Selesaikan Sengketa di Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Utamakan Masyarakat
NU dan Muhammadiyah mengingatkan pemerintah untuk menomorsatukan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di Pulau Rempang.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI, DENTY PIAWAI NASTITIE, DIAN DEWI PURNAMASARI, YOLA SASTRA, NIKOLAUS HARBOWO, RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Aksi seorang peserta aktivis saat digelar Solidaritas dan Doa Bersama Untuk Rempang yang digelar bersama-sama sejumlah aliansi aktivis kemanusiaan dan HAM di halaman kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023) malam.
JAKARTA, KOMPAS– Pemerintah tak hanya perlu memperbaiki komunikasi dengan mengutamakan musyawarah dan menghindari pendekatan koersif guna menyelesaikan sengketa yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pemerintah juga didorong untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dengan memastikan pemenuhan hak, pemberian afirmasi, serta fasilitasi untuk kelompok lemah.
Dorongan itu disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini berpandangan, pembangunan semestinya dilakukan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
”Pandangan kami, kesentosaan masyarakat harus dinomorsatukan. Tidak boleh masyarakat menjadi korban. Lebih baik risiko-risiko yang lain yang ditempuh,” ujar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, di Jakarta, Jumat (15/9/2023), terkait persoalan yang kini terjadi di Pulau Rempang.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf saat menggelar konferensi pers sikap PBNU terkait situasi politik terkini di Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Protes dan bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan terjadi di Pulau Rempang pada pekan lalu. Peristiwa ini bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Pulau Rempang yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa. Relokasi dilakukan terkait rencana pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Terkait rencana tersebut, Yahya mengatakan, investasi memang dibutuhkan oleh negara. Namun, investasi itu harus sungguh-sungguh dijadikan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya yang ada di lokasi investasi. Dengan demikian, masyarakat harus dijaga dan tidak boleh menjadi korban.
Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla menambahkan, PBNU mendorong pemerintah untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya proyek strategis nasional dan kemaslahatannya bagi masyarakat umum. Selain itu, juga memastikan tidak adanya perampasan hak-hak serta potensi kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Jamin hak masyarakat
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) serta Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan dialog dalam menyelesaikan sengketa di Rempang. ”Pemerintah harus segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati dengan mengedepankan perspektif HAM serta mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai,” kata Ketua LHKP PP Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi.
Masyarakat adat dari berbagai komunitas Melayu di Sumatera Utara berunjuk rasa menyampaikan solidaritas atas konflik yang dihadapi masyarakat Melayu di Pulau Rempang, di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan, Medan, Jumat (15/9/2023).
Secara terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Jerry Even Sembiring mengungkapkan, warga kampung tua, Pulau Rempang, adalah masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan tanah leluhur. Dalam catatan sejarah, mereka sudah mendiami kawasan itu sejak 1834. Ada 16 kampung tua di Pulau Rempang yang menolak direlokasi karena mereka tidak mau kehilangan identitas Melayu dan leluhurnya. Masalah penolakan warga ini juga tidak sesederhana ganti rugi lahan milik warga.
Oleh karena itu, Komnas HAM juga meminta pemerintah membatalkan rencana relokasi warga. ”Kami mengarahkan agar (warga) tidak direlokasi. Warga harus diberi ruang hidup di sana karena itu permintaan mereka,” kata komisioner Komnas HAM, Saurlin P Siagian.
Untuk menyelesaikan konflik di Rempang, Komnas HAM menerjunkan tim untuk melihat langsung situasi yang terjadi di Rempang. Laporan dari tim ini akan dianalisis dan menjadi pertimbangan Komnas HAM dalam merekomendasikan penyelesaian konflik.
Pemerintah harus segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati dengan mengedepankan perspektif HAM serta mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai
Sementara itu, Jumat malam, sejumlah lembaga lintas elemen, seperti Gusdurian, Amnesty International, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, berkumpul di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, untuk berdoa dan menyampaikan solidaritas bagi warga Rempang. Mereka juga mendirikan Posko Solidaritas untuk Rempang sebagai upaya memberikan bantuan bagi warga.
