bagi kedua perusahaan tersebut. Mereka hanya diminta bertanggung jawab dengan cara membersihkan batubara yang tercecer di pantai.
Dalam pantauan Kompas di lokasi, tidak tampak dari petugas perusahaan membersihkan bongkahan batubara di pantai. Namun, warga lokal mengumpulkan ceceran batubara di sana dan menjualnya Rp 20.000 per karung. Bagi warga, batubara tersebut menjadi sumber penghasilan baru.
Bukhari menilai, tak hanya kualitas air laut yang masih baik, kualitas udara di Aceh Barat juga baik. Perusahaan, dinilainya, patuh mengukur kualitas udara secara berkala.
Ditemui terpisah, Manajer Bagian Coal & Ash Handling PLTU 1-2 Nagan Raya Azie Anhar menuturkan, operasional perusahaan mematuhi regulasi sehingga tidak mencemari lingkungan.
Terkait batubara yang tercecer ke laut, Azie mengatakan, itu bukan punya mereka. Dia menjelaskan, titik pemindahan batubara dari kapal ke stockpile atau penimbunan dilakukan dengan standar sehingga kecil kemungkinan tumpah ke laut.
”Dermaga jetty kami ada water break atau pemecah gelombang sehingga jika terjadi tumpahan batubara saat proses bongkar batubara tidak terbawa ke pantai. Tidak mungkin batubara bisa jalan ke luar (water break),” ujar Azie.
Meski demikian, batubara milik PLTU sebanyak 1.500 metrik ton pernah tumpah ke laut Nagan Raya. Pada Juli 2020, kapal tongkang memasok batubara untuk PLTU terbalik. Batubara 1.500 metrik ton tumpah ke laut. Hingga kini, bangkai kapal tongkang itu masih berada di pantai. Perintah untuk membersihkan juga tidak dilakukan.
Azie berdalih, jika batubara tumpah dalam proses angkut, tanggung jawab semestinya berada pada vendor atau perusahaan pemasok.
Adapun dalam sebulan, PLTU 1-2 Nagan Raya membutuhkan batubara sekitar 50.000 ton hingga 90.000 ton. PLTU itu menghasilkan 2 x 90 megawatt untuk penuhi kebutuhan listrik di Aceh.
Demi menekan penggunaan batubara dan emisi, PLTU 1-2 mulai melakukan co-firing atau mencampur batubara dengan bahan bahan biomassa, seperti cangkang sawit, saudas, dan sekam padi. Masa operasi perusahaan hingga 15 tahun ke depan. Sebesar 24 persen kebutuhan listrik Aceh dihasilkan oleh PLTU.
Begitu pula Advocate dan GM External PT Mifa Bersaudara Finza Yugistira Das, dalam surat kepada Kompas menyebut perusahaan juga menerapkan prinsip penambangan yang baik. Ia menyebut bahwa belakangan ini dipengaruhi ada banyak faktor, termasuk cuaca, menyebabkan kejadian tercecernya pecahan batubara yang terdampar di sekitar Pantai Aceh Barat. Perseroan turut prihatin atas kejadian tersebut.
Langkah-langkah antisipasi serta penanggulangan, lanjutnya, dilakukan berupa pembersihan. Hal tersebut sebagai bentuk kesadaran sebagai salah satu bagian dari pelaku usaha dan bagian dari masyarakat Aceh Barat.
Seluruh tindakan antisipasi dan penanggulangan itu melibatkan pihak-pihak terkait dan telah dilaporkan kepada Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Aceh pada 3 Oktober dan juga kepada Penjabat Gubernur Aceh pada 10 Oktober lalu.
Dampak pertanian
Sementara itu, di Desa Buloh, Kecamatan Meureubo, Shalihin (63) mengaku sawahnya mengalami kegagalan panen karena pengaruh limbah dan debu batubara. Dia bercerita, jika dulu bisa memanen 4,5 ton di atas sawah seluas 1 hektar, kini hasil yang diperolehnya hanya 80 kilogram.
Karena merasa sawah tidak lagi memberikan harapan, Shalihin menggantinya dengan tanaman kelapa sawit. Menurut Shalihin, sawahnya gagal panen karena debu dan limpasan limbah batubara yang masuk ke sungai. Jarak sawahnya dengan lokasi tambang PT Mifa Bersaudara sekitar 2 kilometer.
Ia pernah memasang kaca ukuran besar di tengah sawah. Dalam tiga hari debu hitam seberat 1,4 kilogram menempel di kaca itu. ”Saya kasih lihat ke pihak PT Mifa, tetapi tidak ada tindak lanjut,” kata Shalihin.
Baca juga: Simalakama Batubara
Setidaknya terdapat 17 hektar sawah di desa itu yang kini tidak digarap lagi. Shalihin mengatakan, mulai tahun 2019 sebagian petani enggan menggarap sawah karena hasil yang turun drastis.
Pengakuan warga yang lain, saat air sungai meluap ke sawah, padi ikut mati. Warga menduga air sungai itu bercampur dengan air limbah batubara.
Soal itu, Kepala DLH Aceh Barat Bukhari menyatakan perlu penelitian lebih lanjut.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin menuturkan, dampak buruk batubara terhadap kesehatan warga dan lingkungan sudah terlihat di Aceh.
Menurut Ahmad Shalihin, polutan yang dihasilkan oleh tambang batubara merusak ekosistem, baik di hutan maupun di perairan. Polusi yang dihasilkan dari PLTU juga berkontribusi pada pemanasan global. ”Keselamatan manusia dan mata pencarian juga terancam,” kata Ahmad Shalihin.
Baca juga: Dilema Industrialisasi Tambang di Era Transisi Energi
Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah untuk serius melakukan transisi energi dari batubara ke energi terbarukan. Menurut dia, apabila energi kotor masih menjadi sandaran, kondisi warga di sekitar lingkungan dan dunia akan semakin suram.
”Tulisan kedua dari hasil liputan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangkaian fellowship ’Pentingnya Coal Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia’”.