Pekerja Migran Ilegal, Beban Ganda Keluarga di NTT
Pekerja migran Indonesia dari NTT yang mengalami sejumlah kasus di luar negeri memberi beban tambahan bagi keluarga di NTT. Keluarga harus menangani anak-anak dan anggota keluarga yang ditinggalkan.
Puluhan TKI ilegal dari NTT yang dideportasi dari Malaysia tiba di Kupang, Selasa (26/5/2020).
Desakanekonomi keluarga memaksa sejumlah warga kurang mampu di Nusa Tenggara Timur memilih menjadi pekerja migran ilegal. Pilihan ini pun sangat berisiko bagi anggota keluarga di kampung karena terpaksa menanggung hidup anak-anak yang ditinggalkan.
Nahum Noneliu (67) berjalan kaki pagi hari di depan halaman Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Naimata, Kota Kupang, Sabtu (1/7/2023). Sudah satu bulan laki-laki itu menjaga putri kandungnya, Damaris Noneliu (27), yang sedang sakit jiwa di rumah sakit itu.
Damaris mengalamigangguan jiwa sekitar dua tahun setelah keberangkatan sang suami, Agus Tamonob (35), menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri.
Saat keberangkatan Agus pada 2015, anak mereka, Noel Tamonob (8), baru saja berusia lima bulan. Menurut rencana, Agus hanya dua tahun di Malaysia, setelah itu kembali ke kampung asal di Oe Ekam, Timor Tengah Selatan. Sejak dua tahun keberangkatannya, Agus tak pernah berkabar, apalagi mengirim uang bagi istri dan anaknya.
”Dia hilang kabar sejak 2017. Ada informasi dari rekan kerjanya di Malaysia bahwa Agus sudah menikah dengan perempuan lain yang juga karyawan di rumah majikannya. Mendengar kabar itu, Damaris menjadi pendiam, murung, dan sering marah-marah pada anaknya,” kata Nahum.
Baca juga : PMI Ilegal Meninggal di Malaysia, Keluarga Korban di NTT Diperas
Hilang kesadaran
Damaris sering berbicara sendiri, tertawa, dan kadang marah-marah sendiri. Ia tidak mau makan dan mandi. Berat badannya terus menurun. Ia bahkan kehilangan kesadaran.
Nahum, ayah dua anak ini, mulai menyadari putri tunggalnya itu mengalami gangguan jiwa. Atas usul kepala Desa Oe Ekam, Nahum membawa Damaris ke RSJ Naimata, Kupang, Maret 2023. Damaris pun menjadi penghuni RSJ Naimata. Sejak saat itu, Nahum dan anggota keluarga secara bergiliran menjaga Damaris di rumah sakit.
Sakit Damaris termasuk parah sehingga ia harus tinggal cukup lama di rumah sakit itu. Pasien lain hanya dua pekan menginap, kemudian menjalani rawat jalan. Kadang, anggota keluarga yang menjalani rawat jalan mengambil obat dari rumah sakit itu.
Berdasarkan pengakuan Nahum, Agus mendengar kabar tentang gangguan kejiwaan yang dialami Damaris. Namun, Agus tidak menghiraukan kondisi Damaris. Agus juga tidak peduli dengan anaknya, Noel Tamonob.
Baca juga : Penempatan PMI Secara Ilegal Masih Berulang
”Saya petani lahan kering. Penghasilan tidak tetap. Kekeringan ekstrem membuat lahan jagung gagal panen dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, saya dan istri tetap merawat Damaris dan anaknya. Memang terbebani, tetapi mau apa lagi,” tutur Nahum.
Selama menjaga Damaris, Nahum tidur di rumah sakit itu. Makan minum dibantu anggota keluarga yang tinggal di Kupang secara bergilir, kadang diberi uang untuk makan hari itu. Mereka bergotong royong.
Disiksa
Mariance Kabu (31) punya kisah lain. Selama delapan bulan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia, pada 2014, ia disiksa oleh majikannya, Ong Su Ping Serene (47). Pengalaman itu diungkapkannya sebagai kehidupan di neraka di negeri jiran.
Betapa tidak. Setiap hari ia disiksa. Sekujur tubuhnya tidak pernah bebas dari penyiksaan. ”Lidah saya pernah dijepit dengan tang hampir putus. Bibir bagian atas dipukul dengan kayu sampai terbelah. Setiap pekerjaan yang saya lakukan selalu dianggap salah. Pukulan pun datang, di bagian mana saja, sesuai kehendak majikan,” papar Kabu.
Baca juga : Disiksa secara Sadis di Malaysia, Mariance Kabu Mengalami Sejumlah Penderitaan Fisik
Ia pernah ditelanjangi di kamar mandi dan tidur selama satu pekan di kamar mandi yang dingin dengan lantai digenangi air. Ia pun dipaksa keluar dari kamar mandi itu dalam keadaan bugil sambil membantu di dapur.
Berkat sepucuk surat yang dibuang lewat jendela apartemen berlantai lima, ia bisa diselamatkan. Isi surat itu hanya sepenggal, ”Saya di sini mandi darah tiap hari. Tolong saya keluar dari apartemen ini”.
Tetangga, warga India,mendapati surat tersebut tergeletak di lorong. Merekamelaporkan kasus itu ke Kepolisian Ampang, Selangor. Polisi pun datang dan mengeluarkan Kabu dari apartemen itu. Ia kemudian ditampung dan dirawatKedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. Setelah agak baik, ia dipulangkan ke Indonesia.
