Komnas HAM bertemu warga Pulau Rempang terkait konflik agraria yang terjadi di pulau tersebut. Dalam pertemuan itu, warga meminta bantuan Komnas HAM agar rencana relokasi dibatalkan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkunjung ke Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, untuk bertemu dengan warga terkait konflik agraria yang terjadi di pulau tersebut. Dalam pertemuan itu warga meminta rencana relokasi dibatalkan dan aparat ditarik dari Pulau Rempang.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Prabianto Mukti Wibowo, Sabtu (16/9/2023), mengatakan, kunjungan ke sejumlah lokasi di Pulau Rempang itu bagian dari kegiatan pramediasi sebelumnya bersama Badan Pengusahaan (BP) Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), dan Kepolisian Daerah Kepri.
Lokasi pertama yang dikunjungi rombongan Komnas HAM adalah Jembatan Barelang IV yang sempat diblokade warga serta SD 24 Galang dan SMP 22 Batam. Bentrokan sempat terjadi di lokasi tersebut pada 7 September 2023 dan berujung pada tembakan gas air mata.
”Pihak sekolah menjelaskan, kejadian 7 September cukup mencekam. Ada beberapa siswa terimbas gas air mata sehingga mereka mengalami luka,” kata Prabianto.
Prabianto menjelaskan, kepolisian sudah melakukan upaya trauma healing atau penyembuhan trauma terhadap siswa yang luka dan menjadi korban bentrokan itu. Para siswa juga sudah belajar seperti biasa. Walakin, ia menilai trauma healing yang diberikan belum cukup.
”Kami belum tahu dampak jangka panjangnya (dari kejadian tersebut). Di permukaan mungkin mereka (siswa) sudah cukup gembira, tetapi tidak tahu juga kelanjutan nantinya. Trauma healing perlu dilanjutkan,” ujarnya.
Kemudian, rombongan Komnas HAM juga mengunjungi kampung-kampung tua Melayu yang menjadi prioritas relokasi di Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang. Menurut Prabianto, warga tetap menolak relokasi. Mereka juga meminta perlindungan ke Komnas HAM untuk tetap bisa bertahan di lokasi yang mereka tinggali.
Selain itu, Komnas HAM juga mengunjungi kampung-kampung tua lainnya, seperti Dapur 6 dan Pantai Melayu. Warga juga menolak relokasi meskipun mereka tidak menolak proyek strategis nasional Rempang Eco City.
”Dalam beberapa pertemuan dengan BP Batam dan pemprov, kami tetap merekomendasikan untuk tidak merelokasi warga. Jadi, yang diubah itu mestinya rencana lokasi pembangunan pabriknya yang sudah jadi komitmen dengan investor,” ujar Prabianto.
Akan tetapi, lanjut Prabianto, BP Batam sampai saat ini tidak bisa mengambil keputusan. Instansi tersebut harus menunggu arahan dari pemerintah pusat.
”Karena BP Batam pada posisi yang tidak bisa memutuskan, kami berupaya koordinasi dengan pemerintah pusat, yaitu Menko Perekonomian selaku ketua dewan pengembangan kawasan, Menteri Investasi, dan Menko Polhukam. Kami akan coba bahas bersama solusi terbaik,” tuturnya.
Dalam beberapa pertemuan dengan BP Batam dan pemprov, kami tetap merekomendasikan untuk tidak merelokasi warga.
Sementara itu, dalam pertemuan Komnas HAM dengan warga Kampung Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, puluhan warga meminta bantuan Komnas HAM agar pemerintah pusat membatalkan relokasi.
Warga juga meminta 16 kampung tua di Pulau Rempang dilegalisasi dengan penerbitan sertifikat dan meminta agar lahan di luar kampung tua yang sudah mereka kelola diberikan ganti untung.
”Saya menolak relokasi. Kami tidak mau dipindahkan ke rumah lemari. Orang menyebutnya rusun, kami menyebutnya rumah lemari. Di mana kehidupan kami nanti. Kami punya ternak, tanaman, barang-barang kami, mau bawa ke mana. Tolonglah kami. Jangan bikin kami jadi seperti ini,” kata Saria (68), warga Kampung Pantai Melayu.
Selain itu, Saria juga meminta agar anaknya yang ditahan dalam bentrokan beberapa waktu lalu dibebaskan. ”Lepaskan keluarga kami yang ditahan. Jangan sampai mendapat kekerasan,” katanya.
Warga turut meminta aparat menghentikan intimidasi dan menarik pasukan dari Pulau Rempang. Dari pantauan Kompas, Sabtu, terdapat posko-posko yang dijaga petugas berseragam BP Batam, Polri, dan TNI.
”Ini pemerintah pusat mau menurunkan 400 aparat tambahan. Yang sudah ada saja kami berharap mereka pulang. Masa mau didatangkan lagi? Kenapa orang pusat mau turunkan lagi aparat ke sini,” kata Soni, warga lainnya.
Sementara itu, Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, Sabtu malam, mengumumkan penangguhan penahanan 8 tersangka yang ditahan dalam bentrokan pada 7 September di sekitar Jembatan Barelang IV.
”Delapan orang tersangka dari kejadian 7 September kemarin kami tangguhkan penahanannya dengan beberapa syarat, yaitu wajib lapor seminggu dua kali, tidak boleh keluar dari wilayah Kota Batam, dan tidak mengulangi tindak pidananya lagi,” katanya.
Menurut Nugroho, proses hukum tetap berjalan. ”Tetapi nanti kami lihat ke depan. Jika situasi kamtibmas di Kota Batam, khususnya Rempang, aman dan kondusif, serta pertimbangan lain, ada kemungkinan untuk restorative justice,” ujarnya.
Adapun 26 tersangka lainnya yang ditahan atas bentrokan tanggal 11 September di kantor BP Batam masih dalam proses penyidikan. ”Mereka masih dalam pemeriksaan. Untuk penangguhan dan lainnya, nanti pertimbangan dari penyidik gimana dan masukan dari pimpinan nanti seperti apa,” ungkap Nugroho.