Nestapa Keluarga Pekerja Migran Indonesia
Kematian pekerja migran Indonesia di luar negeri meninggalkan berbagai persoalan bagi keluarga yang ditinggalkan. Banyak yang harus menjadi orangtua tunggal hingga tulang punggung keluarga.
Sambil mengawasi anaknya, Rizki Alfiandi (5), yang sedang bermain, Sakmah (30) tampak sibuk mengayam iratan atau bilahan bambu tipis menjadi keranjang buah di rumahnya di Desa Pendem, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/4/2021) siang.
”Ini yang saya kerjakan setiap hari. Daripada tidak ada,” kata Sakmah seraya menoleh ke dinding rumahnya, ke kolase-kolase fotonya bersama keluarga. ”Itu almarhum suami saya, meninggal dunia di Malaysia pada November 2020 lalu,” tutur Sakmah.
Baca juga : Prapenempatan Pekerja Migran Indonesia Menjadi Awal Persoalan
Sahdi (30) meninggal di Malaysia karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya. ”Sebelum berangkat, dia memang sudah sakit. Bahkan, itu yang membuatnya tidak lolos pemeriksaan kesehatan sehingga harus menggunakan jalur ilegal,” kata Sakmah.
Belum sempat utang lunas, dia sudah meninggal dunia.
Setelah menunggu beberapa bulan, pada pertengahan Januari 2021, jenazah Sahdi bisa dipulangkan. Ia dimakamkan di tempat pemakaman umum di Pendem. ”Kalau tidak dibawa pulang, mungkin saya tidak akan percaya jika ia sudah meninggal dunia,” ujarnya.
Menurut Sakmah, suaminya memutuskan ke Malaysia agar bisa membayar utang. Usaha oven tembakau yang pernah mereka jalankan merugi karena harganya turun. ”Belum sempat utang lunas, dia sudah meninggal dunia,” kata Sakmah.
Kepergian Sahdi membuat hidup Sakmah berubah. Ia kini menjadi kepala keluarga. Ia juga harus menjadi orangtua tunggal bagi dua anaknya, Rizki dan Jamiatul Mani (15), sekaligus tulang punggung keluarga.
Baca juga : Sengkarut Pekerja Migran Indonesia Bermula sejak Prapenempatan
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia bekerja dengan membuat keranjang bambu. Itu pun jauh dari cukup karena bayarannya kecil, yakni Rp 35.000 per kodi atau 40 keranjang.
”Saya biasanya ambil bayaran di muka, tetapi hanya berani untuk satu kodi. Kalau lebih, tidak sanggup. Satu kodi saja bisa seharian,” kata Sakmah.
Menurut Sakmah, karena bukan dia sendiri yang membuat keranjang buah di kampungnya, stok di pengepul menumpuk. Akibatnya, tidak serta-merta keranjang yang dibuatnya langsung bisa diambil.
”Sekarang masih ada empat kodi. Belum diambil sama pengepulnya. Kata mereka, stoknya masih banyak,” kata Sakmah.
Baca juga : Ancaman Tambahan bagi Pekerja Migran Indonesia di Tengah Pandemi
Jika musim tanam tembakau tiba, Sakmah bisa mendapat tambahan. Ia biasanya mendapat Rp 30.000 per hari dari sana. Namun, saat ini belum masuk musim tanam tembakau.
Terbelit utang
Sakmah mengaku menjalani kehidupan yang berat. Tidak hanya untuk pemasukan sehari-hari, Sakmah juga saat ini berpikir keras bagaimana bisa membayar utang-utangnya. Ia bahkan sempat menggadaikan sawah keluarga, tetapi belum cukup.
Selain itu, ia harus memikirkan pengasuhan anak-anaknya, mulai dari belanja sehari-hari hingga sekolah mereka. Rizki saat ini duduk di bangku TK, sementara Jamiatul di MTs.
Saat ini, kata Sakmah, sekolah di TK ataupun madrasah gratis sehingga ia terbantu. Akan tetapi, untuk selanjutnya, ia harus berpikir keras mencari tambahan biaya.
Baca juga : Fokus Perbaiki Keterampilan Pekerja Migran
”Anak saya yang paling besar (Jamiatul) ingin sekali bisa melanjutkan sekolah ke salah satu madrasah swasta di Praya. Biayanya lumayan. Jujur, saya juga ingin melihatnya terus sekolah. Siapa tahu jadi pembuka rezeki keluarga,” katanya.
Namun, Jamiatul mengatakan tidak ingin memaksa. Jika tidak ada uang, ia ingin ibunya tidak terlalu memikirkannya. Ia bisa belajar di sekolah lain.
”Ia melihat sepupunya sekolah di sana dan lulus, kemudian lanjut kuliah. Jadi, anak saya juga ingin seperti itu,” kata Sakmah.
Menurut dia, meski berat, anggota keluarganya yang lain masih tetap membantu semampu mereka. Terkadang, anak-anaknya mendapat kiriman dari anggota keluarganya yang menjadi pekerja migran di luar negeri.
