Achmad Marzuki merupakan pensiunan TNI. Pada 2020, ia pernah menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, Aceh. Seusai pensiun dini dari TNI, dia diajukan sebagai salah satu calon penjabat gubernur di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS —Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menyurati Menteri Dalam Negeri agar tidak memperpanjang masa jabatan Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Selama setahun menjabat, kinerja Achmad Marzuki dianggap tidak sesuai harapan.
Achmad Marzuki dilantik sebagai Penjabat Gubernur Aceh pada 6 Juli 2022 untuk masa jabatan satu tahun. Artinya, pada 6 Juli 2023 masa jabatannya akan berakhir.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui fraksi-fraksi telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, pada 5 Juni 2023, agar tidak memperpanjang masa jabatan Achmad Marzuki dan menetapkan nama lain sebagai penjabat gubernur di Serambi Mekkah itu.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ihsanuddin, Selasa (13/6/2023), menuturkan, DPR Aceh telah mengevaluasi kinerja Achmad Marzuki yang telah berjalan selama 11 bulan. Menurut mereka, kepemimpinan Achmad Marzuki tidak sesuai harapan.
”Skema pembangunan Aceh dengan tantangan yang ada belum jelas arahnya,” kata Ihsanuddin.
DPRA menilai Achmad Marzuki belum memiliki rencana pembangunan untuk menekan angka kemiskinan, menurunkan angka tengkes, hingga meningkatkan pendapatan daerah.
Achmad Marzuki merupakan pensiunan TNI. Pada 2020, ia pernah menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, Aceh. Saat pensiun dini dari TNI, dia diajukan sebagai salah satu calon Penjabat Gubernur di Aceh. Selain Achmad Marzuki, saat itu, DPR Aceh juga mengajukan Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri Safrizal dan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar sebagai calon Penjabat Gubernur Aceh.
Ihsanuddin menambahkan, Achmad Marzuki dinilai tidak memahami manajemen pemerintahan dan sistem anggaran daerah sehingga dia tidak mampu melakukan supervisi kinerja aparatur pemerintahan.
Hubungan antara Achmad Marzuki dan legislatif juga sedang tidak harmonis. Dari 30 kali rapat paripurna, Achmad Marzuki hanya datang 7 kali. Salah satunya rapat paripurna saat dirinya dilantik.
”Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami memohon kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar mengganti Penjabat Gubernur Aceh,” kata Ihsanuddin.
Ketua Fraksi Gerindra Abdurrahman menambahkan, Achmad Marzuki membuat gaduh dengan penerbitan izin tambang, pengangkatan Direktur Bank Aceh Syariah, dan mengusulkan revisi perda lembaga keuangan syariah.
Abdurrahman mengatakan, DPR Aceh telah menyepakati mengusulkan Bustami Hamzah, Sekretaris Daerah Provinsi Aceh untuk menggantikan posisi Achmad Marzuki sebagai penjabat gubernur.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Gubernur Aceh Muhammad Mta menuturkan, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan atas usulan pergantian penjabat gubernur oleh DPR Aceh.
Obyektif
Dosen Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, menuturkan, kualitas kinerja harus dilihat secara obyektif dan berimbang. Menurut Aryos, ada sisi yang positif dan ada sisi yang harus dikritisi.
Beberapa hal perlu diapresiasi, seperti sosialisasi investasi, memastikan persiapan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024, dan percepatan pembukaan penerbangan internasional setelah pandemi Covid-19.
Namun menurut Aryos, pola komunikasi Achmad Marzuki, terutama dengan legislatif, tidak berjalan dengan baik, padahal DPR Aceh merupakan mitra utama dalam memastikan pembangunan berjalan sesuai rencana.
Pola komunikasi Achmad Marzuki, terutama dengan legislatif, tidak berjalan dengan baik.
”Penjabat Gubernur Aceh juga tidak mampu menjaga hubungan dengan lintas sektor dan para stakeholder, seperti DPR Aceh, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan akademisi. Seharusnya para stakeholder ini dilibatkan dalam pembangunan,” kata Aryos.
Menurut Aryos, tantangan pembangunan Aceh di masa mendatang kian besar karena sejak 2023 dana otsus menyusut dan pada 2028 dana otsus berakhir. Oleh karena itu, pembangunan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholder) dan membangun kebersamaan.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh, Taufik Rahim, mengatakan, pergantian gubernur seharusnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan harus melalui proses yang baik karena yang dipertaruhkan hidup 5 juta warga Aceh.
”Jangan serampangan dan asal-asalan karena kepentingan politik dan ekonomi DPR Aceh menjelang Pemilu 2024,” kata Taufik.
Menurut Taufik, seharusnya calon yang diusulkan harus melalui seleksi yang ketat agar lahir sosok yang benar-benar paham Aceh.