Air Mata Penyintas Perdagangan Orang asal NTT Belum Jua Berhenti
Martha Letek Keban (51), penyintas tindak pidana perdagangan orang, menangis saat mengenang kematian suami terkasih di dalam penjara di Malaysia. Martha dan suaminya menjadi pekerja migran Indonesia ilegal sejak 2006.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Dialog publik membahas tindak pidana perdagangan orang di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (8/8/2023) itu, bukan pertama digelar. Sudah berulang kali diskusi, seminar, atau dialog serupa dibahas. Masalah yang dibahas pun hampir sama, yakni kesulitan ekonomi keluarga,rayuan manis para calo, dan pilihan menjadi pekerja ilegal.
Dalam dialog kali ini, peserta diberi kesempatan mendengarkan kesaksian seorang penyintas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) asal Flores Timur, Martha Letek Keban (51). Ibu tiga anak ini bersama suami ke Malaysia timur pada 2006, diajak keluarga. Bekerja di perkebunan sawit. Tahun 2008 pulang ke kampung asal di Ritaebang, Kecamatan Solor Barat, Flores Timur. Tahun 2017 pergi kedua kalinya ke Malaysia secara ilegal juga.
Namun, Januari 2023 mereka ditangkap karena tidak memiliki dokumen keimigrasian. Jumlah yang ditangkap sekitar 200 orang termasuk warga Filipina. Semua ditahan di penjara Malaysia. Selama ditahan, mereka makan beras mentah, minum air kotor, serta tidur di lantai dingin dengan pakaian di badan.
”Hingga 15 Juli 2023, suami saya meninggal, lalu saya disuruh keluar, mendampingi jenazah suami ke NTT. Kami pulang dengan dukungan Konsulat Jenderal RI di Lahad Datu,” kata Martha.
Suara Martha terbata-bata, lalu diam. Air matanya berlinang saat menyebut kematian suaminya. Suara Martha tidak kedengaran lagi. Peserta pun terdiam. Moderator diskusi Maria Rita Hasugian, Pemred Katong NTT.com, pun mengarahkan pembicaraan Martha.
Menurut Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah NTT Komisaris Besar Patar Marlon Hasudungan Silalahi,kasus TPPO biasanya dilakukan sangat rapi dan tertutup rapat. Cenderung melibatkan anggota keluarga sendiri.
Melalui keluarga dekat yang sudah di luar negeri, korban nekat ke Malaysia atau daerah lain setelah mendapat iming-iming gaji besar, cepat dapat kerja, bisa bangun rumah, biaya pendidikan anak, dan seterusnya.
”Butuh kerja sama semua pihak mengungkap kasus ini. Tidak hanya anggota kepolisian, tetapi juga masyarakat luas. Kita lebih mengutamakan keselamatan nyawa orang itu ketimbang terlena dengan janji-janjidari para calo, atau mereka yang sudah ada di luar negeri. Pemberi janji ini termasuk anggota keluarga yang sudah ada di luar negeri,” kata Silalahi.
Migran ilegal
Kesulitan ekonomi keluarga mendorong warga miskin memilih menjadi pekerja migran ilegal. Pilihan ini sangat berisiko. Sebagian dari mereka memang sukses bekerja sampai pulang ke kampung asal di NTT. Tetapi, sebagian pulang dalam kondisi tak bernyawa, dalam bentuk peti jenazah, atau pulang dalam kondisi cacat fisik akibat penganiayaan majikan.
Saat ini tim Satgas TPPO Polda NTT telah bekerja keras mengatasi kasus TPPO tersebut dengan melibatkan polda, polres, dan polsek, yakni melakukan pemantauan dan pengintaian di setiap pelabuhan saat kapal motor berangkat dari sejumlah titik pelabuhan di NTT. Juga dilakukan pemantauan di setiap bandara yang melakukan penerbangan ke provinsi lain.
