Keturunan TKI Flores Timur yang Telah Menetap Ratusan Tahun di Malaysia Dideportasi
Tenaga kerja ilegal asal Flores Timur dan Lembata, NTT, yang sudah ratusan tahun di Malaysia didorong untuk dinaturalisasi. Anak cucu mereka sudah lupa kampung asal. Mereka merasa asing saat dideportasi ke kampung asal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Puluhan tenaga kerja Indonesia ilegal dari Nusa Tenggara Timur dideportasi dari Malaysia, karena tidak memiliki dokumen keimigrasian, tiba di Kupang, Selasa (26/5/2020).
KUPANG, KOMPAS — Puluhan tenaga kerja Indonesia asal Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang lahir dan besar di Malaysia, bahkan leluhurnya sudah ratusan tahun tinggal di Malaysia, dideportasi. Sejumlah pihak mendorong keturunan tenaga kerja dari NTT yang sudah menetap di Malaysia selama ratusan tahun yang jumlahnya ribuan dinaturalisasi menjadi warga negara Malaysia.
”Pekan lalu ada sekitar 70-an warga Flores Timur, yakni dari Adonara, dideportasi ke kampung asal masing-masing. Tetapi, mereka itu lahir dan besar di Malaysia, tidak paham bahasa daerah Lamaholot, tidak paham adat dan budaya di sana sehingga merasa asing,” kata koordinator Jaringan Solidaritas Kemanusiaan bagi TKI NTT Gereja Kristen Masehi Injili di Timor, Pdt Emmy Sahertian, di Kupang, Selasa (15/3/2022).
Menurut Emmy, ribuan tenaga kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang sudah menetap di Malaysia selama ratusan tahun bisa dinaturalisasi menjadi warga negara Malaysia. Dengan begitu, mereka tidak lagi dianggap pendatang haram dan diportasi ke kampung asal karena di kampung asal pun mereka merasa asing.
Selama ini Flores Timur dan Lembata terkenal dengan para perantau atau pencari kerja di Malaysia. Jumlah mereka ribuan orang dan telah menetap di Malaysia selama ratusan tahun. Nenek moyang mereka meninggal dan dimakamkan di Malaysia sejak puluhan hingga bahkan ratusan tahun silam.
”Mereka itu bisa dinaturalisasi oleh Pemerintah Malaysia menjadi warga negara Malaysia,” kata Emmy.
Meski telah terbentuk Satgas Pencegahan TKI ilegal yang ditempatkan di Bandara Kupang dan Pelabuhan Tenau Kupang, keberangkatan TKI ilegal masih marak, seperti tampak di Bandara El Tari Kupang, Sabtu (12/5/2018. Mereka menyamar sebagai penumpang pesawat di Bandara Kupang menuju kota tertentu di Pulau Jawa, kemudian dijemput calo TKI di kota itu untuk dibuatkan paspor dengan identitas palsu untuk diberangkatkan ke luar negeri. Pemprov dan Pemkab di NTT harus menciptakan lapangan kerja bagi pencari kerja untuk mengatasi TKI ilegal.
Setelah dideportasi, sebagian dari mereka balik lagi ke Malaysia secara ilegal dan ditangkap lagi karena dianggap pendatang haram oleh pemerintahan Malaysia. Padahal, mereka lahir dan besar di sana. Mereka ditahan dan dideportasi lagi ke Flores Timur. Nasib mereka sangat memprihatinkan sehingga perlu ada kebijakan khusus bagi WNI yang sudah ratusan tahun hidup dan menetap di Malaysia.
Ratusan warga Flores Timur dan Lembata lain di Malaysia hidup nomaden, berpindah-pindah tempat untuk menghindari Polisi Diraja Malaysia. Mereka itu juga menetap di Malaysia sudah ratusan tahun. Bagi sebagian mereka, pergi-pulang Malaysia seperti pergi ke ladang, mengambil makanan kemudian pulang lagi ke rumah.
Tetapi, mereka itu lahir dan besar di Malaysia, tidak paham bahasa daerah Lamaholot, tidak paham adat dan budaya di sana sehingga merasa asing.
Membeludak
Selama masa pandemic Covid-19, jumlah pencari kerja baru, asal NTT yang berangkat secara ilegal ke Malaysia makin membludak. Jumlah mereka diprediksi ribuan orang, Mereka masuk melalui pintu Nunukan di Kalimantan Timur dan Batam di Kepulauan Riau. ”Mobilitas para TKI ilegal asal NTT ini dimulai pada akhir tahun 2021 sampai dengan hari ini,” kata Emmy.
Kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi ekonomi rumah tangga akibat pandemi Covid-19 dan gagal panen akibat badai Seroja 2021 serta kekeringan ekstrem menjadi faktor pemicu utama. Mereka adalah warga miskin yangsebelum pandemi Covid-19 pun secara ekonomi sudah terpuruk.
Para calon TKI ilegal ditampung di salah satu tempat penampungan di Kupang, Rabu (29/4/2020), kemudian digerebek Satgas Pencegahan dan Penanganan PMI ilegal NTT dan dipulangkan ke daerah asal.
