Murid Aniaya Guru di Demak, Indikasi Perlunya Fasilitas Konseling di Sekolah
Penganiayaan yang dilakukan seorang pelajar kepada gurunya di Demak, Jateng, sebenarnya bisa dimitigasi. Ketersediaan ruangan konseling dan konselor menjadi kunci.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
DEMAK, KOMPAS — Kemarahan tak terkelola yang dirasakan MAR (17), seorang pelajar madrasah aliyah di Demak, Jawa Tengah, terhadap salah satu gurunya berujung pada penganiayaan. Peristiwa yang terjadi pada Senin (25/9/2023) itu diharapkan bisa menjadi titik balik untuk mengevaluasi fasilitas konseling di sekolah tersebut.
MAR marah kepada gurunya, Ali Fatkhur Rohman (41), karena dirinya tidak dizinkan mengikuti ulangan tengah semester pada Senin pagi. Alasannya, pelajar kelas X MA Yasua Pilangwetan, Kecamatan Kebonagung, itu belum menyelesaikan tugas yang menjadi salah satu persyaratan mengikuti ulangan. MAR sempat meminta agar dirinya diberi tambahan waktu. Namun, permintaan itu ditolak Ali.
MAR lantas pulang ke rumahnya di Pilangwetan dengan amarah yang berkecamuk. Sepanjang perjalanan, keinginan untuk melukai Ali pun muncul. Kendati demikian, keinginan itu dapat ditepis.
Sesampainya di rumah, MAR berbaring di kamarnya, mencoba untuk tidur. Sayangnya, percobaanya itu gagal. Kantuk tak kunjung datang, tetapi malah keinginan melukai Ali yang terus menerus datang. Dalam kondisi itu, MAR tidak bisa berpikir jernih. Ia langsung mengambil sabit kemudian kembali ke sekolah.
Di dalam sebuah kelas di MA Yasua Pilangwetan, MAR menganiaya Ali yang sedang mengawasi ulangan dengan sabit yang dibawanya. Akibat penganiayaan itu, Ali menderita luka pada leher belakang dan lengan kirinya.
Setelah melancarkan aksinya, MAR melarikan diri dan bersembunyi di sebuah rumah kosong di Grobogan. Anak pertama dari dua bersaudara itu diringkus polisi pada Senin malam. Perbuatan MAR yang melanggar Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Tindak Pidana Penganiayaan Berat yang Direncanakan. Ia terancam hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara.
Dalam menjalani proses hukum, MAR yang masih di bawah umur didampingi petugas dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Semarang. MAR juga telah didatangi oleh petugas Bapas Semarang untuk menjalani penelitian kemasyarakatan, Rabu (27/9/2023). Penelitian kemasyarakatan itu untuk menggali identitas anak, orangtuanya, latar belakang pendidikan dan pekerjaan orangtua, susunan keluarga, hingga perkembangan psikososial anak dari lahir sampai saat berhadapan dengan hukum.
Di dalam sebuah kelas di MA Yasua Pilangwetan, MAR menganiaya Ali yang sedang mengawasi ulangan dengan sabit yang dibawanya. Akibat penganiayaan itu, Ali menderita luka pada leher belakang dan lengan kirinya.
”MAR kurang los dalam memberikan informasi, kelihatan agak depresi. Sering tertunduk dan matanya melihat ke arah bawah terus,” kata Arif Agung Pasetyo, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Semarang, Kamis (28/9/2023).
Selain MAR, Arif juga mewawancarai sejumlah pihak yang mengetahui keseharian MAR, seperti orangtua, guru, kepala sekolah, dan tetangganya. Dari kegiatan itu diketahui, MAR adalah tulang punggung keluarga. Sejak duduk di bangku kelas VIII madrasah tsanawiyah, MAR bekerja di sebuah warung bakmi jawa di Grobogan. Uang yang didapatkan dari hasil kerja itu untuk membeli kebutuhan pangan keluarganya. Sebab, ayah MAR tidak bisa bekerja secara maksimal lantaran menderita disabilitas rungu.
