Pencegahan PMI Nonprosedural di NTB Butuh Komitmen Bersama
NTB masih menghadapi persoalan pekerja migran Indonesia nonprosedural. Tidak mudah mencegah hal itu sehingga dibutuhkan komitmen bersama dari semua pihak terkait.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pekerja migran Indonesia nonprosedural atau tidak resmi hingga saat ini masih menjadi persoalan di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama dari semua pihak terkait untuk mencegah hingga menghentikan munculnya praktik yang bisa merenggut nyawa pekerja migran tersebut.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi di Mataram, Rabu (1/6/2022), mengatakan, praktik-praktik pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural sangat merugikan, terutama bagi PMI.
Tidak hanya kehilangan hak-haknya, PMI nonprosedural juga rentan mendapat perlakuan buruk seperti penyiksaan ketika berada di luar negeri. Hal itu membuat PMI mengalami berbagai hal pada dirinya tidak hanya cacat fisik, tetapi juga hingga meninggal.
Pada pertengahan Desember 2021, sebanyak 14 warga NTB yang diduga menjadi PMI nonprosedural meninggal dalam kecelakaan kapal di perairan Johor, Malaysia. Seluruhnya berasal dari Lombok dan jenazah mereka telah dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.
Untuk mencegah hal itu terus berulang, kata Gede, seluruh jajaran terkait harus menyamakan persepsi juga menyatukan komitmen bagi terwujudnya penempatan PMI secara prosedural, mencegah dan menihilkan praktik-praktik nonprosedural yang sangat merugikan.
Pemerintah sangat berkepentingan dan wajib hadir untuk memberi perlindungan bagi setiap warga atau CPMI yang menghadapi masalah di negara penempatan. (I Gede Putu Aryadi)
Gede mengatakan, NTB telah memiliki program ”Zero” Unprocedural. Lewat program ini, berbagai pihak hingga pemerintah desa dan dusun mengambil bagian untuk mengedukasi masyarakat secara masif.
Tujuannya untuk menutup setiap celah bagi para calo dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Para calon dan oknum itu menawarkan berangkat bekerja di luar negeri secara nonprosedural dengan iming-iming gaji besar.
”Pemerintah tidak pernah memiliki kebijakan untuk melarang apalagi menutup kesempatan bagi warga yang ingin bekerja diluar negeri. Namun, sebaliknya, pemerintah sangat berkepentingan dan wajib hadir untuk memberi perlindungan bagi setiap warga atau CPMI yang menghadapi masalah di negara penempatan,” kata Gede.
Berdasarkan data Disnakertrans NTB, saat ini ada sekitar 526.000 PMI asal NTB yang bekerja di puluhan negara penempatan di dunia. Dari jumlah tersebut, PMI bermasalah yang ditangani pada tahun 2021-2022 ini sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut jauh menurun jika dibandingkan dengan jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang.
”Untuk mencapai titik ’zero’ masih dibutuhkan kerja keras dan peran aktif semua pihak untuk menghentikan setiap upaya dan proses rekrutmen dan pemberangkatan PMI secara nonprosedural,” kata Gede.
Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran NTB Muhammad Saleh mengatakan, NTB sebenarnya pernah punya catatan baik penanganan pekerja migran nonprosedural, yaitu saat berdirinya Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) PMI pada 2008.
Namun, dalam perjalanannya, roh pelayanan itu hilang. Hal itu karena mutasi pejabat yang kemudian diisi oleh orang-orang yang tidak paham dengan tugasnya. LTSP yang seharusnya menyediakan layanan dokumen, informasi, dan perlindungan akhirnya mengalami kemunduran.
Peran-peran itu kemudian diambil alih calo yang praktiknya makin merebak. Pada saat yang sama, tidak ada peningkatan sumber daya mulai dari tingkat terbawah, yakni desa, kabupaten, hingga provinsi.
Layanan informasi yang kurang serta pemantauan yang kurang kemudian diperparah oleh fokus semua orang pada penanganan pandemi. Dalam situasi itu, masyarakat kemudian butuh yang cepat.
”Pekerjaan sedikit, kebutuhan makin banyak, juga harga-harga semakin meningkat. Di sana kemudian calo dengan manisnya mengambil peran memberi informasi,” ucap Saleh.
Kesepakatan
Menurut Gede, saat ini keran penempatan PMI ke Malaysia telah dibuka kembali. Momen itu harus disiapkan sebaik-baiknya melalui persyaratan yang telah ditentukan. ”Tujuannya untuk memastikan perlindungan bagi para PMI kita,” kata Gede.
Sebab munculnya persoalan bagi PMI di negara tempat bekerja, selama ini lebih banyak didominasi oleh PMI yang keberangkatannya melalui jalur ilegal.
Gede mengatakan, pada akhir Mei lalu, Pemerintah Provinsi NTB menggelar pertemuan dengan pemangku kepentingan terkait PMI, mulai dari kepala disnakertrans kabupaten dan kota se-NTB, pengurus Asosiasi Pengusaha Pekerja Migran Indonesia, hingga Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Pertemuan itu, kata Gede, untuk membahas program perlindungan PMI pada masa adaptasi kebiasaan baru dalam rangka mewujudkan zero unprocedural PMI.
Gede menyebutkan ada dua hasil pertemuan tersebut. Pertama, terkait sertifikat kompetensi yang belum wajib sebagai syarat tenaga kerja sektor peladangan sawit. ”Meski demikian, perusahaan wajib memastikan PMI yang akan ditempatkan sebagai pekerja ladang telah memiliki kompetensi atau keterampilan,” katanya.
Hasil pertemuan lainnya mengenai syarat-syarat pelayanan. Menurut Gede, syarat-syarat pelayanan di semua kabupaten atau kota akan diseragamkan. ”Kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti dalam bentuk surat edaran Kadisnakertrans Provinsi NTB ke seluruh kabupaten dan kota,” ujar Gede.
Mohammadun dari Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) NTB dalam siaran resmi Disnakertrans NTB mengatakan terus berupaya meningkatkan kompetensi calon PMI, termasuk untuk sektor ladang.
Hanya, animo masyarakat yang ingin bekerja di serktor ladang sawit sangat besar sehingga pelatihan kompetensi dan sertifikasi yang mereka lakukan belum bisa mengakomodasi calon PMI dalam jumlah besar.