Upaya transformasi ekonomi hijau dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan punya potensi besar, tetapi masih menghadapi tantangan.
Oleh
YOLA SASTRA, ZULKARNAINI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Dunia meyakini ekonomi hijau merupakan pilar dan masa depan ekonomi berkelanjutan. Kolaborasi multipihak menjadi penting dalam memaksimalkan peluang dan menjawab tantangan dalam upaya transformasi menuju ekonomi hijau.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar nasional bertema ”Transformasi Ekonomi Hijau Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan”, Rabu (7/6/2023). Seminar ini salah satu rangkaian kegiatan Hari Ulang Tahun Ke-23 Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Data World Economy Forum menyebutkan, separuh dari total produk domestik bruto (PDB) dunia dihabiskan untuk membiayai perbaikan kerusakan lingkungan akibat kegiatan industri. Hal itu membuat negara-negara dunia mulai melirik ke arah bisnis yang lebih ramah lingkungan.
Senior Vice President PT Bukit Asam Kris Tjahajaning Tyas mengatakan, dunia tengah melakukan transisi energi dari sumber energi fosil, seperti batubara, ke sumber energi lainnya yang lebih ramah lingkungan. Perusahaan juga semakin susah mendapatkan pendanaan untuk pengembangan dan bisnis yang berkaitan dengan batubara.
Perubahan itu membuat PT Bukit Asam, yang mulanya bergerak di bidang pertambangan batubara, mulai bertransformasi. Perusahaan saat ini fokus ke empat bisnis strategis, yaitu bisnis logistik atau pengangkutan batubara, energi, kimia dan derivatif lainnya, serta manajemen karbon.
”Kami berubah, dari awalnya fokus ke batubara, sekarang juga fokus ke energi baru terbarukan (EBT). Sesuai komitmen global, kami mendukung menciptakan energi bersih,” kata Kris.
Menurut Kris, PT Bukit Asam saat ini tengah mengembangkan teknologi pemanfaatan dan penyimpanan penangkapan karbon (carbon capture utilization and storage/CCUS). Teknologi ini mengurangi emisi karbon sehingga hasil batubara yang digunakan kadar karbonnya lebih rendah.
Kami berubah, dari awalnya fokus ke batubara, sekarang juga fokus ke energi baru terbarukan.
Sementara itu, Pemerintah Kota Cilegon tengah mengembangkan pabrik pengolahan sampah menjadi bahan campuran batubara untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya milik PT Indonesia Power. Selain menjadi langkah awal mengurangi kebutuhan batubara, pencapaian ini juga menjadi salah satu solusi dalam pengelolaan sampah di daerah kawasan industri itu.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Pemerintah Kota Cilegon Ahmad Aziz Setia Ade Putra mengatakan,semua sampah di Cilegon diolah oleh UPTD Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). Sampah non-B3 diolah menjadi bahan bakar jumputan padat (BBJP) dengan kalori sekitar 3.500-4.500 kalori. BBJP ini menjadi bahan bakar tambahan (co-firing) bagi PLTU Suralaya.
”PT Indonesia Power selaku pabrik pembangkit listrik terbesar setiap hari membutuhkan 40.000 ton batubara. Adapun BBJP untuk co-firing yang diterima oleh PT Indonesia Power saat ini adalah 5 persen atau 2.000 ton per hari BBJP atau hasil pengolahan sampah untuk campuran bahan bakar,” kata Ahmad Aziz.
Ahmad Aziz menambahkan, saat ini Pemkot Cilegon mempunyai pabrik pengolahan sampah berkapasitas 30 ton sehari yang dapat menghasilkan BBPT 10 ton dari sumbangan PLN. Tahun ini, pemkot juga mendapat bantuan Kementerian PUPR untuk pembangunan pabrik pengolahan sampah berkapasitas 200 ton sehari dengan hasil BBPT 70 ton.
Komisaris Utama Independen Allo Bank Indonesia Aviliani mengatakan, potensi ekonomi hijau sangat besar, terutama dalam mewujudkan kemandirian pangan. Perbankan sudah mulai ke arah ekonomi hijau. Walakin, sejauh ini bank-bank ini masih kesulitan menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan berbasis lingkungan atau memiliki standar environment, social, and governance (ESG).
Dari sisi perbankan, kata Aviliani, sudah ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK. 03/2017 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Setiap tahun dalam rencana bisnis bank (RBB), bank diwajibkan memasukkan target pembiayaan untuk perusahaan yang berbasis lingkungan.
”Masalahnya, di sektor riilnya (perusahaan) yang tidak ada kewajiban. Akibatnya, kami malah susah mencari siapa debitor yang mengarah pada standar ESG tadi. Akibatnya, tidak banyak yang bisa tercapai. Akhirnya, OJK hanya meminta bank menyampaikan berapa targetnya tetapi hasilnya tidak dipaksa,” kata Aviliani.
Aviliani menambahkan, aspek lingkungan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, jika aspek lingkungan belum tercapai, setidaknya apsek sosial dan ekonomi mesti dientaskan terlebih dahulu, seperti masalah kemiskinan dan tengkes (stunting). Hal tersebut butuh peran dari pemerintah daerah. Sebab, jika masyarakat tidak bisa hidup layak, akan terjadi guncangan-guncangan.
”Kemudian, dari segi lingkungan, juga ada efek ke masyarakat. Bencana terjadi sekarang itu kan disebabkan persoalan kita tidak menjaga lingkungan. Ketika terjadi bencana, misalnya rumah dibeli dari hasil 20 tahun menabung, bisa hilang begitu saja,” ujarnya.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Iwan Suryana mengatakan, kementerian memang sudah saatnya mengevaluasi industri-industri yang terlalu banyak menyumbang emisi karbon. Kementerian akan melihat, apakah dibutuhkan regulasi yang membatasi industri yang menghasilkan limbah. ”Itu akan kami coba evaluasi. Apakah pembatasan dengan peraturan pemerintah ataupun menteri,” kata Iwan.
Iwan melanjutkan, kementerian mengedepankan industri ekonomi hijau, ramah lingkungan, hemat sumber daya alam, dan membuat masyarakat kesetaraan secara sosial. Walakin, pemerintah pusat tidak punya lokasi industri sehingga yang bisa dilakukan hanya membuat regulasi. ”Akan kami bahas di internal, melakukan langkah-langkah ke depan untuk membatasi industri tidak ramah lingkungan,” ujarnya.