”Setiap hari, MAR bekerja sampai pukul 02.00. Setelah sampai rumah, ia langsung tidur. Sayangnya, orangtua MAR tidak pernah mengingatkan atau membangunkannya untuk sekolah, jadi MAR sering tidak masuk sekolah,” kata Arif.
MAR yang sering bolos sekolah dinilai para guru kesulitan mengikuti pelajaran. Untuk itu, pada ulangan kenaikan kelas, beberapa bulan lalu, MAR dinyatakan tinggal kelas. MAR khawatir tidak diizinkannya MAR mengikuti ulangan tengah semester pada Senin bakal membuatnya kembali tidak naik kelas. Selain malu, MAR juga takut mengecewakan bibinya yang selama ini membiayai sekolahnya.
Arif menyebut, penganiyaan terhadap Ali merupakan tindak pidana pertama yang dilakukan MAR. Sebelumnya, MAR pernah memukul temannya di MA Yasua Pilangwetan, tetapi persoalan itu tidak diketahui oleh pihak sekolah.
Arif menambahkan, data terkait MAR disebut Arif bakal disusun dan diserahkan kepada hakim sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan putusan pengadilan. Selain itu, laporan hasil penelitian kemasyarakat juga bisa menjadi bahan pertimbangan Bapas untuk merekomendasikan rehabilitas kepada MAR di panti sosial.
Dicegah
Tindak pidana yang dilakukan MAR sebenarnya bisa dicegah jika ada kesepemahaman di antara MAR dan pihak sekolah. Sebagai pelajar, MAR memiliki kewajiban menaati aturan dan belajar dengan baik. Namun, sekolah juga perlu memahami kondisi MAR dan membantu mencari jalan keluar agar MAR bisa belajar dengan baik.
”Di setiap sekolah itu sebaiknya ada guru yang selain punya kompetensi mengajar juga bisa berperan sebagai konselor. Jadi, guru tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran, tetapi juga mampu menggali permasalahan anak, termasuk kemungkinan persoalan yang dihadapi anak,” ucap Kepala Bagian Psikologi Biro Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah Jateng Ajun Komisaris Besar Novian Susilo.
Dalam kasus yang terjadi di MA Yasua Pilangwetan, 10 psikolog dari Polda Jateng turut dilibatkan untuk menangani. Selain membantu memulihkan trauma para siswa dan guru yang melihat langsung penganiayaan itu, mereka juga mengevaluasi fasilitas yang berhubungan dengan psikologi di sekolah tersebut.
”Di MA Yasua Pilangwetan belum ada ruang bimbingan konseling dan tenaga konselor. Peristiwa ini bisa menjadi titik balik untuk perbaikan. Fungsi konselor dan ruangan khusus konseling itu vital untuk mendampingi anak-anak. Ini adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas itu,” katanya.
Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mengungkapkan keprihatiannya dengan kejadian di MA Yasua Pilangwetan. FSGI mendorong Kementerian Agama RI mengevaluasi pembelajaran dan pendisiplinan peserta didik di sekolah tersebut. Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti juga mendorong agar guru menyelidiki persoalan anak melalui dialog.
”Dengan demikian, anak merasa dibantu dan akan memunculkan tanggung jawab untuk tidak mengecewakan pihak sekolah yang sudah memahami situasi dan kondisi dirinya. Karena setiap anak pasti memiliki problem yang berbeda, orang dewasalah yang harus membantu anak mampu mencari jalan keluar dan memiliki tanggung jawab,” kata Retno.
Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kantor Wilayah Kementerian Agama Jateng Ahmad Faridi mengklaim, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Kemenag Demak dan pihak sekolah untuk segera melakukan evaluasi. Jadi, ke depan, peristiwa serupa tidak terulang kembali dan guru tidak merasa waswas dalam menjalankan tugasnya.
”Jangan sampai mereka trauma dengan kejadian ini sehingga mogok mengajar. Guru-guru perlu mendapat perhatian lebih karena secara ekonomi rata-rata pendapatan mereka masih banyak yang di bawah upah minimum regional, tetapi risikonya sangat besar,” tutur Ahmad.