Lembaran Buram PMI Tak Kunjung Berakhir
Meskipun menjadi ”pahlawan devisa”, pekerja migran Indonesia belum mendapat perhatian optimal dari negara. Pengawasan pekerja migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri secara ilegal masih menjadi tantangan.
Kasus kecelakaan kapal yang mengakibatkan 20 buruh migran tewas dan lebih dari 15 orang lainnya hilang di perairan Johor, Malaysia, mewarnai peringatan Hari Buruh Migran Internasional 2021. Insiden yang terjadi pada 15 Desember 2021 itu menambah potret buram persoalan pekerja migran Indonesia.
Kasus tersebut seharusnya mendorong pemerintah lebih serius memperhatikan nasib pekerja migran Indonesia (PMI) yang mayoritas adalah perempuan. Di antara korban tewas kecelakaan kapal itu ada beberapa perempuan yang ingin mengadu nasib di negeri jiran.
Jaringan Buruh Migran (JBM) pun meminta Presiden Joko Widodo turun tangan menangani persoalan-persoalan PMI. Peringatan Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh setiap 18 Desember menjadi alarm pengingat masih ada banyak ”pekerjaan rumah” terkait perlindungan PMI.
Berbagai persoalan buruh migran tidak terlepas dari lemahnya implementasi Undang-Undang Perlindungan PMI (UU PPMI). ”Permasalahan yang dialami PMI lebih banyak bermuara dari hulu. UU Perlindungan PMI memberikan pedoman perlindungan bagi PMI. Namun, belum semua aturan turunan disahkan dan implementasinya minim pengawasan,” ujar Savitri Wisnu, Sekretaris Nasional JBM, Minggu (19/12/2021), dalam keterangan pers secara daring.
Hingga kini, menurut Savitri, Layanan Terpadu Satu Atap yang sudah dibangun di 45 wilayah di tingkat daerah belum berjalan semua sesuai fungsinya. Akibatnya, calon PMI masih menggunakan calo atau sponsor yang berujung pada praktik ilegal atau tidak prosedural yang membahayakan nyawa mereka.
”Kasus calon PMI yang meninggal di perairan laut ini bukanlah kasus baru. Kasus ini akan terus bertambah apabila implementasi UU PPMI tidak dijalankan secara paripurna oleh pemerintah pusat hingga desa. Apalagi di masa pandemi Covid-19, kerentanan PMI, khususnya perempuan PMI, berlapis,” tutur Savitri.
Baca juga : Melindungi Pekerja Migran
Oleh karena itu, perlu ada peta jalan perlindungan PMI sesuai dengan mandat UU PPMI yang dilaksanakan oleh para penyedia layanan perlindungan PMI. Peta jalan menjadi penting karena menurut data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), angka penempatan PMI selama lima tahun terakhir mencapai lebih dari 200.000 orang setiap tahun. Angka tersebut belum termasuk PMI ilegal.
Tingginya angka penempatan mengakibatkan urgensi akan perlindungan PMI makin tinggi karena masifnya kasus yang terjadi. Data pengaduan kasus Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir (2010-2020), terdapat 3.099 pengaduan kasus. Tahun 2020 merupakan tahun dengan jumlah pengaduan kasus tertinggi, yaitu sebanyak 643 pengaduan.
Tak hanya itu, dalam catatan tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 juga terdapat 255 kasus perdagangan orang. Dari jumlah itu, 157 kasus adalah kasus perdagangan pada perempuan PMI.
Dengan berbagai kasus yang terus menimpa PMI, Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Alwi menegaskan, upaya perlindungan terhadap PMI tak bisa diabaikan. Implementasi UU PPMI harus segera diwujudkan. Sebab, berdasarkan catatan JBM, sampai sekarang implementasi UU PPMI masih mengalami berbagai kendala karena keterlambatan pembentukan peraturan pelaksana/aturan turunan.
Hingga saat ini, masih terdapat tiga aturan yang belum disahkan, yakni Peraturan Presiden Atase Ketenagakerjaan, Rancangan Peraturan Pemerintah Anak Buah Kapal (ABK), dan peraturan BP2MI mengenai persyaratan sebelum bekerja, serta peraturan menteri yang mengatur mekanisme layanan terpadu satu atap.
