Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Indonesia berupaya memacu hilirisasi batubara yang bernilai tambah dan diklaim lebih ramah lingkungan. Gasifikasi batubara menjadi bahan bakar gas alternatif merupakan salah satu opsi mengurangi dampak emisi karbon.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika sejumlah negara investor utama ramai-ramai meninggalkan batubara dan beralih ke energi hijau, Indonesia memacu hilirisasi batubara yang bernilai tambah dan diklaim lebih ramah lingkungan. Gasifikasi batubara dijadikan salah satu opsi untuk mengurangi dampak emisi karbon dari batubara sembari tetap mengolah cadangan yang melimpah di Tanah Air.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, sebagai sumber energi, batubara diproyeksikan masih memainkan peranan penting hingga 20 tahun ke depan. Pada Kebijakan Energi Nasional, batubara masih akan mengambil porsi sekitar 30 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
Data Badan Geologi, per 2021 Indonesia masih memiliki 143,7 miliar ton potensi sumber daya batubara dan 38,8 miliar ton cadangan batubara dengan kalori rendah dan sedang.
”Tentu saja, kontribusi batubara sebagai sumber energi ini tetap harus mempertimbangkan aspek lingkungan yang saat ini menjadi prioritas secara global,” kata Sujatmiko dalam webinar Hilirisasi Batubara untuk Kemandirian Energi, Jumat (24/9/2021) malam.
Untuk itu, pemerintah memacu percepatan hilirisasi batubara agar lebih bernilai tambah dan ramah lingkungan. Salah satunya, proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan produk substitusi bahan bakar dan bahan baku industri kimia. Beberapa yang akan segera direalisasikan adalah gasifikasi batubara menjadi bahan bakar gas alternatif dimethyl ether (DME) dan metanol.
Saat ini, ada dua proyek gasifikasi batubara yang sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional, yaitu proyek gasifikasi batubara ke DME oleh PT Bukit Asam (Tbk) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dan gasifikasi batubara ke metanol oleh PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kedua proyek itu ditargetkan mulai berjalan pada 2024-2025.
DME yang dihasilkan dari pengolahan batubara itu akan dijadikan substitusi untuk elpiji sehingga bisa menurunkan impor elpiji. Pada 2030, Indonesia diharapkan mampu memproduksi DME hingga setara dengan 3 juta ton elpiji.
”Kebutuhan elpiji yang terus meningkat dan impor elpiji yang terus membengkak membutuhkan solusi strategis untuk mengurangi beban negara,” ujar Sujatmiko.
Secara garis besar, ada 10 rencana program pengembangan dan hilirisasi batubara untuk mengoptimalisasi pemanfaatan batubara di dalam negeri dengan penerapan teknologi yang diklaim lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan kadar sumbangan emisi karbon dari batubara.
Selain gasifikasi batubara ke metanol dan DME yang mulai bergulir, ada pula program pencairan batubara (coal liquefaction) menjadi gasolin dan solar, pembuatan briket batubara (coal briquette) untuk kebutuhan biomassa dan briket terkarbonisasi, serta pembuatan kokas (cokes making) untuk batubara metalurgi.
Program lainnya adalah peningkatan mutu batubara (coal upgrading) untuk kebutuhan kelistrikan dan industri serta ekstraksi asam humat dan asam fulvat dari batubara sebagai bahan material pupuk untuk industri agro.
Pemerintah juga berencana mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) melalui pengembangan teknologi batubara yang lebih ramah lingkungan, seperti integrated coal gasification combined cycle (IGCC), clean coal technology (CCT), dan carbon capture, utilization and storage (CCUS) atau mencampur batubara dengan biomassa dalam proses pembakaran (co-firing biomass).
Tantangan
Baru-baru ini, di tengah ancaman krisis iklim, sejumlah negara investor utama di sektor energi berbasis batubara ramai-ramai menyatakan komitmen untuk beralih mengembangkan energi hijau yang rendah karbon. Salah satunya China, selaku investor terbesar proyek PLTU batubara dunia, yang menyatakan tidak akan membangun pembangkit listrik berbasis batubara lagi di luar negeri. Selain China, ada pula Korea Selatan dan Jepang serta negara-negara Eropa (Kompas, 23/9/2021).
Guru Besar Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung Dwiwahju Sasongko mengatakan, tantangan ke depan adalah memanfaatkan batubara secara lebih bijak dengan mengembangkan teknologi pengolahan batubara yang lebih bersih dan ramah lingkungan. ”Apakah mungkin kita bisa menuju energi bersih dengan tetap menggunakan batubara? Ini yang akan menjadi tantangan,” ujar Sasongko.
Menurut dia, penelitian mendalam dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi berbagai emisi karbon dari proses pengolahan batubara. Misalnya, mengatasi abu dan karbon dioksida (CO2) tak netral yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara agar bisa diolah kembali dan tidak berdampak buruk pada lingkungan.
”Kami sedang mendalami bagaimana mengonversi CO2 yang dilepaskan PLTU menjadi produk berharga. Kami usulkan proses fotokatalitik atau elektrokimiawi agar CO2 tidak langsung dilepas ke atmosfer, tetapi dipisahkan dan dimanfaatkan untuk menjadi metanol. Jadi, metanol tidak hanya dihasilkan dari batubara, tetapi juga dari buangan CO2 batubara,” kata Sasongko.
Saat diminta menanggapi tren global yang mulai meninggalkan batubara dan beralih menggunakan energi baru terbarukan yang lebih bersih, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Suryo Eko Hadianto meminta agar upaya penurunan emisi karbon tidak dibenturkan dengan penggunaan batubara.
”Perkembangan teknologi pembakaran batubara untuk pembangkit listrik belakangan ini sudah mulai menuju kemajuan teknologi yang hampir mendekati zero emission,” kata Eko.
Ia meyakini, jika kelak teknologi untuk mengolah batubara menjadi lebih ramah lingkungan telah dikembangkan, dunia akan pelan-pelan kembali menggunakan batubara. ”Batubara ini energi murah. Dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, dibutuhkan energi yang murah untuk mengembangkan ekonomi,” ujarnya.