Penempatan pekerja migran Indonesia secara nonprosedural dan ilegal masih berulang. Lemahnya pengawasan menjadi salah satu faktornya.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penempatan pekerja migran Indonesia secara nonprosedural dan ilegal masih kerap terjadi. Lemahnya pengawasan perlindungan, mulai dari tahap perekrutan, menjadi salah satu faktor penyebab kasus seperti itu tetap terulang setiap tahun.
Koordinator Advokasi Kebijakan Migrant Care Siti Badriyah saat dihubungi di Jakarta, Senin (24/10/2022), mengatakan, sejak awal tahun 2022 sampai sekarang, Migrant Care telah menerima lebih 200 kasus pengaduan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural dan ilegal. Setiap tahun Migrant Care menerima pengaduan yang sama, meskipun jumlah pengaduan berbeda-beda.
” Pasar/lowongan kerja di dalam negeri sedikit. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, pemutusan hubungan kerja marak dan mencari pekerjaan semakin susah, sementara hidup tetap butuh biaya,” ujarnya.
Sejak tahun 2017, Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Beberapa hal yang diatur dalam UU ini antara lain verifikasi agen dan calon pemberi kerja dilakukan oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk, norma perjanjian penempatan berbentuk dokumen, dan perusahaan pengerah swasta harus memiliki dana deposit Rp 3 miliar.
Perangkat perekrutan dan penempatan juga harus disiapkan. Salah satunya berupa lembaga terpadu satu atap (LTSA). Menurut Siti, melalui LTSA, calon PMI bisa mandiri mengurus dokumen persyaratan tanpa calo. Realitasnya masih ada sejumlah calo pengerah tenaga kerja yang aktif di lingkup LTSA.
” UU No 18/2017 juga mengamanatkan perlindungan sejak dari desa/kelurahan. Faktanya, kami masih menjumpai sejumlah pemerintah desa tidak bekerja maksimal. Calo -calo pengerah tenaga kerja masih berkeliaran. Akibatnya, calon PMI tidak mendapatkan informasi yang valid,” kata Siti.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Alwi mengatakan hal senada. Pemerintah pusat telah membentuk sekitar 45 LTSA dan 400 desa migran produktif mendorong layanan perlindungan di daerah. Kelemahannya adalah keberlanjutan fasilitas itu. Pemerintah daerah belum mengalokasikan anggaran. Problem ini terjadi akibat keterlambatan penerbitan peraturan pelaksana, turunan UU No 18/2017.
” Dalam pembangunan sistem informasi terpadu, pemerintah pusat (Kementerian Ketenagakerjaan) baru menyediakan tahun ini, tetapi belum kunjung diluncurkan. Padahal, apabila layanan sistem informasi terpadu beroperasi, hal ini mampu memutus mata rantai praktik percaloan,” ujar Bobby.
Setelah lima tahun UU No 18/2017, kata Bobby, belum semua pemerintah daerah memiliki peraturan untuk melindungi PMI. Sejauh ini baru Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bali, dan Jawa Timur. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 20 provinsi pengirim PMI terbanyak.
Sepekan terakhir, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan kembali melakukan sidak ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, dan menemukan 38 calon PMI yang akan diberangkatkan ke Colombo, Sri Lanka. Mereka tidak memenuhi persyaratan legal menjadi PMI di luar negeri. Sebanyak 38 orang itu diperiksa di Polres Bandara Soekarno-Hatta sebelum dipindahkan ke Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker Yuli Adiratna mengatakan, sidak itu dilakukan setelah kementerian menerima laporan dugaan penempatan PMI secara nonprosedural. Upaya seperti itu, Yuli mengakui, juga bagian dari pemantauan indikasi penempatan ilegal dan nonprosedural yang sampai sekarang masih terjadi.
Pengawas ketenagakerjaan diminta untuk mengusut tuntas para pihak yang terlibat dalam kasus penempatan PMI ilegal dan nonprosedural, baik dari sisi perusahaan maupun perorangan yang bertindak sebagai penyedia jasa penempatan pekerja migran Indonesia. Kemenaker juga meningkatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.