Sementara kasus perbudakan yang menimpa ABK terus mencuat. Berdasarkan data terakhir yang dihimpun SBMI, ada 45 ABK yang meninggal di laut lepas.
Mereka yang bekerja di kapal ikan asing jarak jauh kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi. Mereka mengalami kekerasan fisik dan mental, upah tak dibayar, serta tak disediakan tempat tinggal dan makanan yang layak.
Situasi itu membuat banyak ABK jatuh sakit hingga meninggal di atas kapal. Beberapa dari jenazah mereka bahkan terpaksa dilarung ke laut dengan alasan membahayakan awak kapal lainnya.
”Persoalan utama jaminan perlindungan pekerja migran di luar negeri terkait erat dengan fungsi dan peran atase ketenagakerjaan. Persoalan wewenang, kompetensi, dan jumlah atase, khususnya di beberapa negara tujuan migrasi, menjadi isu krusial,” tegas Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG).
Beroperasinya peran atase ketenagakerjaan di luar negeri tentu akan berkaitan erat dengan wewenang Kementerian Luar Negeri dan duta besar dalam mengatur kinerja seluruh perwakilan.
”Presiden harus turun tangan untuk mengatasi problem kewenangan antara mandat UU No 18/2017 dan Keppres 108 tentang Organisasi Perwakilan RI. Tanpa adanya kejelasan wewenang, fungsi, dan peran atase ketenagakerjaan dari hasil mandat UU PPMI yang baru, akan sulit mengubah paradigma penempatan, yang wajib diganti dengan paradigma perlindungan,” ujar Awigra.
Yatini Sulistyowati dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menambahkan, tenggelamnya kapal pengangkut calon PMI di Tanjung Balau, Johor, menegaskan betapa lemah pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku perdagangan orang. Pemerintah seharusnya memperketat pengawasan dari hulu ke hilir dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan menindak tegas pelaku perdagangan orang.
Karena itulah, selain mengesahkan aturan turunan dari UU PPMI, perlu pula membentuk mekanisme pengawasan dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi, pusat, dan di negara tujuan. Selain itu, penting juga membentuk sistem informasi terpadu yang terintegrasi dari tingkat desa hingga tingkat pemerintah pusat.
Tentu saja, perlu dibuka juga akses partisipasi organisasi buruh migran dan organisasi yang peduli pada isu migran dalam setiap pembuatan kebijakan dan implementasi layanan.
Dampak UU Cipta Kerja
Tak hanya JBM, Komnas Perempuan pada Hari Buruh Migran Internasional juga menyoroti persoalan PMI, yang mayoritas adalah perempuan. Sebab, dari sejumlah kajian, pemantauan HAM mengenai situasi PMI, serta konsultasi yang dilakukan Komnas Perempuan, perusahaan penempatan menjadi salah satu aktor pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap PMI.
Komnas Perempuan juga melakukan kajian terkait syarat dan tata cara perizinan usaha penempatan PMI yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, menegaskan, meski perempuan pekerja migran jumlahnya banyak serta berkontribusi pada ekonomi rumah tangga dan negara, mereka masih berada dalam posisi rentan. Konsekuensi yang dialami adalah tingginya angka kekerasan maupun ketidakadilan terhadap perempuan pekerja migran.
Misalnya, sulitnya mengakses layanan kesehatan, buruknya kondisi kerja, serta munculnya rekrutmen ilegal, dan masalah keimigrasian. Hal ini disebabkan oleh migrasi tenaga kerja yang cenderung berorientasi pada bisnis dan mengabaikan kepentingan subyek utamanya, yaitu pekerja migran itu sendiri.
Perizinan usaha berbasis risiko yang diamanatkan dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 secara total mengubah perizinan berusaha berbasis lisensi P3MI yang diatur dalam UU PPMI.
Baca juga : Cukup, Stigmatisasi Pekerja Migran
Komnas Perempuan bahkan menengarai politik hukum UU Cipta Kerja beserta PP Nomor 5 Tahun 2021 lebih mengarah pada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Di sisi lain, UU tersebut mempertaruhkan kelayakan hidup, keamanan, serta kepastian perlindungan hukum PMI.
