Sepuluh Tahun Penantian Jalan Khusus Batubara di Jambi
Jalan khusus batubara tak kunjung dibangun Jambi. Konsorsium investor batubara yang telah dibentuk untuk rencana pembangunan jalan malah bubar.
Rencana Provinsi Jambi membangun jalan khusus angkutan batubara telah bergulir sejak sepuluh tahun silam. Pemprov bahkan sudah studi banding ke Kalimantan dan berlanjut dengan terbitnya keputusanuntuk membangun jalan khusus.
Kala itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi Ivan Wirata menyebutkan, pembangunan jalan khusus angkutan batubara dirancang pada 2012 sepanjang 125 kilometer. Jalan menghubungkan sentra tambang batubara di Kabupaten Sarolangun dan Pelabuhan Talang Duku di Muaro Jambi. Pembangunan jalan khusus bakal dilakukan oleh konsorsium usaha batubara yang tersebar di Sarolangun.
Namun, hingga kini jalan itu belum terealisasi. Akibatnya, aktivitas warga Jambi terhambat oleh kemacetan yang ditimbulkan angkutan batubara. Per 1 Januari 2022 hingga 9 Juni 2022, terjadi 176 kali kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan batubara. Korban jiwa sebanyak 41 orang.
Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Dhafi mengatakan, jika sudah ada jalan khusus, angka kecelakaan lalu lintas di jalan umum akan turun. Ia membandingkan pada saat angkutan batubara dilarang melintas di masa Lebaran tahun ini, hanya terjadi sembilan kasus kecelakaan selama dua pekan (28 April-9 Mei).
Bandingkan ketika angkutan batubara bebas melintasi jalan umum, terpantau kecelakaan lalu lintas mencapai 43 kasus selama pekan (29 Maret-9 April). Tingginya kecelakaan itu akibat kepadatan yang tinggi di jalan raya. Ada juga faktor angkutan pengemudi batubara yang kelelahan dalam perjalanan.
Padatnya lalu lintas oleh truk batubara telah meresahkan masyarakat. ”Dalam sehari, kami mendapatkan 7 hingga 11 pengaduan warga terkait masalah angkutan batu bara,” ujarnya. Pengaduan itu seputar kemacetan di jalan raya dan di sekitar SPBU. Semuanya telah mengganggu kepentingan publik berlalu lintas.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, yang di tahun 2012 juga menjadi Staf Ahli Bidang Ekonomi DPRD Provinsi Jambi, merekomendasikan perlunya pembangunan jalan khusus angkutan batubara di Jambi. Pembangunan jalan khusus tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi hasil bumi yang terdampak akibat kerusakan jalan. Dari pendataan, ada 1.000 kilometer jalan di Jambi dalam kondisi rusak berat, sedang, dan ringan karena dilewati angkutan batubara dengan muatan berlebih.
Upaya menata masalah angkutan batubara juga ditindaklanjuti Maklumat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Jambi tentang Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi. Ditegaskan kepada semua pengusaha batubara dan masyarakat wajib menaati Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara dan Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkutan Batubara. Pengangkutan batubara dari mulut tambang melalui jalur khusus. Yang melanggar diancam denda Rp 50 juta dan sanksi administrasi tertulis berupa teguran hingga pencabutan izin.
Seiring berjalannya waktu, jalan khusus batubara tak kunjung dibangun. Konsorsium usaha batubara yang telah dibentuk malah bubar. ”Mereka beralasan membangun jalan khusus tidak akan efektif,” ujar Pantun.
Para investor beralasan telah menakar kualitas batubara di Jambi kurang bagus karena tergolong masih muda sehingga investasi mereka diperkirakan takkan lama. Lokasi tambang bakal segera ditinggalkan. Membangun jalan khusus takkan sebanding dengan hasil tambang batubara.
Nyatanya, sepuluh tahun berlalu, tambang batubara tak juga ditinggalkan. Produksinya masih tinggi. Tahun 2015, ekspor batubara Provinsi Jambi 1,8 juta ton. Pada Januari hingga November 2021, ekspor batubara sebesar 2,16 juta ton. Kenaikan harga di pasar dunia terus mendongkrak produksi batubara di Jambi.