Wakil Ketua Bidang Kajian Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah Widhyanto Muttaqien menjelaskan, kehadiran posko ini merupakan bentuk kerja sama kemanusiaan antarwarga. Tujuannya untuk membantu masyarakat Rempang yang kini berada dalam kesusahan.
Warga jadi tersangka
Dari Batam dilaporkan, polisi telah menetapkan 43 warga sebagai tersangka dalam dua insiden penolakan relokasi pekan lalu. Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, di Batam, Jumat, mengatakan, dari 43 tersangka, 34 orang di antaranya ditangani Polresta Barelang. Sisanya ditangani oleh Polda Kepulauan Riau (Kepri).
”Mereka kami tetapkan sebagai tersangka atas perbuatan merusak Kantor BP (Badan Pengusahaan) Batam, melawan dan melukai petugas, serta menjadi provokator,” kata Nugroho.
Nugroho menjelaskan, dalam bentrokan 7 September di sekitar Jembatan Barelang IV, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, polisi dari Polresta Barelang menangkap dan menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Kemudian, pada bentrokan aksi unjuk rasa di Kantor BP Batam 11 September, 28 orang ditangkap. Sebanyak 26 orang lalu ditetapkan tersangka. Dua orang dipulangkan dan dikenai wajib lapor.
Sementara itu, Polda Kepri menangkap 15 orang dalam bentrokan aksi unjuk rasa di Kantor BP Batam, 11 September, dan delapan orang di antaranya menjadi tersangka. Satu orang lagi yang menyerahkan diri ke Polda Kepri juga menjadi tersangka.
Terkait janji menangguhkan penahanan delapan tersangka pada insiden 7 September, kata Nugroho, belum jadi dikabulkan. Alasannya, terjadi situasi anarkistis pada unjuk rasa 11 September. ”Rencana kemarin akan kami kabulkan penangguhan mereka. Namun, karena situasi anarkistis seperti itu, penyidik belum bisa memberikan penangguhan karena masih kami dalami lagi pemeriksaan kepada mereka. Siapa tahu ada kaitannya dengan kegiatan 11 September kemarin,” ujarnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Video dokumentasi yang menggambarkan kekuatan aparat saat mengusir warga diputar saat digelar Solidaritas dan Doa Bersama Untuk Rempang yang digelar bersama-sama sejumlah aliansi aktivis kemanusiaan dan HAM di halaman kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023) malam.
Nugroho juga membenarkan bahwa penyidik belum mengizinkan pihak keluarga para tersangka menjenguk karena masih harus mendalami kasus. Penyidik sedang mencari aktor yang menggerakkan aksi unjuk rasa yang berujung anarkistis.
”Dari penyidik kami kerja maraton. Mereka sedang kerja, menyidik, meminta keterangan tersangka, jadi tidak mau terganggu oleh keluarga, teman, atau siapanya yang berkunjung ke situ. Takutnya nanti memengaruhi keterangan tersangka kepada penyidik,” ujarnya.
Pihaknya akan mengizinkan para tahanan dikunjungi apabila penyidik sudah cukup mendapatkan keterangan. Keluarga dan teman tersangka akan diberikan kesempatan menjenguk sesuai jadwal, yaitu Selasa dan Kamis pukul 10.00-15.00.
Secara terpisah, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan-Rempang juga mengeluhkan adanya pembatasan akses penasihat hukum bertemu tahanan di Polresta Barelang yang mereka dampingi. Tim advokasi ini merupakan tim gabungan PBH Peradi Batam, LBH Mawar Saron Batam, dan YLBHI-LBH Pekanbaru.
Mangara Sijabat, anggota tim advokasi dari LBH Mawar Saron Batam, Jumat, mengatakan, seharusnya kepolisian tidak membatasi akses kuasa hukum untuk berjumpa kliennya. ”Untuk dapat izin berjumpa saja susah, baik dari penyidik maupun atasan penyidiknya,” kata Mangara.