Pemberlakuan UU Cipta Kerja tentu akan menimbulkan kerugian secara langsung bagi perlindungan pekerja migran dan Indonesia akan kembali pada titik masa suram perlindungan PMI seperti ketika berlakunya UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Seperti diketahui, dalam persidangan uji materi UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi dalam salah satu amar putusannya memutuskan bahwa pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Pandemi Covid-19
Direktur Eksekutif Migrant Care Jakarta Wahyu Susilo menambahkan, pekerja migran adalah kelompok masyarakat yang terdampak langsung pandemi Covid-19. Mereka sekaligus menghadapi kerentanan akibat terpinggirkan dari berbagai kebijakan mitigasi dampak pandemi, seperti layanan akses kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan, skema jaring pengaman sosial, dan kebijakan perlindungan sosial lainnya.
”Ini tentu saja menjadi tantangan berat bagi perwujudan tata kelola migrasi yang berbasis pada hak asasi manusia, sebagaimana yang diamanatkan dalam Konvensi Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Global Compact for Safe, Regular and Orderly Migration,” papar Wahyu.
Dua instrumen yang diratifikasi dan diadopsi oleh Indonesia tersebut harus diimplementasikan dalam kebijakan penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Kajian Migrant Care dan berbagai organisasi yang melakukan advokasi pekerja migran menyebutkan bahwa Indonesia dihadapkan pada pelambanan mengimplementasikan UU Nomor 18 Tahun 2017.
Modalitas Indonesia sebagai presidensi G-20 tahun 2022 harus dimaknai sebagai momentum untuk memperjuangkan aspirasi negara-negara miskin terhadap negara-negara maju dalam agenda akses kesehatan global yang setara, tata kelola remitansi yang berkeadilan, nireksploitasi, menghargai hak asasi manusia, berkeadilan jender, dan inklusif.
Jaminan perlindungan sosial
Jaminan perlindungan sosial menjadi salah satu masalah yang dihadapi PMI. Hingga kini kepesertaan PMI di BPJS Ketenagakerjaan masih rendah. Sebab, sistem pendaftaran kepesertaan di negara tujuan penempatan belum bisa mengakomodasi perpanjangan kepesertaan bagi PMI. PMI yang ingin mendaftar pertama kali, tetapi sedang bekerja di luar negeri, juga belum memiliki akses dengan mudah untuk mendaftar.
”Selain itu, proses sosialisasi tentang program jaminan sosial ini pun belum masif sehingga PMI belum bisa memahami jaminan sosial adalah sebuah bentuk perlindungan. Selama ini jaminan sosial hanya dipersepsi sebagai syarat bekerja di luar negeri, bukan dipersepsi sebagai perlindungan,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.
Oleh karena itu, ke depan, dari sisi regulasi, perlu segera dilakukan revisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2018, yang nantinya harus memuat perlindungan, minimal, seperti yang diberikan oleh konsorsium asuransi swasta. Demikian juga revisi permenaker ini memuat manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi PMI sesuai dengan isi PP Nomor 82 Tahun 2019 sehingga manfaat JKK dan JKm-nya sama dengan manfaat yang diterima pekerja di dalam negeri.
Baca juga : Nestapa Keluarga PMI
Untuk memberikan perlindungan ekonomi bagi PMI, pemerintah seharusnya mewajibkan PMI mengikuti Jaminan Hari Tua dan memberikan pilihan mengikuti Jaminan Pensiun sehingga PMI memiliki tabungan untuk mendukung ekonomi mereka setelah pulang bekerja dari luar negeri.
Tidak hanya program di BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah juga harus mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada PMI sehingga kepesertaan PMI di JKN tidak terputus ketika mereka bekerja di luar negeri.
”Pemerintah tidak boleh lagi mendiskriminasi PMI yang pulang. Program seperti BSU, Kartu Prakerja, maupun program JKP seharusnya juga bisa diakses dengan mudah oleh PMI,” kata Timboel.
Untuk lebih memberikan pelayanan pendaftaran, manfaat, dan sosialisasi, sudah seharusnya ada perwakilan BPJS Ketenagakerjaan di negara tujuan dengan menggunakan Pasal 42 Permenaker Nomor 18 Tahun 2018. Harapannya, PMI benar-benar menjadi subyek jaminan sosial dan semua PMI mendapatkan hak fundamentalnya atas jaminan sosial. Jangan sampai PMI terus ditinggal. Saatnya negara benar-benar hadir bagi PMI.