Seperti Berangkat, Pulang Pun Harus Bertaruh Nyawa
Tidak hanya berangkat, perjalanan yang sulit juga harus dilewati pekerja migran non prosedural. Mereka juga harus bertaruh nyawa demi sampai kembali ke tanah air.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
Setiap kali mengingat pengalaman pulang secara tidak resmi dari Malaysia beberapa tahun silam, Saufiyah (25), selalu bergidik. Kengerian perjalanan, bahkan harus bertaruh nyawa, membuat warga Desa Dasan Borok, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara tersebut, berjanji pada diri sendiri, tidak akan menggunakan jalur itu lagi.
Ditemui di rumah mendiang Julia Ningsih (19), salah satu korban meninggal dunia dalam kecelakaan kapal pengangkut pekerja migran non prosedural di Perairan Johor, Saufiyah menuturkan menggunakan jalur resmi setiap kali ke Malaysia.
Saufiyah pertama kali ke Malaysia pada 2012. Saat itu, usianya masih 14 tahun. Ia sebenarnya tidak dikasih masuk karena tidak sesuai umur. Tetapi calo berhasil merubah tahun kelahirannya sehingga ia bisa lolos dan bekerja di sebuah salon kecantikan di sana.
“Setelah dua tahun di Malaysia, pada 2014 saya pulang dan menikah. Saya sempat punya anak, tetapi meninggal dunia. Sehingga saya memutuskan kembali ke Malaysia, bersama suami,” kata Saufiyah.
Seperti yang pertama, keberangkatan kedua Saufiyah pada 2016 juga prosedural. Tetapi di sana, ia kembali hamil. Kondisi itu membuat Saufiyah dan suaminya, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. “Cuma permit kami masih tersisa empat bulan lagi sehingga tidak bisa langsung pulang saat itu. Sehingga pilihannya adalah dengan cara tidak resmi,” kata Saufiyah.
Keputusan untuk pulang secara tidak resmi, ternyata tidak semudah yang Saufiyah bayangkan. “Kami berangkat siang hari. Lalu tekong membawa kami ke hutan. Bukan saya dan suami saja, tetapi ada ratusan orang yang akan pulang. Di sana, kami bersembunyi sementara menunggu malam tiba,” kata Saufiyah.
Selepas Isya, tekong kemudian membawa para pekerja migran Indonesia itu keluar hutan menuju pantai. Tetapi kapal tidak menunggu di sana, melainkan di tengah laut. “Suasana gelap. Saya yang hamil empat bulan, harus berjalan kaki dan berenang menuju kapal,” tutur Saufiyah.
Begitu sampai di perahu, satu persatu PMI dinaikkan. “Tetapi tidak naik begitu saja. Melainkan diangkat seperti sampah, kemudian di lempar ke dalam perahu,” kata Saufiyah.
Saufiyah menambahkan, kapal yang kecil membuat mereka harus duduk berdempet-dempetan. “Mungkin di kapal yang saya pakai ada 80 orang. Karena sempitnya kapal, saya bahkan harus dipangku suami karena takut keguguran,” kata Saufiyah.
Ribuan Ringgit
Pulang melalui jalur tidak resmi juga tidak gratis. Para pekerja migran tersebut harus mengeluarkan ribuan Ringgit agar sampai. Menurut Saufiah, saat akan berangkat mereka diminta mengeluarkan 1250 Ringgit per orang.
“Di tengah hutan, kami juga di minta berkali-kali masing-masing orang mulai dari 10, 50, hingga 70 Ringgit,” kata Saufyiah.
Saufiyah menambahkan, dalam perjalanan, kapal tiba-tiba berhenti di tengah laut. Lalu, mereka kembali diminta masing-masing 250 Ringgit. Permintaan itu dengan ancaman akan dilempar ke laut jika tidak bisa membayar.
“Sempat ada yang tidak bisa bayar dan hampir dilempar. Bukan karena tidak punya uang, melainkan karena uangnya sudah di bungkus dalam plastik hitam. Untung ada yang mau meminjamkan,” kata Saufiyah.
Setelah pembayaran selesai, kapal kembali jalan. Begitu sampai di Batam, penumpang kapal itu kemudian disuruh turun dan barang-barangnya dilempar. “Kami ambil sendiri, kemudian membawanya berenang ke pinggir,” kata Saufiyah.
Begitu sampai di darat, kata Saufiyah, telah ada yang menunggu mereka. Pihak tersebut yang kemudian menguruskan perjalanan mereka pulang ke kampung halaman masing-masing dengan biaya yang diambil dari uang pungutan saat akan berangkat.
“Jika mengingat itu kembali, saya selalu ngeri. Jadi, saya sudah berjanji, kalau ada nasib (ke Malaysia lagi), saya akan pakai jalur resmi. Tidak sanggup lewat iegal lagi,” kata Saufiyah.
Tidak peduli
Upaya mencegah keberangakatan PMI non prosedural seharusnya bisa dimulai dari keluarga. Menurut Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran NTB Muhammad Saleh, peran keluarga sangat penting agar para PMI yang akan berangkat benar-benar siap. Baik siap berangkat, siap bekerja, dan siap meninggalkan keluarga. Juga punya kesadaran penuh untuk menjadi PMI, bukan kesadaran semu.
Nyatanya, hal itu juga sulit diwujudkan. Bahkan oleh anggota keluarga yang punya pengalaman pilu saat menjadi PMI secara tidak resmi.
Pengalaman buruk saat pulang itu juga jadi pertimbangan Saufiyah bersikeras melarang adik iparnya Julia Ningsih berangkat ke Malaysia secara non prosedural. Bahkan, suami Julia yakni Junaidi juga turut bersama Saufiyah saat pulang 2017 silam, juga tidak berkaca dari pengalaman itu.
“Meski sudah dilarang, namun Junaidi pun tetap berangkat lagi secara tidak resmi ke Malaysia. Juga istrinya. Junaidi yakin tidak ada perlakuan seperti itu lagi,” kata Suparni (47), ibu Junaidi.
Julia Ningsih turut menjadi korban meninggal dunia dalam kecelakaan kapal di perairan Johor, Malaysia, Rabu (15/12/2021) lalu. Sementara Junaidi, saat ini masih menjalani proses hukum di Malaysia.
Berbagai persoalan mulai dari kondisi ekonomi keluarga, mimpi hidup mandiri, hingga jeratan hutang, membuat banyak warga Lombok tutup mata. Bahkan mengabaikan keselamatan dan bertaruh nyawa demi bisa berangkat ke Malaysia. Begitu juga saat harus pulang dengan jalur yang sama.