Dikatakan, seperti beberapa hari lalu ada orang yang berkumpul di Pelabuhan Tenau Kupang. Pengakuan mereka, mereka hendak ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan sawit. Berdasarkan informasi ini, kami koordinasi dengan semua pihak di pelabuhan sehingga rombongan itu ditahan.
”Setelah dibina, mereka dikembalikan ke kampung asal. Tetapi, itu juga tidak menyelesaikan masalah yang tengah mereka hadapi. Kesulitan ekonomi keluarga tadi,” katanya.
Saat didatangi tim Satgas TPPO, selalu ada alasan bagi calo dan juga korban agar terhindar dari penahanan. Mereka selalu berupaya agar bebas dari penangkapan tim Satgas TPPO. Misalnya, pergi ke kota itu untuk mengikuti pesta nikah anggota keluarga, wisuda anggota keluarga, menjenguk anggota keluarga yang sakit, dan alasan lainnya.
Meski demikian, setelah sampai di Kupang, mereka melanjutkan perjalanan ke Jakarta, setelah itu ke Batam, Nunukan, Medan, dan ke Malaysia. Ini modus lama yang tetap dipertahankan sampai hari ini. Karena itu, butuh dukungan semua pihak termasuk anggota keluarga agar calon pekerja migran itu berangkat sesuai prosedur.
Anggota keluarga berperan penting memberangkatkan calon PMI ilegal, terutama anggota keluarga yang sudah di Malaysia, dan merasa sukses bekerja di sana. Kemudian mengajak anggota keluarga menyusul. Anggota keluarga pula yang memberi cara paling aman untuk melakukan perjalanan dari kampung asal sampai tempat tujuan di luar negeri.
Ternyata, dalam perjalanan ke tempat tujuan, mereka ditangkap dan dideportasi ke Indonesia. Jika tidak, mereka mengalami masalah lain, seperti penganiayaan oleh majikan ataupun sakit.
Maria Rita Hasugian, ketika membuka dialog tersebut, mengatakan, sejumlah ahli dan praktisi masalah perdagangan orang menyebut UU TPPO belum efektif melindungi korban dan memberangus pelaku TPPO. Gelombang pekerja migran asal NTT seakan tak terbendung, seakan perangkat Pemprov NTT tak berdaya mengatasi masalah ini.
Data Badan Pelayanan Pekerja Migran Indonesia, sejak 2017-2023 tercatat lebih dari 4 juta pekerja nonprosedural bekerja di beberapa negara. Sebanyak 1.318.748 orang berada di Malaysia, 700.000 orang di antaranya warga NTT. Sebagian besar pekerja nonprosedural ini kaum perempuan.
Keterbatasan wawasan dan lemahnya literasi diduga kuat membuat perempuan NTT lebih mudah terjerat TPPO. Mereka nekat bekerja secara ilegal di luar negeri karena ingin memperbaiki nasib keluarga.
Butuh kerja sama semua pihak mengungkap kasus ini. Tidak hanya anggota kepolisian, tetapi juga masyarakat luas. (Marlon Silalahi)
Sejumlah kisah memilukan yang menimpa kaum perempuan ini, seperti dianiaya majikan, gaji tak dibayar, ditelantarkan, keluarga tercerai berai, dan perselingkuhan, tak membuat mereka menyerah. Bahkan, jumlah kematian PMI ilegal rata-rata per tahun 100 orang. Tahun ini sudah mencapai 84 orang, dan kemungkinan terus bertambah.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia NTT Petrus David Frans mengatakan, Flores Timur merupakan gudang TPPO sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Jumlah korban TPPO pun terbanyak dari Flores Timur, menyusul Lembata, dan kabupaten lain. Masalah itu terus berulang tahun.
Pemda Flores Timur perlu diberi pemahaman tentang bagaimana menangani kasus perdagangan orang di sana. Mestinya ada perwakilan yang hadir dalam diskusi ini.
”Sikap masa bodoh dan membiarkan warga Flores Timur meninggal di luar negeri bukan pemimpin yang sukses. Apjati yang hadir di sana pun tidak bisa bekerja sama dengan mereka,” katanya.