Pekan lalu lebih dari 300 orang asal NTT dipulangkan dari Malaysia melalui Batam, tetapi kemudian sekitar 17 orang menuju Medan, Sumatera Utara, untuk bekerja secara legal di sana. ”Mereka itu malu pulang ke Malaka, sehingga dengan bantuan BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran) NTT dipekerjakan di sana,” katanya.
Saat ini Malaysia lebih terbuka menerima TKI,termasuk TKI asal NTT, terutama di Malaysia Timur. Namun, syaratnya, harus mempunyai paspor. Hanya saja, banyak di antara TKI asal NTT memilih mengikuti “jalan tikus” atas pengaruh calo-calo dari NTT yang ada di Nunukan, Entikong, dan Batam. Akibatnya, setelah tiba di Tawao atau wilayah Malaysia, mereka dideportasi balik dan menetap di Nunukan, Entikong, atau Batam sambil menunggu waktu yang tepat untuk balik lagi.
”Hasil penelusuran tim kami di lapangan, ada ratusan anak gadis yang berangkat secara ilegal dengan bantuan calo TKI. Contoh kasus, pekan lalu seorang anak gadis dari Desa Silu, Kabupaten Kupang, berusia 15 tahun dibawa calo TKI ke Batam setelah memalsukan dokumen identitas anak itu. Di Batam, anak itu dipulangkan setelah melarikan diri ke Paroki Batam (Gereja Katolik di Batam),” katanya.
Mereka yang berhasil lolos masuk Malaysia pun kemudian dideportasi ke Indonesia. Menunggu proses deportasi, ribuan TKI itu ditampung di rumah detensi di Sabah Malaysia. Mereka ditampung tanpa protokol kesehatan, kekurangan makanan dan air bersih. Ada yang disiksa dan pulang dalam kondisi sakit berat kemudian meninggal dunia. Kuota deportasi ke Indonesia terbatas sehingga mereka harus menunggu sampai 4-6 bulan di rudenim itu.
Marta Banunaek, anggota keluarga Adelina Sau, dari keluarga mama, menangisi jenazah Adelina Sau saat tiba di Bandara El Tari, Kupang, Sabtu (17/2/2018).
Adapun jumlah TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia selama 2021 lebih dari 100 orang. Kebanyakan adalah tenaga kerja ilegal yang meninggal dunia karena sakit, kecelakaan kerja, dan kecelakaan lalu lintas, penganiayaan majikan atau sesama pekerja. Namun, ada pula TKI NTT yang meninggal tidak dilaporkan sehingga tidak didata BP2MI dan Kedubes RI di Malaysia.
Terkait dengan kasus penganiayaan TKI, Adelina Sau (18), oleh majikannya, Emmy mendorong penggunaan UU Perdagangan Manusia dalam penanganan kasusnya. ”Kasus hukum terhadap majikan Ambika MA Shan yang menganiaya Adelina Sau (18), warga Timor Tengah Selatan, hingga tewas tahun 2018 akan diproses lagi pada April 2022 karena majikan banding. Kami dorong agar undang-undang yang dipakai dalam proses hukum majikan ini adalah UU tindak pidana perdagangan orang, bukan UU penyiksaan yang diterapkan pengadilan Malaysia,” kata Emmy.
Manek Kayan Ama (53), salah satu warga Adonara, Flores Timur, yang sedang bekerja di perkebunan kelapa sawit di Nunukan, Kalimantan Utara, mengatakan, ada puluhan calo asal NTT yang beroperasi di Nunukan. Setiap desa atau kecamatan di NTT merupakan gudang TKI ilegal. Tiap desa atau kecamatan memiliki satu atau dua calo di Nunukan.
Para pemburu kerja biasanya datang dari NTT tanpa membawa paspor, kecuali KTP NTT. Calo-calo di Nunukan kemudian memproses paspor mereka di Nunukan atau langsung mengirim mereka ke Malaysia setelah bekerja sama dengan aparat Kepolisian Diraja Malaysia.
Pelabuhan Tunon Taka di Nunukan menjadi tempat pelabuhan kepergian dan kepulangann TKI asal NTT dari dan ke Malaysia, Rabu (13/12/2017). Puluhan warga NTT baru pulang dari Malaysia tiba di Pelabuhan Nunukan, kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah asal NTT.
Banyak di antara mereka berangkat secara ilegal ke Malaysia tanpa membawa dokumen keimigrasian sama sekali. ”Polisi Diraja Malaysia tahu kapal motor membawa mereka itu, tetapi membiarkan saja karena sudah ada koordinasi antara calo dan anggota keluarga yang sudah ada di Malaysia sebagai penjamin,” kata Manek.
Menurut Manek, biaya pengadaan paspor bagi warga dengan KTP dari luar Nunukan atau Kalimatan Utara berkisar Rp 5,5 juta per paspor. Namun, bagi warga yang memiliki KTP Nunukan hanya Rp 300.000 per paspor. Karena itu, hampir sebagian besar warga dari NTT memilih berangkat secara ilegal karena tidak memiliki biaya pengadaan paspor.
”Tetapi, risikonya, ya dideportasi kalau kedapatan atau sembunyi-sembunyi di hutan,” kata Manek.