Peta Jalan Belum Jelas, Indonesia Masih ”Mendadak Hijau”
Pengembangan ekonomi hijau seharusnya tidak dilihat sebagai beban kewajiban, tetapi peluang bisnis. Untuk menciptakan peluang itu di pasar, dukungan peta jalan kebijakan yang jelas dan komprehensif dibutuhkan.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan ekonomi hijau memerlukan peta jalan (roadmap) yang jelas dan pemahaman yang sama di segala tingkatan agar Indonesia tidak sekadar ”mendadak hijau”. Saat ini transisi menuju ekonomi hijau masih sebatas kewajiban yang dijalankan asal cepat di berbagai sektor tanpa diiringi dukungan kebijakan yang tepat.
Akibat perencanaan yang belum terarah itu, peluang di pasar tidak tercipta. Upaya menarik investor untuk mendanai proyek-proyek ekonomi hijau masih sulit karena minimnya permintaan (demand) di pasar. Indonesia pun terus-menerus berkutat dengan kendala pembiayaan dan nilai keekonomian.
”Kita masih serba mendadak hijau, belum tahu yang mana yang sektor prioritas, yang penting di mana-mana harus hijau karena lagi ada desakan untuk menekan emisi. Akhirnya, transisi ke ekonomi hijau masih dilihat sebagai beban kewajiban, bukan peluang bisnis,” kata ekonom senior dan pendiri Center of Reform on Economics Indonesia, Hendri Saparini, dalam acara CEO Insight Kompas100 CEO Forum Powered by PLN di Jakarta, Senin (23/10/2023).
Hendri meyakini, jika ekonomi hijau dilihat sebagai peluang bisnis dan disertai kebijakan pendukung yang tepat seperti insentif dan subsidi, pasar akan mengikuti. Isu pembiayaan dan nilai keekonomian yang sekarang masih menjadi masalah utama dalam mendorong ekonomi hijau pun bisa teratasi.
”Misalnya, pemerintah mau prioritas ’hijau’ di suatu sektor, di situ insentif diberikan all out. Pengusaha akan masuk kalau demand-nya sudah terbentuk dan kita tidak perlu melulu mempertanyakan kenapa investor tidak masuk-masuk?” tuturnya.
Peta jalan yang belum komprehensif lintas sektor itu juga membuat kesepahaman di berbagai tingkatan, seperti pusat dan daerah, belum sejalan. Ia mencontohkan, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 yang mewajibkan pemerintah untuk memakai kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas. Namun, kewajiban itu belum diiringi kesepahaman yang sama dari pusat ke daerah.
”Akhirnya daerah bingung mau ngapain, berkutat dengan kebijakan di legislatifnya. Harus pakai mobil listrik, tetapi siapa yang bangun? Pakai APBD tetapi apakah daerah punya uang? Kalau dibiayai swasta, bagaimana sistemnya? Apakah demand di pasar sudah terbentuk sehingga swasta mau masuk?” kata Hendri.
Transisi ke ekonomi hijau masih dilihat sebagai beban kewajiban, bukan peluang bisnis.
Sebagai contoh, kebutuhan pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) terus meningkat. Pada tahun 2030, diperkirakan kebutuhan SPKLU di Indonesia 743.500 unit. Sementara, ketersediaan saat ini baru berjumlah 842 unit di 488 lokasi di Indonesia yang mayoritas kepemilikannya adalah pemerintah, bukan swasta.
”Ini seharusnya jadi peluang investasi untuk sektor swasta, tetapi karena arah kebijakan belum komprehensif dan pasar belum tercipta akhirnya peluang ini belum tertangkap,v katanya.
Butuh dukungan
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Arif Suhartono mengatakan, untuk menekan emisi karbon dan menghemat energi, pihaknya telah melakukan berbagai inovasi. Salah satunya dengan menerapkan fasilitas shore connection atau jaringan listrik dari darat.