Berdasarkan data Asosiasi Pengemudi Angkutan Batubara Provinsi Jambi, saat ini diperkirakan 8.000 truk batubara melewati jalan umum di Jambi setiap harinya untuk menuju pelabuhan. Jika dideret satu per satu, panjang seluruh truk-truk itu 70-an kilometer. Lebih panjang dari jarak Jakarta-Bogor.
Membiarkan investor menumpang jalan umum akan semakin membebani keuangan negara. Sebab, setiap tahun daerah harus memperbaiki jalan yang rusak akibat dilintasi truk-truk batubara dengan muatan berlebih.
Baca juga : Kerugian Berlipat akibat Jalan Khusus Batubara Tak Pernah Dibangun
Karena itu, kata Pantun, jalan khusus harus dibangun. Bisa lewat jalur darat ataupun sungai. Yang terpenting, pemerintah daerah harus tegas bersikap.
Hal serupa terjadi di Bengkulu. Angkutan batubara masih melintas di jalan-jalan umum, terutama di jalur lintas Sumatera, untuk mencapai Pelabuhan Pulau Baai. Hal ini menyebabkan kerusakan jalan dan tak jarang menimbulkan kecelakaan.
Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar mengatakan, hingga saat ini di lintas timur Sumatera, terutama di Ketahun, Bengkulu Utara hingga Kota Bengkulu, masih ditemukan truk angkutan batubara melintas sejauh sekitar 100 kilometer. ”Mereka terkadang konvoi sehingga menghambat kendaraan lainnya,” ujarnya.
Akibatnya, perjalanan dari Bengkulu ke Bengkulu Utara yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 3 jam menjadi 5 jam. ”Jika ada truk yang mengalami kecelakaan, waktu tempuh perjalanan bisa lebih lama,” ujar Ali. Kerusakan jalan juga terjadi di Kecamatan Ketahun.
Kepala Dinas Perhubungan Bengkulu Bambang Agus Suprabudi mengatakan, pemerintah berupaya mengurangi risiko kerusakan jalan akibat angkutan batubara dengan membatasi tonase kendaraan yang melintas. Data BPS menunjukkan, ekspor batubara dari Bengkulu pada 2020 sebesar 1,85 juta ton.
Jalur khusus
Kondisi di Jambi dan Bengkulu berbeda dengan Sumatera Selatan yang kini telah memiliki jalan khusus angkutan batubara. Gubernur Herman Deru tegas melarang angkutan batubara melintasi jalan umum sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) Sumsel Nomor 74 Tahun 2018 tentang Pencabutan Pergub Nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batu Bara Melalui Jalan Umum.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan Hendriansyah mengatakan, sejak terbitnya pergub itu, angkutan batubara di Sumsel tidak boleh melewati jalan umum per November 2018. ”Aturan itu diterbitkan karena jalur alternatif sudah tersedia,” ujarnya.
Aturan itu diterbitkan karena jalur alternatif sudah tersedia. (Hendriansyah)
Hingga saat ini sudah ada dua jalur khusus angkutan batubara yang dibangun. Jalur pertama dari Lahat-Muara Enim-Penukal Abab Lematang Ilir yang dibangun PT Titan Infra Energy sepanjang 113 kilometer dengan lebar 13 meter. Ini merupakan jalan bagi angkutan batubara untuk menuju ke pelabuhan yang terhubung langsung dengan Sungai Musi.
Jalur kedua dari Musi Banyuasin-Musi Rawas Utara oleh PT Musi Mitra Jaya sepanjang 133 km. Selain itu, sejumlah perusahaan juga sudah menggunakan angkutan kereta api, seperti PT Bukit Asam dan beberapa perusahaan batubara di Lahat yang mengangkut batubara ke Banyuasin.
Sumsel juga berencana menggunakan jalur Sungai Lematang untuk membawa batubara dari Lahat menuju Palembang. Jalur tol sungai itu masih dalam tahap kajian akademis.
Memang masih ada angkutan batubara yang menggunakan jalur umum, misalnya pengangkutan batubara dari area tambang menuju stasiun atau dari area tambang menuju jalur khusus. ”Tapi penggunaan jalan umum hanya untuk jarak yang dekat,” ucap Hendriansyah.
Hendriansyah mengatakan pemerintah mendorong para investor untuk membangun jalur alternatif seturut dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba di mana setiap pemegang izin usaha pertambangan harus menyediakan jalur khusus untuk mengangkut hasil batubaranya atau paling tidak bekerja sama dengan perusahaan yang sudah memiliki jalur khusus.
