Satgas TPPO Gagalkan Pengiriman 123 Korban Perdagangan Orang ke Malaysia
Satgas TPPO menyelamatkan 123 calon pekerja migran yang akan diberangkatkan secara ilegal ke Tawau, Malaysia. Korban berasal dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang menggagalkan proses pengiriman pekerja migran dengan menggunakan kapal laut menuju Malaysia dan melalui jalur ”tikus” dari Nunukan (Kalimantan Utara) ke Tawau (Malaysia). Dari pengungkapan kasus tersebut, satgas yang berada di bawah Kepolisian Negara RI itu menahan delapan tersangka dan menyelamatkan 123 calon pekerja migran.
Kedelapan tersangka itu adalah H, J, AW, LO, U, LP, HZ, dan YBS. Mereka berasal dari sembilan kelompok jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Pengungkapkan kasus itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan di Jakarta, Jumat (9/6/2023). Ahmad mengatakan, penangkapan para tersangka yang dilaksanakan oleh jajaran kepolisian di bawah kendali Satgas TPPO yang diketuai Inspektur Jenderal Asep Edi Suheri itu dilaksanakan pada 6 Juni 2023.
Dari penangkapan itu, Satgas TPPO menyelamatkan 123 korban, yakni 74 laki-laki, 29 perempuan, dan 20 anak-anak. Mereka berasal dari berbagai daerah. ”Satgas TPPO Polri berhasil menyelamatkan 123 korban yang berasal dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur,” ujarnya.
Ahmad menambahkan, para pelaku memanfaatkan dua modus untuk menyelundupkan para pekerja migran Indonesia ke Malaysia, yakni melalui pelabuhan keberangkatan yang resmi dan jalur ”tikus”. Untuk modus yang melalui jalur resmi, lewat pelabuhan resmi, pelaku merekrut para korban dari daerah asal dengan menyiapkan paspor hingga tiket perjalanan. Selanjutnya, mereka berangkat bersama menuju Malaysia menggunakan kapal.
”Dalam modus ini, para korban telah memiliki paspor, tetapi tidak dilengkapi dengan persyaratan sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” ujar Ahmad yang dijumpai di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Sejumlah persyaratan yang perlu dipenuhi pekerja migran Indonesia itu di antaranya berusia minimal 18 tahun, memiliki kompetensi, sehat jasmani-rohani, serta terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan jaminan sosial.
Pelaku yang memanfaatkan jalur tak resmi atau jalur tikus berperan sebagai koordinator pengiriman dari Nunukan ke Tawau. Ia bertugas menjemput korban di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, yang kemudian menyediakan rumah penampungan sementara bagi para korban. Pelaku juga menyiapkan moda transportasi menuju Tawau dengan kapal cepat (speedboat) atau mobil untuk menjangkau tempat tujuan.
”Pertama, tadi (modus) melalui jalur resmi, artinya itu (melalui) pelabuhan-pelabuhan resmi menggunakan paspor, tetapi tidak dilengkapi dokumen-dokumen. Jalur tidak resmi berarti jalur yang bukan pelabuhan, disebut jalur ‘tikus’,” tutur Ahmad.
Ia menambahkan, para tersangka memanfaatkan dekatnya jarak antara Nunukan dan Tawau. Waktu tempuh dari Nunukan ke Tawau sekitar satu jam dengan kapal cepat.
Terkait cara pelaku merekrut korban, kepolisian sedang mendalami apakah ada tersangka lain. Para korban berasal dari luar Kalimantan sehingga aparat penegak hukum akan memeriksa pihak pengirim dari daerah asal masing-masing. ”Ini masih ditelusuri dan didalami penyidik,” kata Ahmad.
Kepolisian telah mengamankan sejumlah barang bukti yang terdiri dari 32 unit ponsel, 3 kartu keluarga, 54 kartu tanda penduduk (KTP), dan 45 paspor.
Dalam pengungkapan ini, Satgas TPPO bekerja sama dengan Polda Kalimantan Utara dan Polres Nunukan. Tim tersebut juga dibantu TNI wilayah Nunukan, Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI), PT Pelni, PT Pelindo Nunukan, serta Kantor Syahbandar dan Otorita Pelabuhan (KSOP) Nunukan.
Para tersangka dijerat Pasal 4 juncto (jo) Pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO subsider Pasal 81 jo Pasal 69 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Mereka terancam pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Sejauh ini, menurut Ketua Aliansi Migran Internasional Eni Lestari, modus pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal menggunakan lowongan kerja untuk bekerja di perusahaan. Perekrutan bisa dalam jumlah besar ataupun perseorangan.
Eni mengungkapkan, dari sejumlah kasus yang ia pantau, ada sejumlah pekerja migran direkrut secara individual untuk bekerja di Belanda. Mereka dijanjikan sebagai koki atau pekerja pariwisata. Namun, sesampai di negara tujuan, mereka dipekerjakan di perkebunan. Mereka akhirnya terdampar di Eropa tanpa dokumen resmi.
Selain itu, tren yang baru-baru ini marak dialami negara lain adalah education trafficking. Target utamanya adalah orang-orang lulusan sekolah menengah atas (SMA), mahasiswa setingkat diploma, dan sarjana. Mereka diiming-imingi melanjutkan sekolah di Selandia Baru, tetapi akhirnya dipekerjakan pula di perkebunan. Hal ini telah menjerat sejumlah warga negara lain, seperti Filipina dan Vietnam.
”Ini bisa jadi tren baru (di Indonesia) karena di negara lain sudah terjadi,” kata aktivis pekerja migran ini, Kamis (8/6/2023).