Baca juga : Akar Masalah Anak Pekerja Migran yang Telantar
”Saya juga kemarin dapat bantuan Program Keluarga Harapan. Dapat beras 14 kilogram dan telur satu tray,” kata Sakmah.
Kasus lain
Sakmah (60) lainnya yang berasal dari Dusun Peseng, Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa duka setelah sang anak, Mayudi (25), meninggal di Malaysia.
Mayudi meninggal pada Februari 2020 lalu. Ia diduga dibunuh oleh rekannya sesama PMI dari NTB. Saat ditemukan, Mayudi meninggal dengan luka tusuk senjata tajam.
Akan tetapi, hingga saat ini, keluarga belum mendapat informasi terbaru perkembangan kasus itu. ”Saya tidak mengerti mengapa sampai ada yang tega berbuat demikian. Setahu saya, Mayudi tidak punya musuh. Ia selalu berbuat baik kepada siapa saja,” kata Sakmah saat ditemui di rumahnya di Peseng, Jumat (30/4/2021).
Sakmah berusaha ikhlas. Apalagi, jenazah anaknya yang bekerja di perkebunan sawit di Malaysia bisa dibawa pulang ke Lombok selang dua minggu setelah kematiannya. Mayudi dimakamkan di TPU Peseng.
”Ia seharusnya pulang menikah bulan itu, tetapi ternyata nasibnya lain. Ia pulang dalam keadaan meninggal dunia,” kata Sakmah.
Baca juga : Nasib Pekerja Migran dan Keluarganya
Sakmah saat ini tinggal bersama anaknya, Muhammad Abdul Gani (13). Ia menjadi orangtua tunggal setelah lama bercerai dengan suaminya. Ia harus memenuhi sendiri kebutuhan hidup bersama anaknya yang masih duduk di bangku SMP.
Oleh karena itu, Sakmah bekerja serabutan. Saat ini, ia bekerja menanam padi dengan bayaran Rp 25.000 setengah hari.
Baca juga : Pekerja Migran Serba Tak Pasti Saat Wabah Covid-19
”Kadang saya juga bantu pemilik sawah mengantar makanan. Tetapi, itu tidak langsung dibayar. Biasanya nanti setelah panen dapat gabah,” kata Sakmah.
Menurut Sakmah, ia juga nanti akan ikut bekerja saat ngume (menyiangi) sawah dan panen padi. ”Apa saja saya kerjakan, biar ada pemasukan,” kata Sakmah yang hanya lulus SD.
Sakmah mengatakan, fokusnya saat ini adalah mengasuh anak bungsunya, terutama agar anaknya tetap bisa sekolah. Ia tidak masalah mengerjakan apa saja asal bisa tetap bertahan. ”Memang sekarang berat, apalagi sedang Covid-19, ya. Semua serba naik. Kalau kaya, enak,” kata Sakmah yang tak mendapat satu pun bantuan sosial selama pandemi Covid-19.
”Sakmah-Sakmah” itu hanya sebagian dari cerita pilu keluarga PMI yang meninggal. Masih ada ratusan keluarga lain yang juga mungkin berada dalam kondisi sama.
Baca juga : Krisis, Migrasi, dan Remitansi
Menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram, sejak 2017 hingga 2021, ada 364 PMI asal NTB yang meninggal di luar negeri. Dari jumlah itu, 323 orang meninggal karena sakit, 15 orang meninggal karena kecelakaan kerja, 13 orang meninggal karena kasus, dan 13 orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Sepanjang 2021, dari 29 orang yang meninggal dunia, 28 di antaranya nonprosedural.
Kepala BP2MI Mataram Abri Danar Prabawa mengatakan, sebagian besar PMI asal NTB yang meninggal di luar negeri karena sakit, terutama TBC, juga penyakit bawaan yang diderita sejak sebelum berangkat.
Selain itu, sebagian besar yang meninggal adalah PMI yang berangkat secara nonprosedural atau tidak resmi. ”Sepanjang 2021, dari 29 orang yang meninggal dunia, 28 di antaranya nonprosedural,” kata Abri.
Meski bisa dipulangkan, pemulangan mereka juga tidak bisa cepat karena ada proses yang harus dilewati. Selain itu, para PMI nonprosedural itu tidak bisa mendapatkan hak-hak laiknya PMI resmi, misalnya asuransi kematian yang seharusnya diterima keluarga.
Hal itu di luar persoalan selama di negara tujuan, seperti bekerja tidak sesuai yang dijanjikan, bekerja tidak sesuai norma, dan gaji yang tidak sesuai.
Baca juga : Beban Berlipat Anak Pekerja Migran di Tengah Pandemi Covid-19
Di sisi lain, jalur PMI secara prosedural juga penting bagi keluarga mereka. Menurut Abri, sesuai regulasi, juga ada perlindungan sosial, ekonomi, dan hukum bagi keluarga PMI.
Tujuannya, untuk mewujudkan kesejahteraan atau keluarga PMI yang berdaya. Hal itu, misalnya, dilakukan lewat program pendampingan bagaimana mengelola uang kiriman agar produktif.
Oleh karena itu, kata Abri, sosialisasi terkait PMI secara prosedural terus dilakukan. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan satu pihak saja, melainkan semua pihak terkait, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.