Hasil evaluasi selama pelarangan penggunaan jalan umum bagi angkutan batubara diterapkan, produksi batubara di Sumsel tidak pernah turun. ”Jumlah produksi batubara di Sumsel tetap merangkak naik setiap tahunnya. Kini sudah mencapai 60 juta ton per tahun,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Hendriansyah, dari 112 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sumsel, sebagian besar sudah menggunakan jalan alternatif, baik jalan khusus batubara maupun kereta api.
Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Selatan Ari Narsa mengatakan, larangan bagi angkutan batubara melintas di jalan umum terbukti membuat arus lalu lintas lebih lancar. Angka kecelakaan pun menurun. Melihat kondisi ini, larangan tersebut akan terus dilakukan karena mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Hanya saja, Ari mengakui masih ada beberapa angkutan yang nekat menggunakan jalan umum. Karena itu, pihaknya terus melakukan pengawasan agar aturan yang sudah dibuat tidak dilanggar. ”Kita akan dorong setiap perusahaan batubara untuk menggunakan jalur alternatif yang sudah tersedia,” ujarnya.
Direktur Operasi PT Titan Infra Energy Suryo Suwignjo mengatakan, hingga saat ini sudah ada 20 perusahaan pemegang IUP yang menggunakan jalan khusus perusahaannya dengan rata-rata pengangkutan batubara mencapai 12 juta ton per tahun. Ke depan, jumlahnya akan ditingkatkan mencapai 20 juta ton per tahun.
”Kami juga berencana untuk menambah panjang jalan 30 km-40 km agar terhubung langsung ke sejumlah kawasan tambang sehingga tidak lagi menggunakan jalan umum,” ujar Suryo.
Baca juga : Simalakama Batubara
Menurut dia, menggunakan jalan khusus batubara memberikan keuntungan lantaran selain tidak mengganggu jalan umum juga lebih efektif karena pihaknya sudah menyediakan tempat penyimpanan sementara batubara ( stockpile) dan biaya yang dibebankan sudah termasuk biaya penyimpanan dan bongkar muat. ”Jika dirata-rata, biaya penggunaan jalan hingga bongkar muat berkisar 9-10 dolar AS per ton,” kata Suryo
Di sisi lain, dengan melewati jalan khusus batubara juga akan mengurangi konflik dengan masyarakat karena jalan yang dibangun jauh dari permukiman warga. ”Kanan-kiri jalan merupakan kawasan perkebunan yang jauh dari permukiman warga," ujar Suryo.
Adapun di Bengkulu pihaknya memiliki jalan khusus batubara. Hanya saja, jalan khusus itu tidak digunakan oleh angkutan batubara lantaran mereka masih diizinkan untuk melewati jalan umum.
”Pengusaha angkutan pasti lebih memilih jalan umum yang gratis dibandingkan menggunakan jalan khusus yang mengeluarkan biaya,” ucapnya.
Risiko deforestasi
Di sisi lain, pembukaan jalan khusus angkutan batubara itu bukan tanpa risiko. Koordinator Advokasi dan Investigasi Sumsel Bersih Rinaldi Da Vinci menyebut pembukaan jalan khusus batubara di Sumsel berisiko meningkatkan angka deforestasi mengingat beberapa titik bahkan ada di dalam kawasan hutan.
Seperti rencana pembukaan jalan khusus batubara di Musi Banyuasin yang akan membelah hutan dataran rendah terakhir di Sumatera, yakni hutan harapan. Kondisi ini tentu akan mengancam keberlangsungan ekosistem di sana.
”Adanya jalan khusus angkutan batubara akan menjadi akses bagi perambah untuk masuk kawasan hutan,” ujarnya.
Adapun rencana pembangunan tol sungai juga harus diperhatikan. Fakta di lapangan menunjukan banyak tongkang yang mengangkut batubara melebihi kapasitas. Berdasarkan aturan, batubara yang diangkut oleh tongkang harus sesuai dengan kapasitas tongkang. Nyatanya banyak dari tongkang yang mengangkut batubara hingga menggunung.
”Jika ada batubara yang terjatuh ke sungai tentu akan meningkatkan risiko pencemaran sungai,” ujarnya.