Pekerja Migran Nonprosedural di NTB Terjebak Iming-iming Calo
Berbagai faktor menyebabkan masih banyaknya PMI nonprosedural di Nusa Tenggara Barat. Mulai dari praktik calo atau tekong hingga PMI yang melarikan diri setelah berada di luar negeri.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Tidak hanya pekerja migran Indonesia atau PMI yang berangkat secara resmi, Nusa Tenggara Barat juga menjadi kantong PMI ilegal atau nonprosedural. Berbagai faktor menyebabkan munculnya PMI nonprosedural di daerah tersebut, mulai dari keterlibatan calo hingga melarikan diri di luar negeri.
Menurut data Unit Pelaksana Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB, sepanjang 2021 hingga Oktober 2022, tercatat ada 14.540 PMI nonprosedural yang dipulangkan. Jika dirinci, pada 2021 sebanyak 11.974 orang dan pada 2022 sebanyak 2.566 orang.
Pemulangan dilakukan karena berbagai masalah, mulai dari deportasi, pencegahan, meninggal, dan sakit, baik fisik maupun psikis. Selain Malaysia, pemulangan didominasi PMI yang bekerja di Timur Tengah.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi, Minggu (2/10/2022), PMI yang bermasalah sepanjang 2021-2022 sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang.
”Sepanjang 2022 hingga September ini, PMI bermasalah sebanyak 881 kasus. Dari jumlah itu, 457 kasus dialami oleh perempuan dan kasus terbanyak terjadi di Timur Tengah,” kata Gede.
Meski turun, ujarnya, upaya mencegah PMI nonprosedural harus terus dilakukan. Hal itu membutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Ini terutama untuk mengedukasi masyarakat agar bisa mengakses kesempatan kerja di luar negeri secara prosedural.
Gede menjelaskan, PMI nonprosedural masih muncul di NTB karena berbagai modus. Modus pertama adalah adanya perekrutan secara ilegal oleh calo atau tekong.
Berdasarkan pemantauan Kompas di sejumlah kantong PMI nonprosedural, seperti Lombok Tengah dan Lombok Timur, mereka berangkat karena adanya iming-iming dari para calo. Ini mulai dari pemberangkatan yang dijanjikan aman hingga kesempatan kerja dengan gaji tinggi.
”Modus kedua adalah PMI berangkat secara legal atau prosedural. Tetapi, setelah berada di negara penempatan, melarikan diri dari tempatnya bekerja sehingga menjadi ilegal,” kata Gede.
Kasus melarikan diri, menurut penuturan mantan PMI asal Lombok, karena adanya ketidaksesuaian antara gaji yang diterima dan penjelasan sebelum berangkat. Di samping itu, lokasi kerja juga tidak sesuai, misalnya dijanjikan lahan sawit tinggal kerja, tetapi justru mendapatkan hutan belantara.
Gede menambahkan, faktor penyebab lain adalah PMI berangkat secara legal, tetapi di negara penempatan terlibat kasus kriminal.
”Modus keempat, PMI berangkat secara prosedural, tetapi saat memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur sehingga menjadi ilegal. Selain itu, ada juga PMI memiliki catatan yang tidak bagus. Sudah masuk daftar hitam di negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara nonprosedural,” katanya.
Tidak sedikit juga PMI nonprosedural muncul karena ada kebijakan konversi visa. Celah itu, menurut Gede, dimanfaatkan oleh para calo. ”PMI nonprosedural berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umrah, atau visa suaka. Setibanya di negara penempatan, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut,” katanya.
Hal itu juga yang ditemukan Ombudsman RI Perwakilan NTB saat menginvestigasi dugaan calo paspor di NTB. Koordinator investigasi sekaligus Kepala Keasistenan Pemeriksa Laporan Ombudsman RI Perwakilan NTB, Arya Wiguna, menyebutkan, dalam investigasi itu, mereka menemukan calon PMI yang mengurus visa umrah untuk bekerja di luar negeri.
Berbeda dengan PMI prosedural, PMI nonprosedural kehilangan hak-haknya, termasuk tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal itu karena seluruhnya diurus oleh tekong. Bahkan, calon PMI, kata Gede, tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya.
Oleh karena itu, ia menekankan kolaborasi semua pihak untuk mencegah PMI nonprosedural, mulai dari pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten, hingga dusun. Ini termasuk melibatkan pemangku kepentingan lain, seperti BP2MI, TNI-Polri, dinas terkait, imigrasi, hingga lembaga sosial masyarakat yang fokus terhadap isu pekerja migran Indonesia.
Made Setyaningrum dari UPT BP2MI NTB dalam keterangan pers Disnakertrans NTB mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan lembaga terkait. Koordinasi itu untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi PMI prosedural.
”Kami juga bergabung dengan kegiatan posyandu keluarga untuk menyosialisasikan informasi bahwa bekerja di luar negeri boleh, tetapi harus sesuai dengan prosedur. Selain itu, BP2MI juga berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memberikan informasi daftar perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang memiliki izin dan memiliki job order,” katanya.
Posyadu keluarga menjadi salah satu bagian dari program Zero PMI Nonprosedural di NTB. Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah mengatakan, ada 7.556 posyandu keluarga yang rutin digelar di NTB setiap bulan.
Menurut Rohmi, posyandu keluarga sangat strategis sebagai pusat edukasi berbasis dusun. Kegiatan itu menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan berbagai persoalan di NTB, termasuk perkawinan anak, stunting (tengkes), hingga PMI nonprosedural.