Nilai ekspor batubara Provinsi Jambi naik tajam telah mendongkrak pendapatan para investor. Ironisnya, hingga kini jalan khusus belum juga mereka bangun.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kontribusi sektor tambang batubara di Jambi belum sebanding dengan besarnya beban lingkungan, ekonomi, dan sosial yang ditanggung rakyat. Pemerintah harus mempertegas penerapan tanggung jawab investor agar tidak berlarut membebani rakyat.
Pengamat ekonomi dari Universitas Jambi Syahmardi mengatakan, meskipun batubara menopang cukup besar pertumbuhan ekonomi daerah, dampak kerugiannya jauh lebih besar. Dampak yang dimaksud antara lain jalan rusak yang harus diperbaiki dari APBD, besarnya nilai subsidi negara yang hilang karena dimanfaatkan ribuan angkutan batubara membeli bahan bakar minyak bersubsidi di SPBU, dan besarnya potensi pendapatan negara yang hilang akibat ribuan truk batubara tak terdaftar beroperasi di Jambi.
Itu belum termasuk beban yang harus ditanggung rakyat karena tingginya angka kecelakaan lalu lintas akibat angkutan batubara, waktu yang terbuang menghadapi kemacetan di jalan, hingga kemahalan ongkos transportasi. ”Berbagai indikator ini harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk membangun kebijakan yang adil,” ujarnya, Jumat (17/6/2022).
Ia menyebutkan, selama ini keuangan negara sudah terbebani untuk menyubsidi bahan bakar minyak bagi angkutan batubara industri. Dalam setahun, nilai subsidi yang harusnya dimanfaatkan rakyat malah menguap untuk dinikmati investor batubara lebih dari Rp 1 triliun. Itu karena masih banyak angkutan batubara membeli solar di SPBU.
Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Dhafi juga menyebut potensi kehilangan pendapatan negara dari pajak kendaraan angkutan batubara di Jambi mencapai lebih dari Rp 20 miliar per tahun. Besarnya potensi jumlah yang hilang itu karena ada 8.000 angkutan batubara yang beroperasi di Jambi, tetapi 5.000 di antaranya tidak terdaftar. ”Sehingga potensi penerimaan daerah dari pajak kendaraannya tidak dinikmati Jambi. Juga tidak ada penerimaan daerah dari bea balik nama,” jelasnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, menambahkan, biaya memperbaiki kerusakan jalan akibat dilintasi angkutan batubara dengan muatan berlebih menambah beban keuangan daerah. Biaya pemeliharaan membutuhkan setidaknya Rp 1 miliar per kilometer.
Uang daerah selayaknya dialokasikan pada kebutuhan yang lebih tepat sasaran bagi kesejahteraan rakyat. (Syahmardi)
Hampir setiap tahun, jalan yang perlu diperbaiki karena kerap dilintasi angkutan batubara sekitar 50 kilometer. Itu berarti, anggaran perbaikan jalan menghabiskan Rp 50 miliar per tahun.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi Harry Andrya mengatakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara Jambi yang disetor ke kas negara mencapai Rp 384 miliar pada 2021. Dari situ, nilai bagi hasil yang kembali ke Provinsi Jambi 16 persen, kabupaten penghasil batubara memperoleh 32 persen, dan kabupaten sekitarnya 32 persen. Sisanya untuk pusat.
Jika dihitung, nilai bagi hasil yang diterima Provinsi Jambi sekitar Rp 61 miliar. Namun, jumlah tersebut dinilai Syahmardi tak sebanding dengan beratnya beban untuk mengatasi berbagai dampak yang timbul.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi, produksi batubara Provinsi Jambi terus meningkat. Tahun 2016, produksinya 5,6 juta ton. Pada 2017 mencapai 8,3 juta ton dan 2018 naik menjadi 11,2 juta ton.
Meskipun produksi terus naik, hingga kini investor tak kunjung membangun jalan khusus. Ribuan angkutan membawa hasil tambangnya menggunakan jalan publik.
Yang lebih parah, lanjutnya, Pemprov Jambi malah berencana membangunkan jalan khusus batubara. Dananya dibebankan pada APBD. Padahal, sesuai aturan, pembangunan jalan khusus diselenggarakan oleh investor. ”Uang daerah selayaknya dialokasikan pada kebutuhan yang lebih tepat sasaran bagi kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Ekonomi daerah
Adapun, sepanjang tahun 2020 ini, nilai ekspor batubara naik tajam setiap bulannya. Dari 348.156 dollar AS pada Januari, naik menjadi 9,8 juta dollar AS pada Februari, dan 48 juta dolar AS pada Maret.
Struktur perekonomian di Provinsi Jambi, diakui Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Jambi Suti Masniari masih didominasi oleh lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 32,17. Adapun, Tambang dan Galian, termasuk batubara di dalamnya, menjadi penopang nomor dua. Porsinya 16,55 persen. ”Namun, apakah besarnya sumbangan sektor tersebut memberi dampak langsung pada masyarakat, ini masih perlu dikaji,” katanya.
Sebelumnya, Suti sempat mendorong agar pemda tegas mengatur kalangan industri untuk tidak memanfaatkan BBM subsidi. Apalagi, selama pandemi, keuangan negara sudah dalam kondisi defisit parah. Tahun 2021, nilai defisit keuangan bahkan mencapai Rp 783 triliun. Secara khusus, Provinsi Jambi mengalami defisit Rp 3,25 triliun.
Pemasukan dari pendapatan asli daerah (PAD), industri belum mampu menutup defisit keuangan daerah. Karena itu, lanjutnya, mempertegas penggunaan BBM nonsubsidi bagi kalangan industri sangat tepat untuk mengurangi beban pemerintah.