Baca juga : Meningkat, PMI Ilegal Asal NTT Meninggal di Luar Negeri
Tiba di Kupang, Kabu menjadi beban baru bagi keluarga. Matanya tidak bisa melihat sinar matahari. Siang hari ia tetap di dalam rumah dalam keadaan gelap. Telinganya tidak bisa mendengar dengan baik. Ia harus dibantu dan dirawat sang suami, Karfinus Tefa (52), dan keempat anaknya, Yanto (17), Yarne (14), Jero (11), dan Jeli (9).
Tergiur gaji besar
Kabu direkrut staf dariPT Malindo, yakniTedy Moa, warga Kota Kupang, dan Piter Boki, warga Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ia direktrut tanpa sepengetahuan suamidan keempat anaknya. Tergiur dengan gaji Rp 3 juta per bulan sebagai penjaga orang lansia, ia tidak menceritakan rencana keberangkatannya kepada keluarga.
Dari Amanatun Utara, dia bersama adik iparnya ditampung di tempat penampungan milik PT Malindo di Kota Kupang. Selanjutnya, mereka diterbangkan menuju Batam, lalu menyeberang ke Selangor, Malaysia. Setelah ditampung satu pekan, mereka dikirim ke majikan masing-masing. Ia mendapat majikan Ong Su Ping.
Ia dijemput Ong Su Ping menuju apartemen berlantai lima di Ampang, Selangor, Malaysia Barat. Ong Su Ping (47) belum punya suami dan anak. Ia bekerja di kantor, entah kantor apa, Kabu tidak paham.
Baca juga : TKW Disiksa secara Sadis di Malaysia, Polisi Tangkap Dua Calo
Bulan pertama dia masih aman, bekerja seperti biasa. Bulan kedua dan seterusnya, ia mulai merasakan tindak kekerasan itu.
Kisah lain dialami Jane Maria (29), orangtua tunggal. Warga Kefamenanu, Timor Tengah Utara, ini terpaksa menjadi pekerja migran ilegal pada 2016 demi membiayai pendidikan kedua anaknya. Hal itu ia lakukan setelah kematian suaminya akibat kecelakaan lalu lintas di Kefamenanu. Namun, Jane justru sakit di rumah majikan.Ia pun dilaporkan meninggal dan jenazahnya dikirim ke Kefamenanu pada 2020.
Masalah serius sehingga pemerintah kota dan kabupaten menyadari hal ini. Jika tidak menyediakan BLK, minimal membuka lowongan kerja untuk menampung mereka.
Kedua anak Janediasuh oleh nenek mereka, Magda Jane Otu (68). Anak-anak itu divonis mengalami gizi buruk oleh puskesmas setempat. Sebagai petani lahan kering, pendapatan Magda Jane Otu itu tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ia pun lebih banyak mengandalkan pemberian anak keduanya yang sudah berkeluarga.
Kepergian Jane Maria bertujuan memperbaiki nasib kedua anak dan mamanya yang sudah menjanda sejak kematian ayahya pada 2005. Ternyata, semua rencana itu berantakan. Kini, kedua anak Jane diasuh oleh saudara Jane, Agustinus Otu.
Baca juga : Penyelundupan TKI Ilegal Melalui Nunukan, Tak Melulu Masalah Geografis
”Mama sudah tua. Tidak mampu merawat kedua anak Jane Maria. Saya bantu mereka, termasuk mama. Saya sendiri punya tanggungan dua anak dan seorang istri.Soal biaya pendidikan lanjutan ke tingkat sekolah menengah, agak sulit bagi saya,” tutur Agustinus.
Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa mendesak agar semua kabupaten/kota di NTT memiliki balai latihan kerja (BLK)dan layanan terpadu satu atap untuk calon pekerja migran dari daerah itu. Lembaga ini memberi pelatihan keterampilan kepada calon pekerja migran sebelum diberangkatkan ke luar negeri.
Sebagian besar masalah kemanusiaan yang dialami pekerja migran NTT adalah masalah keterampilan. Apalagi pekerja migran perempuan yang ditempatkan sebagai pekerja rumah tangga, rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. Mereka tinggal di desa dengan latar belakang keluarga miskin, yang tentunya asing dengan fasilitas rumah tangga yang dimiliki calon majikan di luar negeri.
”Ini masalah serius. Pemerintah kota dan kabupaten harus menyadari hal ini. Jika tidak menyediakan BLK, minimal membuka lowongan kerja untuk menampung mereka,” katanya.
Baca juga : Triliunan Rupiah Mengalir, Kemiskinan di NTT Hanya Turun Tipis
Di sisi lain, program dana desa yang digulirkan pemerintah diharapkan punya andil dalam mengatasi masalah kemiskinan di NTT. Namun, realitasnya, program itu juga belum mampu berperan menghentikan maraknya kasus perdagangan orang yang dipicu problem kemiskinan.
Meski program ini digulirkan sejak 2015, kemiskinan di desa-desa di NTT masih mengakar. Selama delapan tahun dana digulirkan, alokasi anggaran mendekati Rp 30 triliun, tetapi belum mengatasi kasus kemiskinan ini.
Ia pun menyarankan ada evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan dana desa. ”Jika tidak, alokasi dana desa sampai masuk Indonesia Emas 2045 belum juga berdampak bagi penanganan kemiskinan di NTT,” katanya.