Lewat fasilitas ini, kapal yang sedang bersandar di pelabuhan diarahkan untuk menggunakan jaringan listrik di darat yang dipasok oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan menggunakan energi bersih, bukan menggunakan mesin diesel kapal yang menghasilkan banyak emisi. Targetnya, fasilitas ini akan dipasang di seluruh pelabuhan besar yang dikelola Pelindo.
Meski demikian, untuk menerapkan hal itu diperlukan dukungan kebijakan dan ketersediaan fasilitas anjungan listrik mandiri di tiap pelabuhan. Arif pun berharap ke depan ada kebijakan yang mewajibkan setiap pelabuhan memiliki fasilitas shore connection.
”Pemasangan shore connection ini perlu dipercepat. Sebagian pelabuhan memang sudah memakai fasilitas ini, tetapi kembali lagi ini terkait pada kebijakan pemerintah. Jangan sampai kita sudah siap tetapi kebijakannya belum atau sebaliknya,” katanya.
CEO PT Bank Syariah Indonesia Ade Cahyo Nugroho mengatakan, sektor perbankan memerlukan peta jalan kebijakan yang komprehensif dari pemerintah untuk mempercepat pembiayaan bagi pengembangan ekonomi hijau. Meski demikian, ia menilai, tanpa dukungan kebijakan yang jelas pun, kebutuhan untuk bertransisi itu sudah muncul secara alamiah di pasar.
”Kalau ada roadmap yang jelas, tentu itu hal yang bagus sebagai dorongan agar ekonomi hijau bisa lebih cepat berkembang. Namun, kita harus lihat juga bahwa secara bottom-up orang-orang sekarang semakin peduli dengan lingkungan sehingga semua sektor lambat-laut akan bergerak ke arah sana,” ujarnya.
Bertahap
Executive Vice President Manajemen Aset, Engineering, dan Sistem Manajemen Terintegrasi PT PLN Herry Nugraha mengatakan, di tengah desakan menekan emisi karbon lewat pembangkit listrik, upaya transisi energi harus dilakukan bertahap.
Tanpa dukungan kebijakan yang jelas pun, kebutuhan untuk bertransisi itu sudah muncul secara alamiah di pasar.
Sebab, masih ada beberapa tantangan untuk mengembangkan pembangkit listrik yang bersih, seperti isu nilai keekonomian dan penguasaan teknologi yang perlu waktu. Contohnya, teknologi carbon capture and storage (CCS) yang saat ini masih dalam tahap kerja sama studi dengan berbagai pihak.
Teknologi CCS dibutuhkan untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan cara menangkap emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan PLTU dan menguburkannya di dalam tanah.
”Memang kita harus lakukan itu step by step dan beriringan dengan kebijakan lain. Misalnya, kalau kita mau membangun pembangkit listrik terbarukan di Kalimantan, di sana juga harus ada industri yang tumbuh untuk menyerap pasokan listrik. Sumber daya manusia juga disiapkan. PLN tidak bisa sendiri,” kata Herry.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa membenarkan, masih banyak tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan ekonomi hijau di Indonesia. Selain tantangan pembiayaan sebagai kendala utama, hal mendasar seperti pemahaman mengenai ekonomi hijau pun diakuinya belum sejalan di berbagai jenjang.
”Masih banyak kota di Indonesia yang menganggap bahwa hanya dengan menanam kebun saja di perkotaan, kita bikin hijau, lalu berarti kita sudah melakukan ekonomi hijau. Bahkan, masih juga banyak kota yang mengabaikan hidrologi dan pemasangan sarana air bersih,” ujar Suharso.
Ia mengatakan, ke depan, transisi ke ekonomi hijau akan dilakukan bertahap. Apalagi, Indonesia terimpit antara desakan untuk menekan emisi karbon dengan kebutuhan memajukan ekonomi menuju negara berpendapatan tinggi. ”Ini pekerjaan rumah kita yang luar biasa rumit untuk mencari seperti apa titik tengah kebijakan yang pas,” katanya.