Tantangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Mengadu nasib di negeri orang menjadi pilihan sulit yang harus diambil sebagian masyarakat Indonesia. Pilihan sulit ini sudah sepatutnya diimbangi dengan perlindungan hukum dan tata kelola penyaluran yang baik.

Potret rumah Ratna Erna, calon pekerja migran, di Desa Sudimampir Lor, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (21/1/2022). Ratna termasuk salah satu dari empat warga yang meninggal dunia di perairan Johor, Malaysia (17/1/2021) lalu.
Kasus-kasus tak terlindunginya para pekerja migran masih kerap kali terjadi. Penegakan hukum, tata kelola, dan jaminan lapangan kerja di Tanah Air dengan upah layak menjadi tantangan menyeluruh bagi upaya perlindungan pekerja migran Indonesia.
Tepat pekan lalu, Senin (17/1/2022), perahu yang mengangkut pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan Pontian, Johor, Malaysia. Insiden tersebut menewaskan 6 orang yang hendak mengadu nasib ke negeri jiran.
Kejadian serupa pernah terjadi di perairan Tanjung Balau, Johor, Malaysia, Sabtu (15/1). Peristiwa itu menelan lebih banyak korban. Sebanyak 22 calon pekerja migran meninggal dan 29 orang lainnya hilang.
Dua kasus itu hanyalah sebagian kecil dari sederet persoalan yang harus dihadapi para pekerja migran. Mereka menjadi korban penyaluran pekerja migran tanpa jalur resmi. Selain mereka, ratusan calon pekerja migran harus menggantungkan harapan meningkatkan kesejahteraan di negeri orang karena kasus penipuan.

Potret rumah keluarga Nenah, pekerja migran Indonesia asal Majalengka, di rumahnya di Desa Ranji Wetan, Majalengka, Jawa Barat (24/5/2021). Nenah terancam hukuman mati di Uni Emirat Arab karena dituduh membunuh sopir majikannya.
Mereka dijanjikan bisa bekerja di luar negeri dengan iming-iming upah yang menggiurkan. Kenyataan yang didapat sebaliknya, mereka justru dipaksa untuk membayar sejumlah uang sebagai syarat keberangkatan. Setelah berbulan-bulan menunggu, mereka tak kunjung diberangkatkan.
Kabar memilukan itu pun tak hanya datang dari mereka yang gagal berangkat ataupun meninggal saat berangkat menuju negara penempatan. Mereka yang berhasil sampai di negara tujuan pun tak semuanya bisa berbuah kabar gembira. Tak sedikit dari mereka yang mendapat perlakuan kasar dari majikannya.
Belum lagi, mereka yang sudah bekerja sepenuh waktu tetapi tidak mendapatkan upah sesuai dengan perjanjian kontrak sebelumnya. Ada pula yang dituntut bekerja melebihi waktu yang disepakati tetapi tetap saja mendapat upah yang tak layak.
Deretan fakta itu pada akhirnya menunjukkan bahwa masih ada problem perlindungan pekerja migran di negeri ini. Hal itu juga tecermin dari masih banyaknya pengaduan pekerja migran yang masuk hingga pengujung tahun lalu.

Sakmah (30) melihat kolase foto bersama suaminya Sahdi (30) di Desa Pendem, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (29/4/2021). Sakmah kini harus menjadi orang tua tunggal, sekaligus tulang punggung keluarga setelah Sahdi yang menjadi pekerja migran Indonesia meninggal dunia di Malaysia, akhir 2020 lalu.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), hingga November 2021 terdapat 1.553 pengaduan yang diterima dari para pekerja migran yang ditempatkan di sejumlah negara. Hampir sepertiga dari pengaduan itu mengatakan bahwa pekerja migran Indonesia ingin dipulangkan.
Sementara, 13 persen lainnya berisi aduan gaji yang tidak dibayarkan. Kasus tersebut pernah dialami oleh Berta Tara, pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur. Ia tidak mendapatkan upah setelah bekerja selama tujuh tahun untuk majikannya di Malaysia.
Porsi besar pengaduan lainnya adalah pekerja migran meninggal di negara tujuan, gagal berangkat, hingga pekerja migran yang sakit.Ratusan pengaduan serupa juga pernah dilayangkan oleh para pekerja migran di tahun-tahun sebelumnya.
Terdapat 1.799 pengaduan yang masuk ke BP2MI pada 2020. Selama pandemi, jumlah pengaduan yang masuk memang lebih sedikit. Pada 2019 terdapat 9.364 pengaduan yang dikirim ke Tanah Air.Setidaknya, pengaduan yang masuk tersebut menunjukkan bahwa perlindungan pekerja migran masih menjadi persoalan laten bagi Indonesia.

Perlindungan hukum
Dari aspek hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki sederet regulasi untuk menjamin terlindunginya para pahlawan devisa itu. Payung besar perlindungan PMI tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
Undang-undang tersebut secara tegas mengatur terkait perlindungan pekerja migran baik sebelum, selama, dan setelah bekerja. Sosialisasi informasi, pemantauan dan evaluasi pemberi kerja, hingga fasilitas kepulangan sampai daerah asal sudah dijelaskan secara rinci.
Pemerintah juga telah mengesahkan Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Namun, faktanya, kasus pungutan dalam jumlah besar masih marak terjadi, seperti kasus advokasi yang dilakukan oleh lembaga Justice Without Borders terhadap 16 pekerja migran di Hong Kong. Para pekerja migran ini ternyata harus membayar biaya agen tenaga kerja sebesar tiga kali gaji bulanan setelah berhasil ditempatkan di negara tujuan.

