Perlindungan Pekerja Migran Perikanan Masuki Babak Baru
Perlindungan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran diharapkan terus membaik dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 22/2022. Penerapan standar dan mekanisme pengawasan perlu dilakukan secara detail.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan awak kapal migran pelaut perikanan memasuki babak baru dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran pada 8 Juni 2022.
Direktur Dukungan Penegakan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Indonesia Ocean Justice Initiative Fadilla Octaviani berpendapat, ketentuan PP No 22/2022 itu sejalan dengan amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Meski demikian, pengundangan peraturan tersebut terbilang lambat dari yang seharusnya pada November 2019, atau dua tahun sejak UU 18/2017 disahkan.
”Peraturan tersebut merupakan suatu kemajuan dalam upaya pelindungan pekerja migran Indonesia pelaut perikanan,” ujar Fadilla, dalam keterangan pers, Sabtu (11/6/2022).
Selama ini, terjadi persoalan duplikasi kewenangan perizinan dan pengawasan penempatan pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP), yakni di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Izin bagi perusahaan yang menempatkan PMI PP diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan berupa surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI). Kewenangan serupa juga dimiliki Kementerian Perhubungan berupa surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK).
Terbitnya PP No 22/2022 antara lain mengatur peralihan SIUPPAK menjadi SIP3MI. Dalam Pasal 43, perusahaan perekrut yang telah memiliki SIUPPAK berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2013 wajib mengalihkan perizinan menjadi SIP3MI paling lama dalam 2 (dua) tahun. ”Pengaturan itu diharapkan menjadi solusi akhir atas penyelesaian permasalahan duplikasi kewenangan perizinan,” lanjutnya.
Peraturan tersebut merupakan suatu kemajuan dalam upaya pelindungan pekerja migran Indonesia pelaut perikanan.
PP No 22/2022 juga dinilai mengatur standar minimum yang harus ada dalam perjanjian kerja laut (PKL), antara lain, waktu kerja dan istirahat sesuai konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188, serta kewajiban kesepakatan kerja bersama yang dapat melindungi dan memperkuat posisi tawar PMI PP.
”Standar itu masih perlu diatur lebih lanjut oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Ketenagakerjaan guna memastikan relasi kuasa yang seimbang antara PMI PP dan pemberi kerja,” ujar Fadilla.
Di sisi lain, untuk menutup celah perbedaan standar pelindungan di tiap negara, Pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi dan kerja sama bilateral (MOU) dengan negara penempatan guna menentukan standar pelindungan PMI PP sesuai dengan standar internasional yang berlaku. Sebelum menyusun MOU dengan negara-negara tujuan penempatan, Pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi konvensi internasional untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi.
Fadilla menambahkan, hal yang perlu disepakati dalam MOU dengan negara penempatan antara lain standar upah minimum, tata cara pembayaran upah, keselamatan dan kesehatan kerja, serta komitmen pengakuan timbal balik atas sertifikat pelatihan PMI PP.
Selain itu, mekanisme pelaksanaan inspeksi bersama dan pengawasan pemenuhan hak PMI yang bekerja di kapal berbendera bukan negara penempatan, pembebanan biaya penempatan, serta kerja sama penegakan hukum. Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu mempercepat proses perumusan kurikulum pelatihan sesuai standar STCW-F sehingga sertifikat kompetensi PMI PP diakui secara internasional.
Hal yang perlu disepakati dalam MOU dengan negara penempatan antara lain standar upah minimum, tata cara pembayaran upah, keselamatan dan kesehatan kerja, dan komitmen pengakuan timbal balik atas sertifikat pelatihan PMI PP.
Standar pelindungan
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan berpendapat, PP No 22/2022 merupakan langkah maju pelindungan awak kapal perikanan migran dan perusahaan perekrutan karena mengakhiri dualisme perizinan di Kementerian Perhubungan dan Kementerian tenaga Kerja.
”Tantangannya adalah bagaimana Kemenaker menyiapkan instrumen pelayanan dan pengawasan yang optimal bagi usaha perekrutan dan juga awak kapal perikanan migran Indonesia,” ujarnya.
Destructive Fishing Watch Indonesia menyoroti bisnis perikanan tangkap yang masih sulit menerapkan standar pelindungan yang peka terhadap hak asasi manusia. Industri perikanan tangkap global saat ini masih menghadapi tekanan dari dampak Covid-19. Hal itu menyebabkan masih banyak ABK Indonesia yang tertahan di luar negeri, bekerja tanpa kontrak dan upah serta menghadapi ancaman kekerasan.
Di Indonesia, ancaman kesehatan dan keselamatan serta pemenuhan aspek perlindungan ketenagakerjaan awak kapal perikanan juga masih jauh dari memadai. Walaupun sejumlah aturan perlindungan awak kapal perikanan telah dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi konsistensi dan pengawasan pelaksanaan aturan tersebut masih jauh dari harapan.
Perbaikan tata kelola awak kapal perikanan perlu dilakukan pada empat titik rawan sekaligus, yakni perekrutan dan penempatan, kondisi saat bekerja, sistem pengupahan, dan sertifikasi atau kompetensi.
Ia menambahkan, perbaikan tata kelola awak kapal perikanan perlu dilakukan pada empat titik rawan sekaligus, yakni perekrutan dan penempatan, kondisi saat bekerja, sistem pengupahan, dan sertifikasi atau kompetensi. Di antaranya, pemerintah perlu mengatur detail sistem dan mekanisme pengupahan dan bagi hasil.
Ketentuan upah bulanan antara lain mengatur minimal setara dengan upah minimum provinsi (UMP), tetapi dalam praktiknya banyak ditemukan di bawah UMP. ”Ketentuan UMP di DKI Jakarta saat ini adalah Rp 4,6 juta per bulan, tapi masih ditemukan upah ABK hanya Rp 35.000 per hari atau Rp 1.03 juta per bulan,” kata Abdi.
Koordinator Program DFW Indonesia Imam Trihatmadja mendorong pemerintah untuk memperbaiki standar perekrutan awak kapal perikanan. Belum ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan semua awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan domestik telah memilih sertifikat keselamatan dasar.
“Ketentuan KKP hanya mengatur ABK yang akan naik kapal. Akan tetapi, dari mana asal ABK tersebut, bagaimana pemenuhan standar kompetensi dan sertifikasi masih menjadi wilayah yang gelap. Padahal itu merupakan dokumen wajib awak kapal perikanan sebelum bekerja di kapal ikan,” kata Imam.