Petugas mendata 53 calon pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Barat yang baru dipulangkan dari Jakarta di Mataram (12/1/2022). Sebelumnya, rencana keberangkatan mereka untuk bekerja di negara-negara Timur Tengah berhasil digagalkan setelah inspeksi mendadak di sebuah rumah penampungan di Kota Bekasi, Desember 2021 lalu. Total ada 60 calon pekerja migran termasuk 53 orang dari NTB yang tidak disertai dokumen penempatan.
Dalam peraturan terbaru, pemerintah telah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Di dalamnya mengatur tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin perlindungan pekerja migran. PP itu juga mengatur tentang peran lembaga penyalur pekerja migran.
Artinya, setiap pihak yang berwenang sudah memiliki panduan untuk mengambil peran dalam melindungi para pekerja migran. Namun, praktik penyaluran pekerja migran yang tak sesuai prosedur pun masih terjadi hingga saat ini.
Tidak sedikit dari mereka yang memilih jalur tak resmi karena rumitnya prosedur yang harus dijalani untuk menjadi pekerja migran. Terdapat juga pengakuan adanya pungutan meski melalui jalur resmi sehingga mereka memilih untuk berangkat tanpa dokumen. Padahal, pekerja migran dari jalur inilah yang sering kali hanya menjadi korban.

Indonesia dapat berkaca pada Filipina yang memiliki manajemen perlindungan pekerja migran lebih mapan.
Perlindungan pekerja migran Filipina dimulai dari tahap awal, yaitu sebelum pemberangkatan. Pemerintah Filipina mempersiapkan pekerja migran dengan sangat matang melalui kemampuan berbahasa asing yang tuntas. Saat pekerja migran sampai ke negara penempatan, mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Hal tersebut meminimalisasi kesalahpahaman di pekerjaan yang dapat berujung pada kekerasan atau kerugian.
Selain itu, Pemerintah Filipina juga memastikan bahwa para pekerja migran memahami hukum negara penempatan. Hal tersebut sangat berguna lantaran saat mendapatkan kasus, para pekerja migran memahami prosedur yang harus dilakukan.

Warga melintasi rumah milik Bangsal Udin Basar di Dusun Balen Along, Desa Kawo, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah (17/12/2021). Bangsal turut menjadi korban insiden kapal pengangkut calon pekerja migran Indonesia di perairan Johor, Malaysia. Himpitan ekonomi, menjadi alasan banyak warga Lombok nekat mengambil cara tidak resmi untuk bisa ke Malaysia.
Akar persoalan
Hingga kuartal III-2021, terdapat sekitar 3,24 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di sejumlah negara di luar negeri. Banyaknya pekerja migran tersebut harus diimbangi dengan manajemen perlindungan untuk menjamin keselamatan mereka dalam bekerja dan kenyamanan keluarga mereka yang ditinggalkan di Tanah Air.
Sudah saatnya Indonesia menuangkan aturan normatif ke dalam tindakan yang lebih konkret. Ketegasan tata kelola migran juga menjadi keharusan demi mengurangi praktik-praktik yang merugikan pekerja migran.
Jaminan perlindungan tersebut juga harus dipadukan dengan kebijakan mendasar untuk menjawab akar masalah pekerja migran, yaitu kurangnya lapangan kerja dan problem kemiskinan. Merujuk jajak pendapat Kompas, faktor ekonomi berupa upah, lapangan kerja, dan pengangguran menjadi problem dasar keberadaan pekerja migran.
Lebih dari separuh responden (55 persen) menyatakan bahwa tidak tercukupinya kebutuhan dari upah yang diterima saat bekerja di dalam negeri menjadi faktor utama yang mendorong seseorang menjadi pekerja migran. Ini sejalan dengan data BPS yang menunjukkan rata-rata upah di Indonesia.

Potret bagian luar rumah Umaya, pekerja migran Indonesia, di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (3/3/2021). Belasan tahun di Malaysia, Umaya sempat terlunta-lunta. Ia kembali ke Indonesia tahun lalu sebelum meninggal dunia.
BPS mencatat rata-rata upah tenaga kerja di Indonesia pada Agustus 2021 sebesar Rp 2,74 juta. Sementara pada tahun yang sama, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan masyarakat Indonesia sebesar Rp 1,9 juta untuk makanan dan non-makanan. Kondisi ini menggambarkan rata-rata upah ini baru mampu untuk memenuhi kebutuhan pekerja saja.
Sementara, ada anggota keluarga lainnya yang bergantung kepada mereka. Maka, mengadu nasib di negeri orang menjadi pilihan sulit yang harus diambil sebagian masyarakat Indonesia. Di luar upah yang minim, lebih dari sepertiga responden lainnya juga mengungkapkan sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri juga mendorong seseorang untuk memilih menjadi pekerja migran.
Baca juga: Bertaruh Nyawa Demi Mimpi Hidup yang Lebih Baik
Berkaca dari fenomena ini, minimnya upah, kurangnya lapangan kerja, dan pengangguran menjadi tantangan awal yang harus dituntaskan untuk menjawab persoalan utama perlindungan pekerja migran. Dengan ketersediaan lapangan kerja dan upah layak, masyarakat akan berpikir ulang untuk bekerja di luar negeri.
Harapannya, semakin banyak serapan tenaga kerja domestik dapat meminimalkan jumlah pekerja migran sekaligus mengurangi berbagai problem perlindungan tenaga kerja migran yang dihadapi. Hal ini juga sejalan dengan keinginan mayoritas publik yang sebenarnya lebih memilih bekerja di negeri sendiri daripada menjadi pekerja migran di negeri orang.(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pintu Masuk Tertibkan Sindikat Penyelundupan Pekerja Migran